floressmart.com- Hiruk pikuk tindak tanduk politik lokal pasca pemungutan suara nampak sporadis di seluruh penjuru negeri. Riuh. Ramai. Bahkan ricuh. Demokrasi yang melatih agar membiasakan diri patah hati sekaligus sikap bijak menyikapi kemenangan, rupanya masih membutuhkan waktu lama agar bisa menemukan diri sebagai penemuan kehendak bersama untuk kemaslahatan.
Di tengah aneka debat klaim kemenangan dan dugaan kecurangan, publik nasional dihebohkan dengan kabar drama penjebakan artis beken Nikita Mirzani dan Puty Revita yang diduga menjadi pelaku pelacuran online. Disebutkan, tarif kencan mereka berkisar antara Rp 50 juta-150 juta. Itu hanya untuk layanan waktu singkat, short time service.
Dari penelusuran kepolisian dan investigasi media massa, rupanya pelanggan para artis ini kebanyakan para pengusaha dan pejabat. Gaya hidup yang mewah dan tuntutan kehidupan artis yang serba wah, membuat para perempuan cantik ini rela didagangkan para mucikari untuk dinikmati para bandar dan pejabat pemilik uang.
Menteri Sosial RI, Kofifah Indar Parawangsa, seperti dilansir Deustce Welle, mengatakan (11/12), kerterjeratan para artis dan model-model seksi dalam bisnis prostitusi diduga karena gaya hidup mewah yang tak terbendung dalam lingkar hidup para pesohor dunia hiburan itu.
Terlepas dari motif Polisi dalam menelisik dugaan perdagangan orang yang dialami Nikita dan Revy, kasus yang kembali terkuak ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan pesohor. Para artis dan model seksi ini menjadi ikon imajinasi seksual publik Indonesia.
Perkara utamanya bukan pada baik atau buruknya perilaku para mucikari atau artis yang menjajakan diri itu, melainkan tingkat kehebohan publik yang terjadi dan imaji seksual yang terjaja dalam pasar informasi publik.
Syahdan, ketika disebutkan bahwa pelanggan para model seksi itu adalah pejabat dan pengusaha, menguak relasi tak terbantahkan antara imaji seksual dan kuasa politik republik.
Dalam investigasi Merdeka Online beberapa waktu lalu, rupa-rupanya ruang seksual tak lagi menjadi yang privat di dalam kamar-kamar pribadi dan hotel-hotel yang susah dilacak. Tapi, wilayah seksual perilaku seksual dalam maksudactus sexualis–sudah terang-terang menampakan wajah di wilayah yang sama sekali publik-politis.
Jurnalis Merdeka Online berhasil menemui beberapa saksi yang sering melihat dan mendengar, ruang kerja para legislator digunakan untuk actus sexualis politisi. Pada waktu tertentu, jelang gelap nampak perempuan-perempuan berparas cantik dan berpakaian seksi mondar-mandir dari dan ke dalam gedung parlemen.
Kondom dan pakaian dalam (lingerie) menjadi saksi bisu yang disaksikan para petugas kebersihan di kisaran gedung Dewan. Jurnalis Merdeka menulis feature penuh dramatis, Desahan di Balik Ruang Kerja Dewan. Disebutkan, sebagian modus pengangkatan sekertaris pribadi, selain untuk mengatur jadwal sidang dan uang, juga ada servis plus-plus yang perlu dilakukan para sekertaris.
Imaji Seks yang Politis
Sabankali kampanye politik, kita menyaksikan hadirnya simbolisasi seksual di atas panggung politik. Para penyanyi bertubuh mulus dan berpakaian minim dihadirkan untuk membius dan memantik perhatian massa.
Kemunculan tubuh dalam pesona politik menandakan suatu upaya politis memuaskan hasrat imaji seksual publik demi mengangkat pesona kekuasaan para bandar politik dan politisi. Tubuh perempuan menjadi pesona yang mudah dieksploitasi dalam ranah politis untuk melegitimasi kekuasaan yang maskulin.
Lagu-lagu dangdut yang memperdengarkan lirik-lirik yang bernuansa seksual –misalnya saja lagu Terong Dicabein goyangan panggung yang memantik birahi pelihat, juga pilihan gaya berpakaian yang membuat mata tak terpejam selama beberapa detik, bukan lagi sekadar metode menarik perhatian, melainkan sebuah kekuasaan “liyan”, kuasa yang lain. Kuasa penanda seksual yang politis.
Alhasil, perilaku politis para bandar dan sebagian pejabat selalu berurusan dengan imajinasi seksual. Bukan karena atletisme seksual atau karena keperkasaan laki-laki yang menundukan perempuan, melainkan hanya untuk pemuasan imajinasi, sebab televisi, film, fotografi entertain, sudah membius publik dengan pesona tubuh yang dijajakan sebagai sebuah hiburan.
Dalam ranah politik lokal, sudah menjadi rahasia umum, Jakarta menjadi pesona wisata seksual dalam ragam bentuknya. Kegiatan dinas dan urusan negara menjadi dalih yang begitu cantik bagi sebagian pihak untuk memuaskan imajinasi seksual dalam wilayah kekuasaan dalam ranah lokal. Ke Jakarta itu punya pesona menarik. Jelas.
Rupanya dalih dinas, menjadi bungkusan yang menarik untuk menapak pesona seksual kota metropolis. Kalau sudah biasa makan daun singkong, kenapa sesekali tidak mencicipi Soto Betawi. Dalam ranah lokal, menjadi rahasia umum bahwa hiburan dengan tawaran pemuasan imaji seksual menjadi begitu bersahabat dengan gelagat politik lokal.
Jangan heran di Mangarai Barat, Pantai Selatan menjadi simbol wisata imajinasi seksual, ada area kisaran Cepi Watu di Manggarai Timur, tak lupa Manggarai dengan pesona kemolekan wajah-wajah dalam etalase yang ditawarkan di kafe remang-remang.
Pesona seksual dalam kuasa politik memang tak terbantahkan menjadi pengulangan niscaya dalam sejarah. Para raja zaman penahlukan memiliki banyak selir dan pemuas birahi. Juga pada masa kolonialisme, para perempuan lokal dijadikan pemuas nafsu para serdadu Belanda. Tak lupa, saat Saudara Tua (Jepang) berkuasa, banyak perempuan Indonesia yang dipaksa menjadi pelacur, Jugun Ianfu.
Dalam kaca mata ini, sejarah secara niscaya berulang dan berubah bentuk. Hanya sekarang bedanya sudah era digital, dan eksploitasi seks dalam ruang imajinasi semakin menjadi-jadi. Celakanya, perilaku ini dijadikan panutan dan direplikasi sosialita lokal yang meniru secara lurus perilaku artis.
Soekarno pun dalam kemegahanya sebagai ko-pendiri negeri dan proklamator menyimpan kisah soal atletisisme seksual. Raja panggung, politisi ulung dan seniman ini, rupanya mampu memikat banyak wanita mulai baik yang muda maupun yang berumur. Ia menikahi delapan orang perempuan sebagai istrinya.
Buku “Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia”(2015), menyebutnya, sebagai seorang Don Juan yang Mahir bercinta. Bagi Soekarno, kecantikan perempuan adalah besi berani yang tak pernah berhenti memberi daya pikat hingga masa senja hidupnya. Saat ia menjadi demagog dalam Demokrasi Terpimpin, ia pun masih memberi daya pikat yang mampu menarik perhatian banyak wanita.
Lokalitas Seksual Kita
Sepintas, nyaris tulisan ini tak berbenang merah. Atau, bisa diduga sangat tendensius dan berbias gender. Seolah-olah hanya tubuh perempuan saja yang dieksploitasi dalam wilayah politik. Bukan. Bukan begitu. Sebaliknya, politik dan kuasa bertali-temali dengan histori seksualitas dalam wilayah politik.
Seksualitas “bukan sebatas hubungan badan”lebih menjual citra imajinasi yang acapkali menunjukkan keseksian, kegenitan, birahi, dan daya tariknya dalam politik lokal.
Tesis ini adalah rahasia umum. Politik dekat kaitannya dengan imajinasi seksual, kekuasaan acapkali memanfaatkan pesona tubuh, baik laki-laki dan perempuan sebagai daya pikat sekaligus pemuasan agar kekuasaan mendapat legitimasi.
Politik lokal kita, nyaris menjadi berbentuk politik hipokrit, yang kelihatan agung dan kudus, dengan keterlibatan kaum putih mendukung para politisi yang menyasar kuasa politik lokal. Tak nampak bahwa secara genetik, kekuasaan politik lokal jatuh juga pada ekspos keperkasaan dan pesona imajinasi seksual. Kalau risalah ini salah, mari diperiksa kembali.(*)
Fian Roger: Pemungut Kata, Jurnalis, dan Bekerja Paruh Waktu di Institute of Resource, Governance, and Social Change/ IRGSC.