floressmart.com- TENSI pilkada makin menguat. Tersebarnya bocoran survey yang enggan dipublikasikan, memaksa pelbagai kerja strategis dilakukan sesegera mungkin tanpa banyak kata. Satu kata hanya. Kerja. Dan tensi itupun berubah dramatik menjadi kepingan emosi-emosi politik berujung kelelahan.
Pilkada itu mahal. Proses dan persaingannya juga memakan waktu dan menyita pikiran serta perasaan. Wajar kalau muncul kepanikan. Jangan sampai kerja pemenangan jadi sia-sia. Seperti pukulan pendekar yang sudah sekuat energi tapi nihil hasil.
Dua kandidat Pilkada Manggarai, Deno-Madur dan Hery-Adolf sedang merebut simpati dan pilihan 183.469.000 wajib pilih. Dengan harapan, kemenangan signifikan tertera dari akumulasi perhitungan 188.355.000 kertas suara di 600 Tempat Pemungatan Suara.
Tercatat bahwa, akumulasi biaya Pilkada NTT mencapai Rp 144,5 miliar. Dan dari jumlah uang itu, pilkada Manggarai memakan biaya Rp 14, 1 miliar. Sungguh mahal.
Belum ditambah dengan biaya untuk penyelenggara (Rp 126, 5 M), pengawas (Rp 14 M), dan pihak keamanan (3,9 M). Ini akumulasi untuk NTT secara keseluruhan.
Sungguh pilkada mahal. Semahal kerja keras dan emosi yang dikeluarkan, semahal juga martabat warga dalam tanggung jawab besar menyelamatkan Manggarai dari pemimpin yang salah.
600 TPS di dua belas kecamatan Manggarai akan menjadi saksi bahwa pilkada itu bukan perkara simbolik tua dan muda. Atau indahnya program karikatur yang dijual calon. Bukan pula legitimasi simbolik belaka. Ini legitimasi atas fakta popularitas, penerimaan massa, keterpilihan, dan peta area dukungan fanatik.
Modus Politik Uang
Biaya politik yang mahal membuat kemenangan bukan sekadar cita-cita, melainkan keharusan. Dan politik uang jadinya lumrah. Aksi ini sudah berubah wajah dengan modus yang semutakhir android. Misalnya saja, pembagian uang dan door prize dalam rapat tertutup. Ini acapkali disebut modus pra bayar.
Ada pula upaya untuk membeli form undangan/ C-6 dari pemilih dengan jaminan KTP. Setelah coblos baru uangnya diberi. Ini terukur dari berapa orang yang datang mengambil kartu identitasnya. Karena itu, ia harus kembali mengambil KTP bersama uang dalam amplop. Ini modus pasca bayar.
Perlu juga dipantau aneka bantuan emergensi misalnya bantuan untuk masjid dan kapela, bibit tanaman, uang koperasi untuk kelompok-kelompok UBSP, pembagian alat rumah tangga dan sembako, pembagian kupon berhadiah, dan macam-macam. Hadiahnya diambil pasca coblos. Dan modus paling lumrah dan kurang kreatif lain misalnya dengan serangan fajar. Aksi malam gelap untuk membelokan pemilih rentan dengan dibayar Rp 50-100 ribu.
Peluang pelanggaran dan terjadinya pelanggaran tentu saja akan membuat Pilkada berbuntut konflik panjang. Gugat menggugat dan pembuktian kebenaran di meja hijau akan menelan biaya, waktu, dan emosi. Karenanya cegah dan tangkal. Kalau pilkada sehat maka pemimpin yang dihasilkan juga sehat.
Meski acapkali pelanggaran akan langsung diobati dengan pencoblosan ulang dan tempatnya hanya dilokalisir pada tempat tertentu dimana pelanggaran itu terjadi. Namun, proses itu tak akan mengobati sejarah bahwa si pemimpin yang lahir dari kecurangan akan membawa Manggarai ke dalam jurang.
Belum tuli telinga publik saat desain pemenangan melibatkan mesin birokrasi, pemanfaatan jabatan sementara untuk menyokong paslon tertentu, juga keterlibatan dan mobilisasi aktif aparat sipil negara. UUÂ No 8 2015 jadi regulasi beku, karena badan pengawas pun diciptakan hanya untuk memenuhi syarat aparatus pilkada. Sudah sejak bayi, lembaga itu dibuat jadi macan yang gagah tapi tanpa gigi yang tajam.
Bunglon Sosial
Kalau proses demokrasi sudah semahal ini, maka pilihan pun harus menjadi mahal. Karena bagaimanapun pemimpin hasil proses instan akan membuat suara jadi murah, karena pilkada hanya menghasilkan pemimpin yang menang dalam pencitraan simbol, bukan karena kemampuan dan kepemimpinan yang menggerakan masyarakat.
Pilkada Manggarai yang memunculkan dua kutub politik pada akhirnya membantu pemilih menarik titik simpul dari proses ini, kelahiran pemimpin bukan paksaan melainkan proses alamiah. Dan unsur-unsur alamiah yang membentuk pemimpin di antaranya daya tarik publik, keberhasilan sosial, dan karisma kepemimpinan.
Daya tarik publik itu bukan saja karena jualan program karikatur hanya untuk kelihatan populis. Atau citra yang diciptakan teknologi desain dan fotografi. Tetapi pertaruhan gagasan ke dalam operasional pembangunan. Gagasan yang membumi. Program yang realistis.
Program karikatur lahir dari bunglon sosial, aktor jagoan pencipta kesan semata. Dia pemimpin yang rela menjadi apa saja asal saja mengikuti perintah korporasi pendana, partai pengusung, media pemoles citra, keluarga, dan barisan para fanatik. Akhirnya, yang dijual cuma citra simbolik berbentuk foto, video, dan gagasan yang indah didengar tapi tidak relevan dengan kenyataan.
Pemimpin dengan proses karikaturasi politik seperti ini sungguh rela membayar berapa saja jasa konsultan politik untuk mendesain strategi, penciptaan konflik, dan program karikatural, program tanpa riset mendalam dan pengujian yang memadai. Dia hanya mau membaca sinyal-sinyal kehausan para fanatik, tapi gagal menciptakan diri menjadi pemimpin yang jujur.
Pada akhirnya, seperti ucapan Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang, “yang kita butuhkan adalah kesadaran, bukan paksaan.” Ciptakan pemimpin. Ciptakan Manggarai. (*)
Fian Roger: Jurnalis dan Warga Manggarai. Parter Penelitian IRGSC.