Siri Bongkok, Simbol Pemersatu Kehidupan

floressmart.com– Takjub, satu kesan spontan yang terpancar dari sanubari saat menyaksikan penancapan Siri Bongkok di rumah Gendang Tenda pada 25 Februari 2016. Kayu dengan ukuran tiga kali 7,5 meter itu dirakit sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Dengan tinggi 18 meter setelah diolah-sambungkan menjadi satu, Siri Bongkok terlihat kokoh, tegak lurus dan megah bersenyawa dengan ciri artistik yang memukau. Dengan peralatan sederhana berupa pengungkit dan katrol, kayu yang diolah bersegi sepuluh ini membubung naik mengawang menjangkau langit dengan menawan.

Detik-detik yang menegangkan saat kayu dengan berat hampir tiga ton ini bergerak dalam tanya tiada henti: apakah tidak temui kegagalan? Pekerjaan berisiko ini ternyata berjalan mulus. Tepuk tangan anak tanah kampung Tenda pun membahana. Sebuah tanda pekikan kegembiraan atas suksesnya penancapan Siri Bongkok secara meriah dan mengagumkan.

Untuk kedua kalinya, perhelatan akbar dalam nuansa budaya Manggarai diselenggarakan di Gendang Tenda. Sebelumnya, pada 1 September 2015, pagelaran acara Roko Molas Poco (mengambil gadis dari hutan yang diperlambangkan dengan kayu tiang utama) sangat meriah, ditengarai sebagai acara paling akbar sepanjang perjalanan budaya Manggarai di ajang yang sama. Selain media lokal, acara tersebut diliput juga oleh televisi nasional, dengan kehadiran ribuan manusia yang ingin menyaksikan acara langka ini, baik penduduk Manggarai, wisatawan domestik maupun manca Negara.

Dalam pembangunan rumah Gendang, posisi Siri Bongkok sangat sentral. Siri Bongkok memiliki makna yang mendalam dalam kehidupan orang Manggarai. Ia berada dalam lingkaran makna go’et Manggarai (ungkapan) “Gendangn one, lingkon pe’ang” (Gendang sebagai pusat kehidupan, kebun komunal sebagai sumber kehidupan). Ada hubungan yang sangat esensial antara gendang dengan kebun komunal (lingko).

Rumah merupakan tempat tinggal, dalamnya ada ruang perlindungan sekaligus sebuah sarana untuk menyatukan keluarga. Sedangkan, kebun, selain tempat beraktifitas mengais rejeki kehidupan dalam kultur agraris, juga menjadi tanah yang subur bagi ekspresi diri berhadapan dengan pencipta dan penguasa kehidupan, leluhur dan penghuni semesta. Ritus-ritus menjadi penghubung yang elegan antara unsur-unsur penopang kehidupan dengan wadah di mana kehidupan itu bersemi dan menghasilkan buah.

Siri Bongkok sebagai tiang penyanggah utama, dalam mana setiap tiang lain bertumpu padanya menjadi symbol keutamaan (adak, arête) bagi orang Manggarai. Tiang yang kokoh kuat itu menjadi penanda paling strategis bagi orang Manggarai untuk selalu bersatu. Tiang yang tegak lurus dari tanah hingga bubungan juga melambangkan relasi yang kuat dengan Sang Pemilik Semesta.

Tiang itu, tanpa selaan dari balok lain, berkisah tentang kelurusan hati, niat dan budi manusia peghuninya, ke haribaan Sang Khalik, Pengada Awali (causa prima). Di Tenda, menurut tuturan yang mentradisi, Siri Bongkok langsung ditancapkan ke tanah. Maksudnya, supaya hos (aliran energy tanah, symbol energy leluhur) menjangkau seluruh penghuni rumah dan menyebarkan ke semua warga kampung.

Jika atap rumah gendang direbahkan ke tanah dengan semua kayu yang menghubungkan Siri Bongkok, nyata terpampang sebuah sketsa lingko (kebun komunal) orang Manggarai yang dibagi dari titik pusat (disebut: Lodok) ke lingkaran luar lingko (yang disebut: cicing). Semua batas sisi kiri dan kanan antar kebun (disebut: moso, yakni pembagian kebun berdasarkan jari).

Kenyataan ini dapat diparalelkan dengan sumber jari yang diasalkan pada satu tangan saja. Hal ini juga menjadi symbol kerekatan antar klan (disebut: panga atau wa’u). Di setiap kampung di Manggarai, hampir pasti, datang dari turunan yang berbeda dengan latar belakang sejarah masing-masing. Di kampung Tenda terdapat empat Panga. Masing-masing Panga memiliki utusan untuk tinggal di rumah Gendang sebagai penghuni tetap. Bahwa ada Panga yang jumlah anggota perwakilannya lebih dari satu tentu dengan alasan yang mendasar. Mereka adalah perwakilan dari klan yang juga menjadi symbol bahwa seluruh klan yang ada ada dalam satu kesatuan, baik eksistensi maupun pola perilaku kehidupan.

Selain warga gendang yang adalah turunan langsung dari empat Panga, dikenal juga sebutan “ase-kae wancang wa-nos eta” yakni warga yang datang dari luar dan tidak memiliki kekerabatan dengan orang Tenda tapi tinggal menetap di tempat yang sama. Mereka juga adalah bagian dari persekutuan Gendang Tenda. Pada zaman dahulu, saat ada pembagian tanah, “ase-kae wancang wa-nos eta” ini juga mendapat bagian. Bahkan pihak luar kampung karena “kapu-manuk lele-tuak” (membawa ayam dan tuak) untuk meminta mendapat jatah tanah diberikan.

Siri Bongkok tidak hanya melambangkan kesatuan rumah dengan kebun komunal, masyarakat dengan masyarakat, bumi dan langit, tetapi juga berdimensi vertical, alam semesta dengan Sang pencipta (Mori Jari dedek). Siri Bongkok dalam esensinya menyertakan semua penyanggah kehidupan, norma, moral, nilai dan ekspresinya pada tindakan. Jika ada perkara yang penuh tipu daya, pelaku disumpahi di Siri Bongkok untuk membuktikan perkataannya. Siri Bongkok di sini nyata bukan hanya sekedar sebuah situs, sarana tetapi juga dalam dimensi mistik menjadi lambang dari kehadiran Sang Maha Benar dan Maha Adil, yakni Tuhan sendiri.

Tinggal sebagai komunitas dalam sebuah wilayah territorial tertentu, semisal di persekutuan adat Gendang, dilihat sebagai sebuah pilihan, bukan karena kebetulan. Namun fakta keberagaman menjadi tak terelakkan. Di tengah percaturan kepentingan dan konflik yang sulit dihindari, menengok kembali kepada filosofi Siri Bongkok adalah usaha memenangkan kebersamaan dalam komunitas (imagine community) yang penuh persaudaraan dan cinta damai.***

Beri rating artikel ini!