Membangun Persatuan Ekologis Mengakar Pada Budaya Lokal

Memaknai Filosofi Persatuan Orang Manggarai

Penulis : Felix Hatam

floressmart.com—Alam, manusia dan budaya adalah tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan, tetapi mudah dibedakan. Alam atau lingkungan merasang daya cipta, rasa dan karsa manusia, semua itu menjadi sebuah kebiasaan yang menanamkan nilai-nilai holistik, itulah yang disebut budaya (culture).

Manusia sebagai pencipta budaya; budaya mempresentasikan ciri khas seseorang seturut tempat asalnya;. Sama halnya budaya Manggarai.  Budaya Manggarai adalah cipta, rasa dan kereatif yang sekaligus karakteristik orang Manggarai. Alam, go’et dan seluruh kekayaannya adalah roh kebudayan orang Manggarai.

Go’ét (ungkapan) adalah nafas kebudayaan orang Manggarai. Seluruh go’ét orang Manggarai mengungkapkan nilai-nilai religus dan persatuan, harapan/cita-cita luhur, pesan moral, ajakan dan seruan. Semuanya dirumuskan dalam dua bentuk, yakni bentuk positif dan negatif.

Bentuk positif seperti muku ca pu’u néka woléng curup teu ca ambo neka woleng lako (pisang serumpun jangan berbeda pendapat atau pembicaraan dan jangan berbeda jalan-tebu serumpun jangan cerai berai), dan bentuk negatif contohnya  néka poka puar néka tapa satar (jangan menebang hutan, jangan membakar alang-alang). Masih banyak contoh lainya tentunya.

Go’ét muku ca pu’u néka woléng curup teu ca ambo neka woleng lako adalah pokok utama dalam tulisan ini. Dorteus Hemo (1990)  telah menafirkan arti dan makna ungkapan tersebut. Hal pasti bahwa, ungkapan itu adalah tanda solid dan tentramnya kehidupan orang Manggarai dan menjadikan itu semua sebagai usaha dan kerinduan bersama.

Mengambil nama flora dalam semua ungkapan sebagai tanda eratnya relasi orang Manggarai dengan alam. Bagi orang Manggarai, alam adalah bagian dari budaya. Tentunya,  hidup solid dan rukun serta kelestarian alam adalah harga mahal yang harus dipertahankan dan diperjuangkan oleh setiap orang. Termasuk orang Manggarai, Flores dan Indonesia umumnya.

Kenyataannya sekarang justru diluar harapan. Banyak sebab terjadinya dekadensi nilai-nilai persatuan itu. Yang serentak menghancurkan dua persekutuan sekaligus, yakni komunio sosial dan komunio ekologis. Masalah tambang dan jenis pengerukan hasil bumi lainya adalah hal sentral yang menantang persekutuan soisal dan ekologis orang Manggarai dan Flores khususnya, Indonesia umumnya.

Tambang menciptakan Konflik sosial diantara masyarakat, yang mengakibatkan permusuhan dan perpecahan. Dari masalah yang sama, terciptanya konflik ekologis. Tidak hanya itu, persoalan tambang yang terjadi saat ini adalah konflik ekologis yang akan dirasakan oleh generasi selanjutnya. Dari semua persoalan yang mengacam dua komunio sekaligus, saatnya kita kembali melihat dan mengugahkan nilai dan kekayaan filosi budaya itu sendiri.

Bebas dari konflik sosial dan ekologis adalah harapan setiap generasi. Setiap orang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk menciptakan yang terbaik buat orang lain dan generasi selanjutnya. Prinsip dan roh ungkapan muku ca pu’u teu ca ambo adalah salah satu roh kebudayaan orang Manggarai yang mengandung dua makna sekaligus, yakni sosial dan ekologis.

Karena itu, agar ungkapan itu menjadi sebuah  solusi maka saatnya sekarang nilai-nilai ungkapan itu digugahkan dan dipresentasikan kembali ke publik. Sebabnya, demi mencapai harapan itu ada beberapa hal yang mau disampaikan dari ungkapan itu.

Pertama  Pisang tumbuh serumpun: Mengakui yang lain.  Banyaknya persoalon yang mengancam kehidupan bersama, saatnya kita kembali melihat,  menariknya pohon pisang yang tumbuh secara bebas dalam serumpun.  Belajar dari situ, kehidupan sosial yang dibentuk dari setiap kepala harus mengakui yang lain sebagai saudara. Mengakui eksistensi orang lain sebagai pribadi yang memiliki kemampuan dan kelemahannya.  Setiap orang dalam kebersamaan mempunyai hak dan kewajiban masing-masing, namun hak setiap pribadi dibatasi oleh pribadi lain (pu’u/pohon). Jadi, pentinglah bagi setiap orang untuk cerdas menyusaikan diri dengan lingkungan dan keadaan serta kebutuhan setiap orangnya. Bukan hanya memperhatikan kebutuhan sekarang, tetapi juga kebutuhan akan datang.

Kedua mengakui alam sebagai salah satu pohon pisang. Analogi alam sebagai salah satu pohon pisang adalah langkah awal untuk mengakui alam sebagai anggota persekutuan. Alam dan manusia mempunyai andil yang sama untuk kehidupan yang sama. Menyadari kesatuan alam dan manusia, Harold Turner memperkenalkan jaring laba-laba sebagai falsafah hidup yang bercorak kosmis (Prior. J, 1993:77).

