Menangkap Repertoire Gersos Usai Kongres dan Pilkada

             Fian Roger

floressmart.com- Apakah Anda masih ingat Kongres Pemuda Manggara Raya 2014? Kegiatan ini dilaksanakan pada 13-15 Agustus 2014 di Ruteng, berawal Warung Kopi Teras Lukas milik Kraeng Yani Rewos, LG Corner (Paroki Katedral Ruteng), dan Angkringan Lestari (Jefry Teping/ Arka Dewa), kemudian berpuncak di Aula Paulus dan kelas-kelas kampus STKIP St Paulus Ruteng.

Sayang, sampai saat ini tidak satupun dokumen tertulis hasil kesepakatan Kongres berhasil dirilis. Ada beberapa video dan foto diabadikan, namun masih tersimpan rapi di beberapa memori penyimpanan eksternal milik para tukang dokumentasi.

Ada beberapa kegiatan setelah Kongres yang patut dicatat, misalnya, keikutsertaan dalam pameran pembangunan 2015, advokasi krisis air Ruteng, advokasi penutupan tambang di Manggarai, advokasi pemilihan kepala daerah secara langsung, kegiatan tanam pohon dan bambu di Golo Lusang, dsb. Beberapa kegiatan yang disebut ini  berawal dari kopi darat kemudian pada aksi kolektif.

Selama Pilkada Desember 2014 kelompok “ex” kongres di Ruteng sibuk terbagi dalam kutup-kutup dukungan politik baik relawan maupun “tim resmi.” Sementara di Manggarai Barat, para saudara yang tergabung dalam Bolo Lobo, Sun Spirit, cs., sibuk melakukan perlawanan terhadap adikuasa Provinsi yang menguasakan pengelolaan Pantai Pede kepada PT Sarana Investama Manggabar (SIM).

Setelah sekian lama ribut di media online, koran, dan media sosial, barulah Keuskupan Ruteng bersuara membawa pesan-pesan Sinode 2014-2015 untuk menyuarakan kembalinya hak publik kepada warga. Dan patut dicatat kegiatan-kegiatan perlawanan di Manggarai dan Manggarai Barat berangkat dari warung kopi dari orang-orang yang sepaham dalam isu dan tujuan perjuangan tertentu.

Usai ingar-bingar Pilkada 2015, kelompok Kongres kembali ke rumah masing-masing seperti kampus, LSM, partai politik, media, birokrasi, dan sebagainya. Sebagian pihak bertanya, apa sih manfaat praktis Kongres Pemuda Manggarai Raya 2014?

Baca juga  Agama dan "Politik Kangkang"

Kegiatan yang dulu hebat di media sosial dengan wacana-wacana hebat dan orang-orang yang hebat dalam mengeritik dan melakukan kegiatan-kegiatan publik yang menarik karena logo dan desain grafis yang menarik mata. Kegiatan yang tercatat dalam opini ilmuwan filsafat sekelas Dr Phil. Norbertus Jegalus, peneliti sekelas Agustinus Edward Tasman, dan beberapa jurnalis media nasional di antaranya Jakarta Post dan beritasatu.com.

Dalam ingatan kolektif Kongres meninggalkan kisah soal tampilnya Ivan Nestorman di halaman STKIP Ruteng, penampilan kelompok teater asuhan Armin Bell, dan puisi bahasa Manggarai yang dibaca oleh Romo Ino Dangku. Ingatan lain misalnya, soal beberapa saudara yang memfasilitasi reses anggota DPR dan DPD RI seperti Jhony Plate dan Andri Garu, konferensi pers seruan pilkada damai, dan ulang tahun yang dirayakan dengan “kepala babi” di salah satu warung kopi.

Apakah kongres hanya bermain pada citra wacana politis dan tindakan politis yang penuh wacana dengan memunculkan banyak pengamat dan kritikus karena rajin menghafal isi buku-buku dan suka mengutip kalimat pemikir-pemikir hebat?

Ingatan yang paling membekas bisa jadi adalah soal kotak-kotak kehendak memilih semasa Pilkada 2015. Wilayah yang meninggalkan wilayah tabu untuk mengeritik diri ihwal tindakan politis yang terbingkai dalam atmosfir kekuasaan lokal dengan kepatuhan pada adagium politik sebagai panglima perubahan. Sebab, perubahan tanpa tindakan politis hanya sekadar perbincangan di warung kopi untuk mengisi waktu senggang.

Kongres Pemuda Manggarai bisa saja disebut gerakan sosial baru kala itu yang tidak lagi sibuk dengan perdebatan ideologis dengan asumsi-asumsi Marxian seperti anti kapitalisme, revolusi kelas, dan perjuangan kelas, melainkan sebentuk tanggapan terhadap kehadiran menguatnya kehadiran negara dan pasar di Manggarai Raya.

