Politik Manggarai Berkelamin Laki-Laki

OLeh : Fian Roger*

Politik Manggarai berkelamin laki-laki. Tampak, mayoritas kekuatan birokrasi dan politik lokal dikuasai para bapak. Politik kita pun menunjukkan wajah maskulin. Syahdan, dunia politikpun berwajah patriarkal, dominasi dan hegemoni laki-laki terus menampakan muka abadi, baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan bupati dan wakil bupati di Manggarai Raya.

Kisah itu sedikit berubah setidaknya di Manggarai Barat dalam Pilkada 9 Desember lalu. Setelah dikuasai para bapak selama satu dekade terakhir, akhirnya, perwakilan perempuan pun muncul di puncak kekuasaan sebagai wakil bupati.

Dr. Maria Geong, Phd., adalah figur yang mematahkan mitos adikuasa para bapak dalam panggung demokrasi lokal. Dia mendampingi Drs. Agustinus Ch Dula, sang petahana yang kembali memenangkan pilkada dengan perolehan suara sebesar 27.592 atau 24, 68 persen.

Peran Maria Geong, tak boleh dianggap sepele. Pasalnya, dia intelektual sekaligus praktisi bidang peternakan yang cukup disegani. Dia perempuan birokrat yang jenial dan sudah menunjukan prestasi di level Provinsi Nusa Tenggara Timur. Societas Civilis Manggarai Raya tentu akan menjadi pengontrol, manakala potensi dan kemampuan Maria Geong akan sekadar dijadikan “ban serep” rezim Gusti dalam lima tahun ke depan.

Kesuksesan emansipasi politik Mabar, tidak lantas diikuti di Manggarai dan Manggarai Timur. Tampak dominasi para bapak dalam politik membuat peran perempuan terpinggir dari pusaran kekuatan politik lokal. Maria Geong, intelektualis sekaligus aktivis politik yang membuka jalan baru ihwal partisipasi politik perempuan di panggung politik lokal. Sebagai pembuka jalan, jelas kekuatan politik perempuan butuh kaderisasi jangka panjang untuk mematahkan mythos adikuasa para bapak.

Tahun 2010, eksperimentasi politik  kesetaraan di Manggarai memunculkan pasangan Herybertus G L Nabit -Yustina Ndung (Paket Naun), yang konon, masa itu, mewakili societas civilis untuk politik emansipatoris di Manggarai. Namun sayang, kandidasi itu gagal. Paket Naun hanya memperoleh suara 10.838, jauh dari elektabilitas Chris Rotok-Kamelus Deno (Credo) yang menang dengan perolehan suara 48.833 dari 92.533 suara sah.

“Beka agu Buar”

Dalam bangun budaya Manggarai masa lalu, perempuan dijadikan masyarakat kelas dua. Paham “ata pe’ang” dan “ata one”, setidaknya melahirkan adikuasa laki-laki atas perempuan. Laki-laki dianggap pemimpin, pengatur, pemberi solusi, dan ahli waris keluarga. Kelahiran yang dipandang sebagai “beka agu buar” menunjukan bahwa anak laki-laki itu pelestari keturunan (beka) sedangkan, kaum perempuan membawa keturunan keluar dari suku dan keluarga besar (buar). Dan dalam budaya Manggarai yang kapitalis, perempuan itu penghasil modal lewat “belis” dan “sida.” (Bdk.Padju Dale: 2013, 251-262).

Belis yang berupa uang dan ternak itu merupakan tanggung jawab moral berupa materi yang diberikan pihak “anak wina” atau pihak laki-laki kepada perempuan sebagai obyek yang dinikahi dan dinafkahi, “anak rona.” Dengan filsafat, “wae teku tedeng,” pihak laki-laki akan terus berkontribusi secara material kepada pihak perempuan melalui “sida” selama hayat dikandung badan.

Baca juga  Pemimpin Manggarai dan Revolusi Karya

Bangunan budaya ini memang akan menunjukan adikuasa laki-laki sebagai mahluk gagah, mapan, pemimpin, pemberi solusi, dalam relasi perkawinan. Kaum perempuan dijadikan obyek budaya untuk sebuah akumulasi modal/kapital. Peminggiran ini memang berakar dalam pemahaman agama-agama monotheis seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Perempuan itu mahluk kelas dua di bawah laki-laki. Misalnya, dogmatisasi diskriminatif ihwal selaput dara.

Konsep selaput dara dikultuskan, misalnya laki-laki akan menghargai perempuan yang selaput daranya masih utuh sebelum menikah. Sementara perempuan yang tidak perawan akan dipinggirkan sebagai pezinah pra nikah. Syahdan, muncul simbolisasi selubung transparan yang menutup wajah pengantin saat seremoni sakral pernikahan.  Sementara, laki-laki yang tak menjaga keperjakaannya tidak jadi soal.

Dalam tradisi agama-agama monotheis, laki-laki itu imam atau pemimpin, sedang, perempuan itu yang dipimpin, ummat. Tradisi Katolik dan Islam-lah yang melanggengkan pemisahan itu. Kalau, Protestanisme membolehkan perempuan menjadi imam/pendeta, sementara tradisi Katolik keukeuh dengan tradisi; hanya laki-laki yang boleh menjadi imam. Dalam Islam, wilayah ibadah laki-laki dipisahkan dari kaum perempuan.

“Perias Politik”

Dominasi dan hegemoni para bapak ini pun langgeng dalam dunia politik lokal. Meski sudah memberi ruang kewajiban bagi partai politik untuk mengarusutamakan perempuan dalam pemilihan legislatif, akan tetapi ruang politis perempuan masih rendah dan sempit.

Politisi perempuan pun dirancang sebagai “caleg tempelan” untuk mengisi kuota daftar usulan calon legislatif dalam daftar calon sementara, kemudian dalam daftar calon tetap. Kaderisasi serius politisi perempuan tersumbat, karena partai politik lokal masih berwajah maskulin, dikuasai para lelaki.

Baca juga  Demokrasi Plastik Homo Manggaraiensis

Walau demikian, di Manggarai kita menyaksikan beberapa tokoh perempuan hadir di ruang parlemen Manggarai, sebut saja, Osi Gandut (Golkar), Agnes Menot (Partai Demokrat), Ros Bongkok (PKPI). Namun, ruang politis suara perempuan toh masih tenggelam di antara arus deras suara para bapak yang hegemonik itu.

Di level Provinsi, kita menyaksikan kebolehan Yeni Veronika (Partai Amanat Nasional) dan Kristofora Bantang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.  Namun di level pusat, nihil tokoh politik perempuan yang sudah menjadi legislator di Senayan dari Nusa Lale.

Ranah jabatan dan pangkat birokratis pun sama. Birokrasi lokal Manggarai Raya sangat menunjukan adikuasa maskulin. Statistik menunjukan jarak yang jauh antara dominasi kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Di Manggarai, baru dua unit satuan kerja perangkat daerah yang dipimpin perempuan, sebut saja, Inspektorat dan BLUD RSUD Ben Mboi.

Data BPS 2013 menunjukkan, perempuan yang menempati eselon 2B hanya satu orang, sementara laki-laki sebanyak 29 orang. Sementara, ASN yang berpendidikan strata II sebanyak 26 orang. Dari jumlah itu, laki-laki sebanyak 21 orang, sementara perempuan sebanyak 5 orang. (BPS; 2015, 20-21)

Di Manggarai Timur apalagi, boro-boro di legislatif, tidak ada perempuan yang menjadi pimpinan SKPD, meski secara kemampuan sejumlah birokrat perempuan sangat potensial. Sementara di Mabar, SKPD yang berurusan dengan KB dan kesejahteraan perempuan sudah dipimpin skrikandi birokrasi. Setidaknya, itu sudah terjadi dalam lima tahun terakhir. Jelas, alokasi jabatan dan kenaikan pangkat untuk kaum perempuan belum masuk agenda politik lokal.

Ayu Utami (novelis, atheis, dan feminis) mengungkapkan, hegemoni para laki-laki memang bukan karena kehendak para laki-laki saja. Kaum perempuan sendirilah yang melanggengkan dominasi, hegemoni, dan eksklusi dalam wilayah adak, agama, dan politik.

Perempuan masih betah berada di bawah ketiak laki-laki. Aktivis perempuan pun masih dihitung dengan jari di Manggarai. Banyak perempuan yang tidak peduli politik (apolitis) dan hanya melihat sisi pragmatis kekuasaan, misalnya melihatnya sebagai fashion. Perempuan memang mendominasi perolehan prestasi akademik masa sekolah, namun toh di wilayah politik, ruang ‘yang feminis’ selalu dikalahkan ‘yang maskulin.’

Baca juga  Epilog Pilkada : Monolog Angka Yang Menyesatkan

Ini “berkat” dari rezim Sukarno dan Suharto yang penuh demagogi politik dan berwarna militeristik. Perempuan disimbolkan dengan kebaya, batik, sanggul, dan hak tinggi yang akan setia menebar seyum saat para bapak berpolitik. Kaum perempuan disebut “dharma wanita” dengan simbolisasi sanggul dan kebaya. Wanita dalam Bahasa Sanskrit berarti “orang yang berhias wajah.” Lantaran itu, pejuang feminis lebih menyukai istilah perempuan yang secara politis lebih benar.

Maaf saja, perempuan yang acapkali dihibur dengan istilah “srikandi-srikandi” itu hanya menjadi perias wajah kampenye dan penarik hasrat politis sehingga seolah-olah kampanye para bapak itu menyebar kesetaraan. Alhasil, strategi yang maskulin pun mulus.

Walau perempuan lebih berkualitas dari sisi akademik dan prestasi sosial, namun di Republik ini pengetahuan dan kapasitas sosial selalu kalah dari kekuasaan uang dan mafioso politik. Meminjam istilah Foucoult (Filsuf Perancis), Gerakan Orang Muda Manggarai Raya, perlu melakukan “pembangkangan epistemik” untuk melawan dominasi dan hegemoni dalam demokrasi lokal.

Para bupati dan wakil bupati terpilih harus dipaksa dengan “pembangkangan epistemik” yang radikal untuk memasukan agenda politik kesetaraan di Manggarai di antaranya melawan pemiskinan dan peminggiran perempuan, perbaikan kualitas kesehatan ibu dan anak, perbaikan ketahanan pangan, melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak; penjualan manusia; dan upah buruh perempuan yang rendah.

Relasi gender yang hirarkis di Manggarai Raya dapat dilawan hanya dengan memasukan isu-isu ini menjadi agenda kerja pemerintah dalam lima tahun ke depan, sebab, tata kelola pembangunan yang berwarna maskulin akan kehilangan empati dan presisi. Pada akhirnya, perempuan itu bukan mahluk politis kelas dua, bukan penghias demokrasi, bukan kelompok apolitis, juga penikmat hasil politis yang pragmatis. Perempuan itu “bidan” dan pelaku perubahan.(*)

*)Tulisan ini didedikasikan khusus untuk Bunda Maria yang Dikandung tanpa Noda dan tiap ibu yang sudah melahirkan para  pemimpin yang baik. Ruteng, 22 Desember, pada Perayaan Hari Ibu Sedunia.   

 

Beri rating artikel ini!
Tag: