Dahulu kala hiduplah di Manggarai seorang pemuda bernama Pondik. Si Pondik itusangat licik, apalagi bila dalam keadaan terdesak. Untuk bertahan hidup, ia berjalan dari kampung ke kampung mencari keterangan kapan dan di mana akan diadakan pesta.
Pada suatu hari, ketika berjalan-jalan si sebuah hutan, ia melihat sebuah sarang lebahpada suatu dahan. Timbullah hasratnya untuk mengangkat sarang itu dengan cara memasukannya ke dalam sebuah periuk tanah. Ia lalu berkeliling kampung sambil berseru, “Gong, gong, silakan beli, ini gong istimewa!” Warga desa pun tergiur dengan rayuan si Pondik. Seorang tua adat menawar untuk membeli gong itu, tetapi ia bertanya dalam hatinya tentang bentuk gong yang aneh itu. Bagaimana gerangan menabuhnya. Si Pondik mengerti dengan keheranan warga desa, karena itu ia berkata, “Gong ini tidak perlu ditabuh, cukup digoyang, dan akan terdengar bunyi yang nyaring,” sambil
ia mengoyang periuk itu. Dan terdengarlah bunyi ‘nging’ ….. Setelah harga disepakati, gong itupun dibeli, dan si Pondik mendapat uang tunai. Sebelum berlalu ia menambahkan, “Gong ini boleh dibunyikan sesudah saya pergi.”
Si pembeli, dengan perasaan ingin tahu, menggoyang-goyang gong itu, dan benar, terdengarlah bunyi yang nyaring. Ia lalu membuka gong itu di depan para warga desa. Dengan seketika, berhamburlah lebah-lebah dari periuk itu menyerang semua yang hadir. Mereka lalu mencari dan menemukan si Pondik pada sebuah pesta. Mereka mencambuknya, dan menggiringnya untuk diadili.
Si Pondik dihukum dengan digantungkan pada sebatang pohon di tepi jalan yang ramai. Namun, si Pondik tidak kehabisan akal. Setelah dua hari, datanglah seorang bernama Mtembong mendekati si Pondik sambil berkata dalam hatinya, “Ah, bagus sekali orang itu, ia dapat berayun-ayun.” Si Pondik pun berbuat seolah-olah gantungan itu sebuah permainan yang menyenangkan.
Karena ingin tahu, Mtembong lalu berkata pada si Pondik, “Sahabat, apa yang kau lakukan di situ? “ Si Pondik menjawab, “Mengapa saudara bertanya? Ini permainanku yang biasa, demi menjaga kelangsingan tubuh saya. Dulu, perut saya gendut, lebih gendut daripada perut saudara. Tapi lihat sekarang, saya sudah ramping betul.”
Mtembong mendengar bualan si Pondik lalu memohon dan mendesak agar diizinkan mencoba permainan itu. Si Pondik meminta Mtembong melepaskan tali-temali yang melilit tubuhnya. Lalu ia membantu mengikatkan tali-tali itu ke pangkal ketiak, dan leher si Mtembong. Maka tergantunglah si Mtembong menggantikan si Pondik, terayun kian kemari, makin lama, makin menyakitkan. Setelah itu si Pondik pergi sambil bernyanyi,”Oh……losi Pondik e, alah Mtembong (= Si Pondik sudah lari, bunuhlah Mtembong).
Warga desa yang datang, melihat bahwa si Pondik belum juga meninggal, maka mereka mengambil tombak lalu menikam lambungnya. Si Mtembong yang malang berusaha mengatakan kepada mereka bahwa dirinya bukan Pondik, tetapi tidak digubris massa. Maka matilah si Mtembong.
Lalu si Pondik dihadapkan ke pengadilan desa dengan tuduhan membunuh. Hukuman mati yang dijatuhkan padanya ditolak si Pondik. Hukuman yang lebih ringan adalah membayar denda seekor kerbau besar dan gemuk, yang harus diserahkan ke pengadilan desa dalam waktu satu minggu. Si Pondik yang tidak mampu itu merasa hukuman ini sangat berat. Dia sudah berusaha semampunya tetapi sia-sia. Bagaimana mungkin mendapatkan kerbau yang besar dalam waktu seminggu.
Dalam keadaan putus asa ia mendatangi sekumpulan orang secara kebetulan sedang membagi-bagi daging kerbau. Ia memohon, agar mereka mau menjual bagian leher dengan kepala kerbau itu kepadanya. Ia lalu membawa kepala kerbau itu dan menanamkannya ke dalam lumpur pada sebuah kubangan. Tali yang terikat pada leher kerbau diikatnya pada sebatang pohon, dan seutas tali lagi diikatnya pada hidung kerbau lalu direntangkannya sepanjang seratus meter sampai ke lereng sebuah bukit.
Ia kembali ke desa, melaporkan kepada tua adat bahwa kerbau yang di minta sudah siap di padang. Warga desa mengikuti si Pondik ke padang, lalu berusaha sekuat tenaga menarik kerbau itu keluar kubangan tetapi tidak berhasil. Karena hari telah senja, mereka memutuskan untuk membunuh kerbau itu di kubangan. Si Pondik yang licik meminta diri untuk pergi karena tidak rela menyaksikan kerbau miliknya dibunuh.
Warga yang membunuh kerbau itu akhirnya mengetahui, bahwa yang berada dalam kubangan itu hanyalah kepala kerbau yang ditanam di dalam lumpur. Banyak yang menjadi marah kepada si Pondik, tetapi banyak juga yang tertawa terbahak-bahak. Warga desa pun membiarkan si Pondik yang licik itu hidup dalam caranya sendiri.***