Romantisme Politik Pilkada

Politik merupakan seni merebut dan atau mempertahankan kekuasaan. Sebagai seni, estetika politik terletak pada pemenuhan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai keadilan, keindahan, kebenaran dan kesejahteraan merupakan bagian dari perjuangan politik yang luhur, bukan semata pada kuasa.

Kekuasaan hanyalah instrumen untuk menghadirkan perangkat kemanusiaan itu di tengah-tengah masyarakat. Atas itulah politik seharusnya beralas pada kewibawaan martabat manusia. Politik menjadi kotor manakala pemujaan pada kuasa melebihi penghormatan pada kemanusiaan manusia.

Di atas panggung demokrasi, politik selalu tampil untuk mempengaruhi masyarakat. Berbagai cara dan kemampuan dilakukan untuk mempengaruhi orang lain. Kekuasaan selalu dekat dengan orang yang dipengaruhi tanpa ia merasa dipengaruhi. Masyarakat pun ikut mempengaruhi arah dan gerak politik. Resiprokalitas itu merupakan kekayaan politik berdemokrasi.

Maka pilkada pun dipahami sebagai festival of democracy. Sebagai festival, masyarakat terlibat penuh dan aktif ambil bagian dalam ajang demokrasi politik. Keterlibatan itu ditandai dengan kemampuan masyarakat menggunakan sumber daya sosial, ekonomi dan budaya dalam menentukan arah politik.

Sumber daya sosial ditandai dengan mempengaruhi dan menguatkan kesatuan jaring-jaring keluarga yang tersebar di berbgai tempat; sumber daya ekonomi ditandai dengan penggunaan biaya sendiri dalam mendukung kandidat yang dipilih; sumber daya budaya ditandai dengan penggunaan ritual dan adat dalam memantapkan perjuangan politik.

Semua itu bertujuan untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan dan nurani masyarakat. Keikutsertaan masyarakat dalam melahirkan sosok pemimpin mestinya merupakan gerak sejarah politik yang lama. Muncul dari masyarakat dan dijaring oleh masyarakat sendiri. Itulah kaderisasi politik yang unggul.

Kaderisasi politik tidak selamanya dari partai politik, melainkan dari masyarakat itu sendiri. Bagaimana pun juga, partai politik akan selalu mengikuti gerakan arah arus akar rumput (:masyarakat). Berlawanan dengan nurani akar rumput, itu hanya berarti the end of political party.

Genuine political recruitment adalah dari masyarakat itu sendiri; Masyarakat yang mengincar, mengatur, menggerak dan menentukan dan pemilihan. Pemilihan hanyalah “ratifikasi” politik atas sebuah proses politik yang sudah lama dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Ratifikasi politik diterjemahkan sebagai moment pencoblosan dalam proses tahapan Pilkada. Itulah proses deepening democracy (pendalaman demokrasi): dari, oleh dan untuk rakyat.

Pendalaman demokrasi berarti juga menanggal relasi kuasa patron-klien dan bosisme dalam politik lokal. Relasi patron-klien menjadikan rakyat sebagai jongos dan penonton dalan fastival demokrasi. Sementara dalam bosisme, relasi politik terkesan dikendalikan oleh figur-figur politik (local strongmen) tertentu .

Demokrasi diarahkan untuk membongkar borok-borok politik lokal itu. Bahwa politik lokal mesti menguatkan kapasitas demokrasi lokal itu sendiri. Demokrasi lokal mesti berkenaan dengan gerakan politik rakyat menentukan arah pembangunan politik.

Ada tiga level pembangunan politik, yakni equality (:kesamaan keterlibatan masyarakat), capacity (:kemampuan masyarakat dalam menanggapi dan menentukan arah politik) dan differentiation (:pemisahan peran dalam berpolitik) (bdk. Lucian W. Pye, 1969). Tujuan pembangunan politik tersebut adalah (juga) demi menemukan (memilih) pemimpin yang berkualitas.

Pemimpin yang dipilih adalah politisi yang bermartabat, berintegritas dan berada di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Ia tidak mucul dari dunia antah-berantah lalu datang mencari tahta. Pemimpin tidak muncul dari jauh lalu datang untuk berkuasa.

Kekuasaan bukan untuk dimiliki melainkan untuk dirayakan bersama-sama dengan rakyat. Merayakan kekuasaan berarti mengembalikan kekuasaan itu demi pembangunan kesejahteraan dan keadilan. Kesejahteraan dan keadilan seringkali gagap dicapai lantaran terjeramahannya tampak abstrak. Tetapi bagi masyarakat, kekuasaan mesti merealisasikan segenap impian dan harapan.

Maka Pilkada itu sendiri adalah romantisme politik yang mendekati jiwa masyarakat, menghayati perasaan dan melihat keindahan dari berbagai lapis harapan dan impian. Pilkada yang romantik berati mencari sumber-sumber keutamaan (budaya) di masa lampau, mencari kekuatan kreatif demi pembangunan, serta melindungi keutuhan masyarakat.

Romantik dalam politik Pilkada bisa diterjemahkan dengan melanjutkan pembangunan yang pernah dibuat, memperbaiki kekeliruan nomenklatur politik dan merintis arah politik pembangunan yang lebih bermanfaat bagi rakyat.

Tak ada yang baru dalam politik selain usaha terus-menerus mewujudkan kebaikan bersama bagi masyarakat. Kebaikan bersama berarti kehidupan masyarakat aman, sejahtera, adil, berdaya, beradab, berbudaya serta tanpa kekerasan, pemerasan, penipuan dan sebagainya.

Pilkada itu entry point untuk mewujudkan kebaikan bersama itu di tengah-tengah masyarakat lokal. Pilkada itu bukan manipulasi poin-poin politik demi kekuasaan semata.

Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)

Beri rating artikel ini!
Romantisme Politik Pilkada,5 / 5 ( 2voting )