floressmart.com- Panas terik sore Kota Dingin tidak meyurutkan niat ratusan warga Ruteng Manggarai Nusa Tenggara Timur menghampiri halaman Katedral Ruteng, Jumat sore 18 Maret 2016. Empat puluhan laki-laki dan perempuan bersiap-siap dalam pakaian adat Manggarai, pakaian pax romana dan ibrani.
Tampak seseorang laki-laki berjanggut lebat dan berambut ombak sebahu mengalami situasi angst(kegelisahan paling dahsyat) di depan sebuah gua beraltar batu alam. Pria yang berprofesi sebagai tukang kayu itu di temani tiga orang laki-laki berpakaian sebagai murid tradisi Yahudi.
Tiba-tiba segerombolan demonstran menyambangi pria yang kemudian diketahui bernama Yesus itu. Mereka membawa serta pasukan imperium Romawi bersenjata cemeti dan pedang.
Sekelompok demonstran berpakaian songke Manggarai itupun meminta pasukan Roma menyiksa sang tukang kayu kemudian dihadapkan kepada tribunal Yahudi dan penguasa imperium bernama Pilatus. Disiksa keras dengan cemeti, tamparan, dan tendangan, pria itu tersungkur di panggung berbahan bambu.
Sang tukang kayu kemudian dihadapkan kepada penguasa Imperium untuk diadili dengan tuduhan melakukan pengajaran sesat karena mengaku sebagai Allah dan tuduhan makar sebab menyulut pemberontakan militan Yahudi karena mengaku sebagai raja.
Tradisi Yahudi hanya mengakui hanya Yahweh atau Allah para tentara sebagai Allah, karenanya siapapun yang mengaku sebagai anak Allah atau Allah merupakan penghujatan dan harus dihukum sesuai tradisi.
Chutzpah dalam tradisi Talmud di kemudian hari pun memperlihatkan DNA Bangsa Yahudi sebagai yang berbeda dan paling melakukan yang terbaik sebagai bangsa terpilih dan masa itu sedang mengharapkan penebusan dari kekuasaan imperium, tetapi bukan Allah yang menjadi manusia.
“Ece homo, lihatlah manusia ini,” ucap Pilatus di depan pengadilan massa. Si pria yang bonyok disiksa pun diadili dengan dua alasan itu meski ia sendiri beralasan kerajaanya bukan hendak melakukan kudeta di wilayah jajahan melainkan kerajaan yang melampaui dunia.
Mengingat alasannya tidak kuat, perwakilan kaisar di wilayah Yudea dan Galilea pun menjatuhi vonis mati kepada pria berumur 33 tahun itu. Massa yang bertindak sebagai juri pengadilan meminta barter dengan Barabas sebagai remisi menjelang hari raya Paskah.
Si Barabas yang bertingkah eksentrik berambut kriwil-kriwil berlari-lari dari penjaga ke tengah barisan massa sembari mengolok-olok pria yang disiksa itu. Tingkah itu sempat membuat sebagian anak-anak tertawa.
Pengadilan pun berlanjut dengan adegan penyiksaan, pemanggulan salib keliling kota, hingga saat-saat miris perjumpaan si tukang kayu dengan ibunya yang bernama Mariam.
Lantunan “Ave Maria” yang melankolis mengisi perjumpaan wajah ke wajah sang ibu dan anak. Alunan merdu menyayat sempat membuat sebagaian penyaksi berkaca-kaca. Pria itu terus diarak tidak mempedulikan wanita-wanita yang menangis di pinggir jalan hingga ke bukit tengkorak untuk disalibkan.
Hening. Alunan “Agnus Dei Requiem” kembali menyayat. Yesus ditikam hingga mencucurkan darah bak semburan didihan air panas dari perut bumi. Ia meninggal dalam vonis yang belum dibuktikan sepanjang sejarah, disaksikan ratusan orang penyaksi.
Itulah gambaran dari adegan teater via crucis Yesus yang dilakonkan empat puluh orang kru orang muda Katolik Lumen Gratiae, Katedral Ruteng-Manggarai. Adegan demi adegan itu memantik perhatian umat Katolik yang hadir.
Sutradara teaterikal via crucis, Armin Bell mengatakan (18/3), para pelakon mengenakan pakaian bernuansa lokal untuk membawa nuansa penyaliban kepada situasi Manggarai. Properti dan kostum yang dikenakan pelakon pun didaur dari bahan-bahan bekas.
“Pakaian algojo, misalnya, diabil dari kulit kursi bekas,” ucap Armin. Ini menuturkan, pementasan dalam nuansa devosi penyalipan ini dikreasi dari budget yang pas-pasan namun total dalam mendramatisasi saat-saat penyalipan.
Ia menambahkan, dramatisasi ini menutup masah pra paskah di Paroki Katedral Ruteng. Dengan latihan sebulan, lanjutnya, penampilan para kru Lumen Gratiae tampak memuaskan.
“Semuanya teman-teman lama, kecuali pelakon Yesus (red, Eno Juma) yang baru, ” kisah Armin.
Semua kru, lanjutnya, mengkreasi devosi teaterikal ini dengan semangat dan kekompakan tim. Menurut Armin, pesan devosi teaterikal ini mengeritik orang-orang Manggarai yang acapkali saling menjatuhkan manakala sesamanya menapak jalan kemuliaan, via gloris. Itu tampak dari cercaan dan hinaan bernadadasar lokalitas.
“Kita tuh begitu kadang. Di perhentian kesepuluh, para penghujat mundur. Mereka malu dan mundur sendiri,” katanya berfilsafat.
Pementasan teater via crucis tidaklah rutin di Paroki Katedral. Kegiatan tahunan bervariasi di antaranya pemutaran film, drama dalam gedung, dan devosi jalan salib baku.
Sekitar pukul 17.00, drama teaterikal via crucis pun berakhir. Ratusan umat yang semula memadati halaman paroki pun bergegas ke rumah masing-masing menyambut pekan suci. (frg)