Bupati dan Air Mata Buaya

Bupati Klaten non-aktif Sri Hartini, terdakwa suap dan gratifikasi, menangis setelah divonis hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 900 juta (tribunnews, 21/9/2017). Semoga itu air mata penyesalan. Entahlah! Nasi sudah menjadi bubur. Berhadapan dengan kasus hukum, semua bupati pasti menangis, malu dan ketakutan.

Tentu, perasaan bupati berbeda ketika menerima uang gratifikasi. Bupati tidak menerima uang gratifikasi di daerah, tetapi terima di Jakarta. Dengan alasan tugas, mereka buat janji dengan kontraktor kakap ke Jakarta. Gratifikasi bupati sebesar Rp 1 miliar untuk proyek pembangunan Rumah Sakit Daerah senilai Rp 20-an miliar, misalnya saja. Praktik-praktik koruptif seperti itu sudah menjadi rahasia umum bagi publik daerah.

Baca juga  Politik “Jinak-Jinak Merpati”

Air mata buaya bupati biasanya jatuh tanpa malu, bahkan hilang wibawa, di hadapan orang terdekat atau penasehatnya, wakil bupati sebagai “istri” politik dan cermin. Bupati menangis pasti karena terlampau beban dan muslihatnya telah diketahui. Mengalirlah air mata buaya itu. Penasehat, wakil bupati dan cermin pasti hanya diam, tetapi mereka merasakan. Tentang muslihat bupati, mereka sudah tahu, hanya pura-pura tidak tahu.

Jelas, akibat manuver muslihat bupati itu, penasehat, wakil bupati dan cermin terkena dampak. Mereka terkena dampak politik, sosial budaya dan ekonomi. Bahkan, mereka bisa terjebak dalam “permaian” busuk bupati itu. Seperti peribahasa klasik, buruk muka cermin dibelah.

Baca juga  Belajar dari Bupati Manggarai

Atau seperti analogi, tangis air mata buaya seorang suami dihadapan istri karena ketahuan selingkuh, dan disaksikan oleh anaknya yang lugu. Anak adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat merasakan muslihat bupati, tetapi mereka tak berdaya. Meskipun publik tahu, tetapi mereka tak mau berkata-kata. Mereka hanya menanti. Omnia tempora habent: semua ada waktunya.

Masyarakat tentu tahu secara baik apabila bupati “berselingkuh” dengan harta kekayaan. Masyarakat juga tahu secara sadar apabila di jelang akhir dua periode jabatannya bupati “berselingkuh” secara politik mendukung calon-calon buapti lain (karena alasan relasi keluarga dan dinasti, misalnya) dan tidak mendukung wakil bupati telah lama menjadi “istri” politik bupati itu sendiri dalam Pilkada.

Baca juga  Marthen Dira Tome dan Resep “NTT Satu”

Masyarakat juga bisa tahu apabila bupati yang memberikan dukungan dana dan mengurus dukungna partai bagi calon-calon bupati “keluarga-nya” itu. Artinya, semua geliat dan gelagat bupati telah diketahui publik, sebab “there is no something new under the sun”.

Matahari bersinar bagi semua orang. Sol omnibus lucet, kata adagium Latin. Hanya matahari yang bisa menghapus derai air mata. Matahari itu adalah pemimpin yang bijak dan pro rakyat; matahari itu adalah penegak hukum yang bersih dan adil, bukan manipulator dan pemeras.  Matahari itu adalah hakim yang agung dan bijaksana.

Alfred Tuname

Penulis dan Esais   

 

Beri rating artikel ini!
Bupati dan Air Mata Buaya,3.50 / 5 ( 2voting )
Tag: