Oleh : Fian Roger*
TAHUN 2015 menyisakan penggalan (rupture) sejarah ihwal lingkaran kaum berjubah putih. Anda dan saya masih ingat kisah mantan imam misionaris HJM yang tega menghabisi nyawa  anak dan istrinya (mantan biarawati) di salah satu tempat di Pulau Flores. Juga masalah “manusiawi†salah satu oknum “mantan klerus†yang di pusaran Kota Dingin yang adalah seorang tenaga pendidik. Kasus ini heboh secara diam-diam.
Dan salah satu yang kuat membekas dan cukup menyita ketegangan saraf publik religius adalah petisi di sebuah jejaring media sosial yang terkait dengan pimpinan tertinggi hirarki di bumi Nusa Lale. Kasus itu memang ramai di sosial media dan menjadi obrolan yang tidak tabu lagi soal ruang publik religius Manggarai Raya.
Kabar itu pun tanpa pengungkapan (investigasi, verifikasi, falsifikasi, dan publikasi) yang jelas. Gosip dan berita tanpa benang merah tak terurai jelas. Anda dan saya pun kembali ke Kapela sembari memberi otoritas kebenaran (veritas) pada  Sang Ada yang mutlak, Ens Absolutum.
Tulisan ini tak berpretensi menjadi sok suci dalam ruang aktivisme gerakan muda Manggarai Raya. Ini merupakan autokritik, kritik diri. Sebab, akal budi akan berujung pada bunuh diri tanpa berani menerima kritik. Dan batasan kritik adalah kritik akan tetap menjadi kritik.
Ini adalah catatan sederhana dari keberdosaan. Sebab memotret imamat juga berarti melihat semangat selibasi dalam hidup berkeluarga. Seperti ucapan St. Jose Maria Escraiva (Pendiri Opus Dei), hidup berkeluarga menjadi sebuah penghayatan selibat dan imamat dengan cara menikah. Dan kedosaan adalah esensi saya dan anda sebagai mahluk aksidental, yang hari ini bermegah dalam kuasa, besok membusuk dan jadi abu.
“Jalan Imamatâ€
Imamat itu menjadi salah satu jalan untuk mengikuti Sang Guru. Jalan imamat, menjadi jalan mulia sekaligus jalan terjal kemartiran. Tidak mudah untuk menjalani pola hidup khusus itu. Musuh yang terbesarnya adalah materialisme diri. Hilangnya Baitul Roh Kudus dari tubuh. Saat tubuh sudah dikultuskan seolah-olah diciptakan manusia.
Menjadi imam adalah salah satu jalan mengikuti jejak Sang Guru. Ia menyempurnakan cinta kasih yang berbenih dalam keluarga. Para imam mempersembahkan tubuhnya bukan hanya untuk satu atau dua orang. Imam mempersembahkan tubuhnya untuk semua orang.
Seperti Sabda Sang Guru, “Inilah Tubuhku yang kukurbankan bagimu dan bagi semua orang…â€. Menjadi imam itu meninggalkan cinta egoistik dari sekadar memuja cinta romantik menuju pengabdian kepada kemanusiaan. Imamat itu didorong cinta kasih dan hasrat untuk menjalani kehendaknya dalam segenap aktivitas.
Banyak kasus memang yang mendera para imam secara pribadi. Tetapi itu tidaklah merusak imamat suci kristen. Sebab imamat itu rahmat yang diterima semua orang. Imamat itu keterbukaan dan bukan paksaan. Imamat itu panggilan unik. Imamat itu bukan jabatan sosial tapi sebuah langkah rohani (el camino).
Di Manggarai, tak sedikit imam yang diutus ke tanah misi. Banyak imam yang ditahbiskan saban tahun. Namun, tak sedikit juga yang dikabarkan secara tak sedap karena jatuh dalam kesalahan yang sama. Kesalahan yang dari dulu kala sudah begitu modusnya.Sebagian umat memaki. Kalangan kritis melontarkan kritik. Ada pula yang mengalami krisis kepercayaan terhadap klerus. Namun soalnya bukan itu.
Soalnya adalah ketika saya mempersoalkan kehidupan kaum berjubah, apa tanggung jawab saya sebenarnya? Bukankah saya juga menjadi pelindung martabat perkawinan Katolik? Bukankah saya juga yang melindungi para imam, misionaris, dan biarawati?
Saat orang masih melihat Gereja sebagai bangunan megah atau barisan jubah putih, di situlah dia salah sikap dan meninggalkan tanggung jawab sebagai murid. Anda dan Saya itu Gereja. Berarti kalau salah satu murid terluka, itu luka bersama. Lukamu adalah lukaku. Lukaku adalah lukamu.
Gerakan Muda Katolik sebenarnya garda yang melindungi para imam. Sebab kalau tidak ada yang menjaga mereka. Lantas anda mau menginginkan Gereja yang seperti apa? Kalau para imam adalah garda penjaga tradisi iman Sang Guru, kita yang adalah awam di dunia yang tidak lagi bersahabat ini adalah penjaga para imam. Kita adalah pasukan khusus di bawah tanah yang berjuang agar tradisi dan warisan iman tetap menjadi keindahan ziarah dunia bersama ragam peradaban religius lain seperti Budha, Hindu, Yahudi, Islam, Kongfucu, Shinto, dan sebagainya.
Michel Foucault dalam karyanya Madness and Civilization mengungkapkan, praktik-praktik sosial kita memungkinkan relasi kuasa terlaksana. Kuasa itu ada di mana-mana. Jangan heran kawan, anda dan saya menemukan kekuasaan dalam hubungan kita sehari-hari di antaranya dalam keluarga, politik, ekonomi, sosial, dan agama.
Ketika sejarah kita menjadi sejarah relasi kuasa, dampaknya juga dalam ranah publik religius. Selalu ada ketersambungan (continuity) sekaligus keterputusan (rupture) diskursus antar peradaban. Menyamakan konteks semangat dan praktik imamat pada zaman rasuli dengan zaman sekarang tentu juga menjumpakan pelihat pada ketersambungan dan keterputusan.
Andai ada Android dan mobil mewah pada zaman St Paulus, entah apa yang akan ditulis Paulus dalam teks-teks yang ia tinggalkan. Andai waktu zaman Paulus sudah menggunakan pesawat dan pembayaran melalui kartu kredit,entah apa yang ia tulis dalam teks-teksnya?
Kita takut, kekuatan hirarki jatuh pada sekadar pesona kuasa politik duniawi, bukan sebuah misi universal keselamatan manusia. Kita cemas materialisme kuasa dan uang mematikan semangat agama yang seyogyanya menjaga marwah kemanusiaan. Â Kita takut politisasi agama menjadikan ruang publik religius dijual murah untuk kekuasaan.
Jelang akhir tahun, Paus Fransiskus dalam sikap ugaharinya sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik menulis 10 resolusi yang penting untuk diinternalisasi. Resolusi-resolusi itu antara lain; berhentilah bergosip, selesaikan makan siang anda, sediakan waktu buat orang lain, pilihlah sesuatu dengan semangat kedinaan, jumpailah orang miskin “dalam daging,†stop vonis sesama, bertemanlah dengan lawan, kuatkan komitmen (soal pernikahan), biasakan untuk “memohon pada Tuhan,†dan yang terakhir berbahagialah.
Pesan Paus menjadi bekal untuk melangkah di 2016. Saat persoalan hidup makin keras, sikap ugahari dan terbuka pada kritik menjadi jalan perubahan. Dan perubahan yang benar itu lahir dari kedalaman diri. Selamat memasuki 2016. (*)
*) Tulisan ini didedikasikan untuk Gerakan Orang Muda Manggarai Raya yang menyayangi para imam dan keluarga-keluarga beriman sederhana di Bumi Nusa Lale.