floressmart.com- FACEBOOK telah menjadi media alternatif jurnalisme warga. Status ini tentu saja melampaui harapan pencetus situs sosial populer itu Mark Zukenberg.
Facebook menjadi media penyampai pesan aktual para penggunanya yang acapkali disebut warga sosial media, netizen.
Sadar ataupun tidak para facebooker telah menjadikan wall-nya sumber informasi bagi sesama pengguna. Media ini juga mampu melipatgandakan penyebaran berita dari situs-situs berita resmi.
Dengan pilihan ‘bagikan’ situs ini mampu menyebarkan informasi dengan cepat ke semua pengguna yang mengakses informasi facebook.
Walau demikian, media ini juga bisa menyesatkan bahkan menimbulkan kekacauan pikiran publik, public mind. Tengok saja berita pasca pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Manggarai.
Pengguna medsos dengan mudah merilis angka kemenangan dan kekalahan. Bahkan sebagian membuat karikatur calon berbusana bupati yang kemudian memantik olokan dalam aneka obrolan sesama pengguna.
Angka-angka klaim kemenangan dan kekalahan yang selalu dihindari dalam sosial media itu lahir dari perdebatan matematis soal siapa yang memenangkan dan mengalah dalam Pilkada. Dengan klaim menang dari dua kutup, misalnya, membuat sebagian pendukung jatuh dalam euforia dan mania kemenangan dini.
Belum final tetapi selebrasi dini sudah dilakukan. Info tanpa falsifikasi muncul beraroma ambisi kemenangan. Sungguh sebuah kekacauan matematis, mathematical catastrophic, saat logika angka kalah dari hasrat politis. Pilkada diwarnai monolog angka. Sebuah epilog yang seru, mendebarkan, menegangkan, dan selalu memicu nafsu ingin tahu.
Melampaui angka dan metodologi penghitungan, aroma perjudian terendus saat proses Pilkada dipaksa harus terburu-buru meligitimasi hasil, sembari tidak terlalu kaku manut pada tradisi informasi berkanal jelas yakni website dan aplikasi KPU yang mampu melakukan penghitungan dengan validasi terukur.
Dua paslon memang memiliki basis data tersendiri dengan perangkat saksi dan tim, juga metodologi baku penghitungan yang dipakai. Namun, demokrasi yang selalu melatih hati agar biasa patah hati ini, rupanya mau cepat lelap dalam euforia pesta sembari melupakan pesan inti proses ini, kemenangan politik adalah sebuah selebrasi tanggung jawab untuk mengabdikan diri bagi kepentingan publik Manggarai.
KPU dan Perangkat Pengawasan toh punya cara menahan nafsu ingin tahu publik dengan tetap displin pada verifikasi dan falsifikasi data hasil pemilihan. Sikap itu lantas tak diikuti dengan tempramentia pelaku sosmed yang melampaui klaim politik calon.
Dengan pekik lantik dan melantangkan ajakan konvoi ini bisa memicu amarah yang kalah. Kemudian, Pilkada tak lagi berurusan dengan menang kalah politik, melainkan berurusan dengan pertautan rasa tersinggung akibat gesekan infomasi status-status yang tidak bertanggung jawab. Memalukan. Sungguh memalukan.
Tak disadari bahwa, senjata yang paling berbahaya adalah kata-kata, yang bisa menghancurkan kehidupan tanpa meninggalkan jejak darah, dan luka-luka yang ditimbulkannya tak pernah bisa sembuh, kata Paolo Coelho dalam “Manuskrip yang Ditemukan di Acra.”(p. 177.)
Dia melanjutkan, kekejaman dalam sebuah kompetisi bukanlah karena kerasnya kompetisi itu, melainkan dari orang-orang yang memanipulasi kemenangan dan kekalahan untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri.(p. 185.)
Monolog angka yang menyesatkan melalui medsos dan penyebaran isu yang menyesatkan adalah pertunjukan yang memalukan sekaligus menunjukan kemaluan politik yang jatuh pada derajat terendah. Memang ini wajar. Fanatisme tak terbendung dari para suporter menjadi alasan yang tak terdamaikan untuk pembenaran klaim.
Media-media arus utama pun gagal mengedepankan laporan mendalam yang tepat sehubungan sengan hasil Pilkada. Mereka acapkali bermain dalam klaim parsial yang hanya sifatnya menghibur bagi para pihak yang menjadikan Pilkada lahan taruhan.
Proses formal dari KPU dan kejelian Panwas tetap menjadi perhatian publik. Pelaku sadar akan semakin terarah pada hitungan resmi yabg tingkat kesalahannya bisa diminimalisir.
Pada akhirnya, kemenangan pilkada bukanlah euforia kemenangan individu dan kelompok keluarga, melainkan selebrasi tanggung jawab bagi kemaslahatan publik. Menjadi pemimpin bukan untuk mencari nafkah lewat kekuasaan politik melainkan sebuah persembahan kinerja bagi ‘nuca lale’ tercinta.
Hasil suara mayoritas bukanlah tujuan akhir Pilkada, melainkan kepemimpin yang transformatif yang bisa menerjemahkan mimpi dan imajinasi publik ke dalam program-program yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan prioritas masyarakat.
Selamat menanti dalam damai. Siapapun yang terpilih, kita akan terus menaikan derajat demokrasi Manggarai menjadi semakin beradab dan cerdas. (*)
Fian Roger; jurnalis, freelance researcher.