Baca juga  Politik Keibuan , Politik Empati

Kongres pun layak disebut kegiatan “incidental” untuk melawan perluasan kekuasaan negara melalui pemerintah daerah dan pasar yang makin meningkat dengan memunculkan diri sebagai pelaku pengawasan dan kontrol sosial dalam isu-isu di antaranya hak publik (listrik, air, dan infrastruktur), isu lingkungan, isu religius dan budaya dengan selalu mewacanakan keadilan dan kesetaraan.

Kongres memang dalam beberapa hal digolongkan sudah berhasil “narsis” di ruang publik dengan taktik mengganggu (disruptive), memobilisasi relawan di luar politik formal, dan menggerapakan opini masyarakat melalui media sosial dan hasutan-hasutan kopi darat. Namun, apa itu cukup menyentuh kebutuhan-kebutuhan masyarakat sederhana di akar rumput yang selama ini dibantu beberapa LSM yang patuh pada donor-donor?

Usai seremoni kongres dan pilkada, memang tidak satupun lembaga lokal yang berani menamakan diri sebagai wakil kongres, sebab semangat kegiatan itu ad hoc, tidak permanen, tidak kaku, dan mengalir sesuka hati dalam genre gerakanya, juga tidak ada pemimpin yang pasti sebagai kordinator, paling-paling mengandalkan sms dan telefon untuk para saudara yang dianggap masih nyaman dan aman di lingkup pergaulannya.

Sifat organ usai kongres bersifat terbuka, desentralistis, dan tanpa hirarki dengan pelibatan aneka profesi, latar belakang, dan motif politik seperti academia, seniman, aktivis LSM, rohaniwan, politisi, pengusaha, yang umumnya kaum terdidik dengan wajah yang majemuk kemudian terserak dalam kelompok-kelompok kecil yang memapankan tujuan dan warna aktivitasnya dalam region Manggarai maupun Manggarai diaspora.

Usai Pilkada yang memenangkan Pasangan Deno Kamelus dan Viktor Madur di Manggarai dan pasangan Agustinus Ch Dula dan Maria Geong di Manggarai Barat, tertangkap beberapa repertoire (penggalan kisah) soal ingar bingar gerakan sosial region tana nusa lale.

Pertama, perhelatan pilkada lokal menjadi struktur kesempatan politik para pelaku gerakan yang memungkinkan apakah mereka akan bekerja dari dalam sistem atau dari luar sistem. Apakah terlibat dengan pengaruh langsung atau tidak? Ini soal pilihan. Dan berbeda pilihan itu penting.

Baca juga  Demokrasi Plastik Homo Manggaraiensis

Kedua, terkait pembingkaian gerakan (framing). Usai pilkada, jenis isu apakah yang akan dipolitisasi para pelaku gerakan sosial lokal? Sikap kritis yang perlu dimunculkan, apakah gerakan sosial yang dimobilisasi itu masih  loyal dengan kepentingan masyarakat?  Ataukah sekadar memunculkan daya tawar supaya dikatakan “setara pemerintah” dalam atmosfir kekuasaan lokal? Apakah selalu dengan mengeritik sebagai pengamat dan peneliti “jagoan,” ketimbang menawarkan tindakan alternatif bagi pemeritah?

Ketiga, usai pilkada bagaimanakah gerakan sosial lokal melakukan struktur mobilisasinya? Tentu di sini, kelompok Kongres mendukung pemimpin karismatis yang membawa perubahan di daerah, yang bukan sekadar melaksanakan administrasi pemerintahan, melainkan menembak sasaran pembangunan yang masih berjalan di tempat. Ataukah, gersos lokal sekadar melayani tangga kekuasaan “para bos” kemudian meminta imbalan sepadan dan bersembunyi di balik para patron yang sedang berkuasa (bisa dari parpol, LSM, penguasa akademik, politisi).

Keempat, jaringan gerakan usai pilkada bisa saja jatuh dalam ketersumbatan komunikasi karena dominasi kecurigaan dalam gerakan bersama. Ruang tafsir yang semena-mena tanpa berpikir soal latar belakang dan kebutuhan khusus individu yang terlibat dalam gerakan mengakitankan keterputusan komunikasi. Akhirnya, kutup-kutup kelompok makin menjadi-jadi. Dan kelima, kongres bisa jadi membutuhkan “integrasi teroganisir” sehingga memiliki nafas gerakan yang panjang.

Kongres Pemuda sudah melepas kabar dari Papua sampai Swiss, dari Ruteng hingga Jakarta, dari media sosial hingga perjumpaan wajah-wajah yang tidak homogen, dan meningalkan jejak-jejak makna peradaban gerakan sosial di Ruten

g yang berwajah tidak utuh, terserak, terpecah, dan butuh integrasi. Yang jelas, sekali membikin sejarah, akan terus tertangkap dalam memori kolektif yang telanjang. (*)

*) Blogger dan Warga Ruteng-Manggarai

Tag: