Tentang Segelas Kopi, Obrolan Politik, Dan Topeng Sosial

floressmart.com—Jauh sebelum tradisi “bicara” menciptakan kegaduhan di media-media sosial, sebut saja Facebook dan Whatsup (WA), tradisi Manggarai sudah membiasakan “omong-omong” sambil menyeruput kopi di rumah sendiri, rumah kawan, dan rumah kenalan.

Dengannya, tradisi minum kopi menandakan hospitalitas kawanan.Tidaklah sedap kalau suatu pembicaraan tanpa kopi. Kopi menjelma jadi simbol kawanan. Tidak hanya di kampung bernama Manggarai, melainkan di sebagian jagat lain.

Ihwal kopi, sejumlah media arus utama, sebut saja Kompas dan Tempo, pernah memuji kopi asal Manggarai. Konon, kopi Manggarai beraroma kuat dan bercita rasa khas, tanaman yang sudah berkembang sejak tempoe doeloe, zaman kolonial.

Kopi Manggarai dengan varian Arabika dan Robusta sudah dan sedang menjadi komoditas eskpor hingga Negeri Sakura, Negeri Paman Sam, Negeri Tuan Hitler, dan nagari-nagari di kawasan Timur Tengah, tempat raja-raja minyak berjenggot lebat.

Dengan kesuburan vuklanis, kontur berbukit-bukit, dan terletak pada ketinggian 1300-1500 diatas permukaan laut, beberapa wilayah di Manggarai ideal ditanami kopi.

Kopi, kemudian, membawa berkah berwujud tumpukan rupiah yang menjadikan petani-petani dan pedagang-pedagang di pelosok menjadi jutawan, bisa membeli lunas “oto kol dan travel”, hingga menguliahkan anak ke pulau-pulau seberang. Kopi menciptakan “orang-orang kaya lokal”, meski tidak bakal mengalahkan jurus-jurus kungfu pedagang-pedagang berdarah Tiongkok.

Di sekitar rumah, di kebun nan jauh, kopi ditanam warga ramai-ramai. Dengan kelimpahan mutiara hitam menyebabkan tradisi minum kopi menjadi hukum wajib, bisa tiga sampai empat kali dalam sehari. Kopi bikin kecanduan penikmatnya.

Baca juga  Imajinasi Seksual Politik Kita

Kopi menjadi sobat bincang, baik hal remeh-temeh maupun kepelikan politik. Di sisi lain, gelas kopi menjadi sumber inspirasi mitis magis.

Konon, sejumlah “orang pintar” bisa membaca dunia dari sisa ampas kopi. Kopi ditafsir berbau mitis magis. Ampas kopi, katanya, bahkan bisa membaca jodoh hingga keuntungan dagang.

Dulu segelas kopi tidaklah berwajah lembaran rupiah. Sebab, kopi itu jamuan untuk tamu yang sifatnya gratis, prodeo. Namun, zaman sudah maju bro. Semua hal menjelma bisnis.

“Bisnis” tempat nongkrong di beberapa sudut kota dingin, misalnya, menyediakan kopi ala kafe. Tradisi minum kopi menjadi obyek turisme dan tempat tongkrongan layaknya gaya hidup manusia-manusia kota besar.

“Segala hal tampak sebagai bisnis dan segala hal pun dilihat sebagai yang politis. Politik menjadi hiburan dan bisnis, sementara pengetahuan “didagangkan” dan dimasyarakatkan,” ujar Baudrillard.

Kopi dan tradisi bicara politik terpendar dalam segelas kopi hitam. Tradisi bicara ini tentu lahir dari kebiasaan purba dari kebudayaan oral. Tradisi yang melahirkan macan-macan panggung yang lihai berbicara di hadapan khalayak, melahirkan mereka yang dinobatkan menjadi “pengamat-pengamat” dan menjadi bintang talkshow televisi-televisi di Jakarta.

