floressmart.com- Sisa waktu menjelang hari coblos rupanya menjadi momen mendebarkan. Selain upaya keras pemenangan, banyak pula bermunculan ide kreatif sebagai tamparan untuk lawan. Caranya dengan mendesain isu yang populer yang membangkitkan amarah massa.
Salah satu pangkal kemarahan adalah sentimen wilayah dan suku. Misalnya, dalam debat calon bupati dan wakil bupati beberapa waktu lalu, salah seorang calon bupati (HN) menyebut kecamatan Cibal sebagai yang termiskin di Manggarai. Merujuk pada data statistik, tampak HN ingin memancing amarah KD yang berasal dari Cibal.
Dengan kematangan sebagai orang tua yang terpaut usianya belasan tahun dari HN, tampak KD lebih santun. Tenang. Dia berbicara dalam skala makro. Bicara Manggarai. Bukan bicara parsial. Bicara soal suku dan sentimen kewilayahan tertentu.
Tampak bahwa, KD lebih menguasai bahasa tubuhnya dan lebih menguasai isi debat, tetapi HN kelihatan meluap-luap, walau konten argumentasinya rapuh. Indikasinya dia menjawab, pas, saat terus dipersoalkan oleh KD soal janji raakin gratis, beasiswa ribuan siswa, dan gaji guru komite yang dikatrol hingga melampaui upah yang disepakati Provinsi.
Dalam beberapa diskusi lapangan, jelas bahwa konten debat rupanya menggugah citra pemilih terhadap KD dan HN. Setelah massa tumpah ruah di Motang Rua pada 14 November lalu, dilihat sebagai tanda kemenangan HN. Rupanya debat paslon yang dimoderatori Inosensius Syamsu itu memberi sentimen positif kepada KD.
Beberapa responden yang diwawancarai menilai, dari debat masyarakat bisa menilai kemampuan dan karakter dua paslon. Nomer 1 lebih unggul dengan penguasaan regulasi uang benar, sementara nomer 2 suka bombastis tapi tidak mampu mempertanggungjawabkan argumentasinya.
Paslon 1 lebih saling berbagi dalam tutur dan cakapan soal program. Saling memberi ruang untuk menyampaikan argumentasi, sementara paslon dua memperlihatkan dominasi HN atas inferiorutaa AG. AG tampak seperti “ban serep” yang bicara hanya kalau HN sudah capai omong.
Ekspolitasi isu kemiskinan masyarakat Cibal oleh HN rupanya memunculkan pergandaan informasi yang luas di level akar rumput. Warga Cibal Raya tersinggung dengan ucapan HN. Mereka merasa ucapan miskin itu merendahkan martabat maayarakat Cibal. Sudah hidup merayap dan berjuang setengah mati, dicap miskin lagi oleh sang calon pemimpin.
Pergandaan informasi ditambah bumbu agitasi memicu amarah. Massa bisa saja menjadi beringas, mengamuk, marah besar, jengkel, kesal, terganggu, berang terhadap HN dan aneka atribut politiknya.
Bahkan, pasca eleksi ini menjadi sebuah benih permusuhan yang tak saja didamaikan oleh surat gembala uskup melainkan permohonan maaf tulus dari sang calon pemimpin. Ini dilakukan untuk mencegah kebencian patologis masyarakat Manggarai.
Di sisi lain, takut kalah menimbulkan rasa cemas, gugup, khawatir, tidak tenang, fobia, panik pada kalangan pemeluk kepentingan langsug dan pendukung fanatik. Pilkadapun menjadi panggung investasi emosi yang dramatik.
Meski demikian, rasa takut kalah ini membuat pendukung dua paslon semakin melakukan aneka macam cara di waktu tersisa untuk memenangkan paslon idamannya.
Sebab kekalahan akan identik dengan rasa bersalah, malu hati, kesal, sesal, hina, aib, dan hati yang hancur lebur. Ini bukan saja perkara rasional, melainkan emosi massa yang tercurah pada proses eleksi yang mahal dan menegangkan.
Sekali lagi sastra, film, puisi, lagu, komedi bisa menjadi katarsis dalam Pilkada yang sarat ketegangan. Dengannya, Pilkada itu bukan sebuah koreografi politik kemurungan, kemuraman, depresi, dan keputusasaan.
Pilkada sebaliknya adalah sebuah pesta demokrasi. Pesta untuk mendidik diri menjadi warga negara yang bertanggung jawab untuk melahirkan perubahan.
Pilkada dan demokrasi itu ujungnya membawa kenikmatan; rasa bahagia, gembira, puas, riang, terhibur, bangga, takjub, terpesona, mania. Mania pilkada, ketika proses dan hasilnya semakin menunjukkan bahwa masyarakat Manggarai naik kelas. (*)
Fian Roger; penulis, peneliti, dan aktivis komunitas