Bereferensi dari gagasan itu, penulis menyederhanakannya dalam dua falsafah, yakni wake’haju (akar kayu) sebagai baut, urat alam dan nadi alam dan wae sebagai darah alam. (a) Wake haju; Manusia dan alam adalah satu sistem  yang tidak dapat dilepas-pisahkan. Waké haju (akar kayu) mempunyai banyak manfaat terhadap ketahanan tanah atau alam, seperti menguatkan tanah dari erosi atau longsor, menjaga tanah dari derasnya hujan dan memfiltraslisasi air hujan menjadi air alam.

Waké haju juga berperan sebagai nadi dan sendi alam yang menampung, menyimpan, memfiltralisasikan air hujun dan mengalirkannya ke perut bumi, yang selanjutnya difungsikan oleh seluruh makhluk hidup.  Jadi, waké haju dapat dijadikan dasar dalam membangun koinonia ekologis.

Waké haju dalam kapasitasnya sebagai baut alam, berperan untuk menguatkan alam dari erosi dan longsor akibat hujan. Sebagai urat alam, waké haju berperan untuk mengikat serta menyatukan antar unsur yang terdapat dalam tanah [alam]. Ketiga falsafah tersebut terbentuk dalam satu sistem yang saling berkaitan. Jika salah satunya  mengalami kerusakan atau ganguan, maka akibatnya dirasakan oleh semua makhluk.

(b) Waé (air) adalah kebutuhan vital seluruh makhluk hidup. Waé dibutuhkan oleh seluruh orgnisme untuk berbagai keperluan, tentunya demi mempertahankan hidup. Kebutuhan akan air tercapai, jika baut alam, urat atau nadi alam dan tulang alam berfungsi secara maksimal untuk menyalurkan air., maka  ketiga komponen tersebut sangat menentukan persedian air dalam alam.

Alam (hutan) disebut juga gumbang alam atau bak alam. Dari alam, air terus menetes dan disalir dalam nadi-nadinya. Keberadaan nadi dan tulang alam, menyanggupkan alam mendonorkan darahnya (air) kepada anggota keluargannya sampai pada  musim berikutunya. Singkatnya, waé adalah kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup yang berada dalam satu rumpun. Berdasarkan hal tersebut waé dapat dikatakan sebagai darah alam. Darah yang memberikan kehidupan untuk  seluruh organisme, termasuk manusia.

Seluruh falsafah itu dianologikan dalam diri manusia. Manusia mempunyai organ tubuh yang terbentuk dalam satu system. ketika salah satunya tidak berfungsi, maka manusia tidak dapat menjalankan aktivitas secara normal. Begitupun halnya urat alam sebagai penguat. Bila urat atu nadi manusia tidak dapat mengalirkan darah ke seluruh tubuh, maka organ-organ tubuh tidak berfungsi untk mempertahankan keseimbangn tubuh. Akibat yang sama dialami pula oleh alam dan  seluruh ciptaan.

Hal yang dirasakan oleh manusia dirasakan juga oleh alam, sebab alam dan manusia adalah satu sistem yang  tidak terpisahkan. Namum sebaliknya, alam dan manusia berada dalam satu rumpun yang saling mendukung dan saling mempengaruhi. Relasi intim tersebut dapat diaktualisasikan dalam tindakan reboisasi, menolak tambang, menertibkan sampah dan  menindak tegas para aktor ilegal loging serta memberdayakan masyarakat adat, orang muda dan pihak lainya untuk aktif menjaga relasi harmonis atar sesama dan alam. Sebab mahalnya sikap itu, harus menjadi satu kebutuhan yang merangsang setiap pribadi berusaha untuk mencapainya.

Ketiga Mengakui tiga Generasi sebagai satu rumpun., Membangun persekutuan ekologis adalah cara bijak menghargai warisan leluhur (generasi pertama). Seluruh kekayaan itu dinikmanti secara bebas oleh generasi sekarang (generasi kedua)  dipertahankan agar seluruh kekayaan itu dinikmati pula oleh generasi selanjutnya (generasi ketiga). Mestinya, Keselamatan dan kepenuhan kebutuhan generasi akan datang harus dijadikan batas, yakni membatasi ruang gerak dan kebutuhan gererasi hari ini. Dari sanalah, menggagas kommunio ekologis sebagai tindakan penyelamatan untuk tiga generasi.

Alam, dalam ketakberdayaannya merindukan kebijaksanaan manusia. Keiklasan manusia untuk menekan prinsip kosumerisme dan egoisme adalah aplikasi dari prinsip persaudaran yang tersimpul dalam kommunio ekologis. Tindakan memanfaatkan alam secara semena-mena merupakan bara api bagi mereka yang belum lahir. Mengakui derajat manusia yang tinggi dari seluruh ciptaan lainnya di bumi, diwujudkan dengan sikap bijak dalam memanfaatkan hasil alam, menerapkan pembanggunan berbasis ekologis serta menumbuhkan nilai-nilai budaya dalam setiap generasi***