Kopi meninggakan “jejak” banyak makna. Dan tradisi “omong” membekas dalam banyak hal yang memunculkan para pendekar bicara, yang selalu melihat realitas dalam kaca mata kritis, lalu mereka menyebut diri kritikus yang rajin berkotbah melalui media, baik media sosial maupun  media-media arus utama.

Baca juga  EMOSI POLITIK MANGGARAI

Dan semenjak kebebasan bicara dibuka lebar usai Tirani Suharto, para pendekar bicara muncul sampai pelosok-pelosok negeri, juga di Manggarai. Politik dan hiruk pikuknya pun tampak jadi hiburan khalayak ramai. Hiburan karena bibir-bibir selalu menghibur diri dengan berbicara politik dan sebagai orang politik.

Sebagai hiburan, politik adalah kata-kata yang menyenangkan dan menghibur. Sakit kerana persoalan ekonomi pelik bisa diobati oleh “omong pelitik.”Sebagai sebuah “via consolatione,” jalan penghiburan, politik menawarkan panggung yang menghibur.

Di atas panggung hiburan, muncul pelbagai lakon yang menjelaskan karakter-karakter manusia. Karakter-karakter yang menyembunyikan diri di balik topeng-topeng sosial atau yang lazim disebut persona.

Kata Carl Jung, manusia selalu mengenakan topeng-topeng sosial dalam pelbagai situasi. Persona atau topenglah yang menghubungkan manusia dengan dunia sosial dan berperan sesuai tuntutan sosial. Persona itu memunculkan diri dalam pakaian, bicara, gerak tubuh, makanan, kendaraan, dandanan, dan sebagainya.

Ada yang berperan politis-profetis-kritis. Mulut-mulutnya berbau ayat-ayat sacra pagina, tradisi-tradisi kudus, dokumen-dokumen sakral, dan kewenangan spiritual.

Ada yang berperan sebagai kekuatan sipil, kritis, obyektif, independen, anti kapitalis, dan tidak korup. Mereka berwajaah anti mapan, kritis, dan selalu mempelototi kekuasaan yang bertingkah aneh. Mereka melawan kapitalisme dan manusia kapitalis meski mereka sendiri mendepositkan uang donor agar bertahan hidup.

Baca juga  Bongkar Mitos 'Nomor' Politik Di NTT

Ada yang menjelma jadi apparatus kekuasaan yang membangun. Dalam otaknya ada banyak angka statistik soal kemajuan yang dia klaim sebagai anak dari kebijakan-kebijakan politis.

Mereka  menawarkan “program” nama yang sama dengan sebutan lembaga swadaya masyarakat, meski kemudian ujung-ujungnya berwajah proyek-proyek kesejahteraan.

Ada pula yang bersembunyi di balik kata-kata, kalimat akademik, bahkan puisi, monolog, dan tarian, sekadar mengajari kekuasaan soal cara berbuat agar masyarakat bahagia.

Sebagai “tukang bicara” yang diklaim kritis obyektif pengetahuan dipamer pada halaman-halaman koran, seolah-olah “otak, mulut, dan tangannya” menjadi kunci dan solusi persoalan-persoalan panggung politis.

Dari kopi, tradisi omong, terpeliharalah kegaduhan-gaduhan yang oleh mata khalayak disebut “pelitik yang menghibur,” politic of consolations. Dan dari tembok-tembok sekolah, tahun demi tahun, dilahirkan generasi-generasi yang bakal mengisi panggung  politis ini.

Akhirnya, dari segelas kopi, tulisan ini berbicara kesana kemari, tidak tentu, mabuk senyawa kafein. Tulisan yang turut serta dalam kegaduhan-kegaduham yang ia ciptakan dan beri solusi sendiri. Lucu ‘kan? Kegaduhan yang membuat tidak sedikit persona melotot media-media sosial yang sudah sangat dipolitikkan. Mari minum dan selesaikan kopi Anda. [fnr/red]

Tag: