floressmart.com- Seorang lelaki tergantung lemah. RagaNya terpaku pada palang yang diperuntukkan hanya bagi para penjahat. Darah mengucur deras. Sementara luka perih di sekujur tubuhNya menyayat bagai sembilu. Dia berusaha bertahan. Hampir tidak ingin mengeluh. Namun deritaNya tak tertanggungkan.
Mula-mula Dia berkata “Aku haus” (Yoh 19:28). Ia lalu berteriak histeris, “Eli eli lama sabakhtani!” yang berarti “Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat 27:46). Dia yang selama ini mengajar, berbuat baik, memberitakan kabar baik, kini dituduh sebagai penjahat yang menghasut dan penyebar ajaran palsu. Tidak hanya sampai di situ, Dia juga dihadapkan ke Mahkamah Agama dan Gubernur wilayah karena dianggap menghujat Allah dengan menyebut diriNya mesias (Mat 26:65). Ada kegetiran yang mendalam.
Setelah semalaman ditangkap dan disiksa, dihajar habis-habisan, keesokannya malah dipaksa memanggul salib. Dan kini, penyiksaan yang luar biasa itu seakan menaruh fakta kepedihan yang luar biasa, ditinggal sendirian di tiang salib hanya diapiti oleh dua penjahat. Salah satu penjahat itupun, yang tahu kedigdayaan kuasaNya meminta bantuan dengan cara menyerang, “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkan diriMu dan kami juga” (Luk 23:39). Musuh-musuhNya, dalam wajah para prajurit, malah mengumpat dan berjudi atas jubahnya. Sebuah pemandangan yang tidak hanya menghasilkan perih luar biasa, tetapi juga pertanyaan, “Mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Kesendirian yang melampaui batas, ketakberdayaan raga yang terjembatani di hadapan kuasa manusia, hingga waktu terasa lambat berputar dan dunia seolah tunduk patuh pada nasib.
Termasuk mereka yang selama ini dekat denganNya, tak bisa berbuat apa-apa di hadapan kekejaman ini. Salah seorang murid yang dibanggakanNya, Petrus, di menit-menit akhir penyiksaan, masih juga menyangkal (Yoh 18:26) oleh karena ketakutan sistemik yang diciptakan penguasa. Meminjam istilah filsuf eksistensial Prancis, Gabriel Marcel (1889-1973), Dia berada pada “situasi batas”. Situasi pelampauan atas segala kuasa dan daya. Situasi yang tak tersebarangi oleh akal dan pikiran.
Penulis Injil Lukas menggambarkan situasi kegelapan seluruh daerah hingga pukul tiga dan tabir Bait Suci terbelah dua dari atas hingga ke bawah (Luk 23:44-45) sebagai tanda alam turut berduka cita atas kepergianNya. Saat-saat penuh kengerian akhirnya dilaluiNya dan dengan suara nyaring berseru, “Ya, Bapa ke dalam tanganMu Kuserahkan NyawaKu” (Luk 23:46). Setelah Dia wafat, para prajurit masih menambahkan satu luka baru melalui penusukan lambungNya dengan tombak (Yoh 19:31-37). Lelaki itu adalah Yesus, Putera Allah. Dialah Mesias yang dijanjikan datang menyelamatkan umat manusia. Dia sudah berpulang dengan penuh penderitaan, bahkan bisa dipastikan, melebihi gambaran siksaan mahahebat yang bisa dilukiskan melalui film arahan sutradara Mel Gibson, The Passion of Christ (2004).
Drama Jala Salib, Dari Mimesis Hingga Katarsis
Drama jalan salib yang dilakukan selama masa Prapaskah hingga berpuncak pada perayaan Jumat Agung sungguh mengesankan. Refleksi tentang penderitaan dan dosa menjadi tema sentral. Arasnya jelas, sebuah pertobatan, metanoia yang sungguh-sungguh dan memurnikan seraya berkomitmen pada penemuan hidup baru. Modifikasi memoria akan penderitaan Yesus dilakonkan dengan pelbagai cara. Mulai dari jalan salib biasa dalam ruangan, menjejali diri dengan renungan dan doa sepanjang 14 perhentian hingga “jalan salib hidup” di lapangan terbuka. Sebuah mimesis, ingatan yang berpulang pada peristiwa dan pengalaman Yesus yang diperhadapkan dengan realitas kehidupan individu (privat) dan komunitas (sosial), kebiasaan dan tata aturan serta kesahajaan di hadapan sistem atau hukum.
Makin jalan salib dilakonkan, percikan-percikan pemurnian diri dan komunitas diharapkan menjadi kenyataan yang terungkap dalam perubahan sikap hidup. Jalan Salib tidak hanya sebuah memoria yang menyambungkan kita dengan masa lalu tetapi juga sebuah jalan penyucian diri yang memberikan pembaharuan kehidupan, sebuah moment katarsis yang mengubah. Drama jalan salib, sampai dilakonkan mirip dengan kisah sengsara sekalipun, bahkan pemeran tokoh Yesus berdarah-darah karena dicemeti oleh pemeran serdadu, lalu menghasilkan derai air mata iba dan sedih, belum menemui titik sampai jika para pelakon tidak tertuju pada penemuan komitmen untuk merubah kehidupan yang dilumuri fakta dosa: berperilaku adil di tengah ketidakadilan, jujur di hadapan komunitas yang korup, bekerja giat di lingkar kebiasaan bermalas-malasan dan santai, penuh cinta walau dikepung semangat egois, lembut walau diperangi kekerasan, berempati di hadapan dunia yang masa bodoh dan tak peduli. Itulah wajah pertobatan yang menjadi buah Jalan Salib. Sebuah komitmen untuk mengubah dunia yang terlanjur dikuasai spirit para penguasa lalim dan prajurit bengis, lambang kuasa dosa.
Jalan Pembebasan
Mengikuti alur pikir di atas, dapatlah dikatakan bahwa drama Jalan Salib hanyalah sebuah jalan untuk mengingat, sebuah instrument, alat bantu agar kita bertobat dan membaharui dunia. Yesus, melalui sengsaraNya di kayu salib yang dilakonkanNya dengan setia ingin menunjukkan sesuatu yang lebih jauh, bahwa Dia taat hingga akhir untuk menjalankan kehendak BapaNya sampai tuntas, bahkan rela mati tragis di tiang gantung!
Marthin Luther (1518), seorang ahli kitab suci dan reformator, pernah membangun sebuah Theologia Crucis (teologi salib), berpendapat bahwa salib merupakan sumber pengetahuan spiritual mengenai siapakah Allah dan bagaimana Dia melakukan penyelamatan atas ciptaanNya. Salib menyatakan kegagalan manusia untuk mengerti kehendak Allah. Padahal, melalui salib, seluruh umat manusia dipersatukan oleh Roh Kristus melalui pertobatan (1Kor 12:13, Rom 8:9). Selain itu, hanya pada Saliblah ada jaminan keselamatan yang dimeteraikan oleh Roh Kristus (Efs 1:13-14). Salib, karenanya, adalah symbol sebuah kesetiaan, ketekadan dan keteladanan. Sengsara dan penderitaan adalah bagian yang menyatu dengan kodrat manusia. Karena itu, sikap yang tepat, bukan menghindarinya melainkan menghadapinya tanpa kegentaran.
Prosesi Jalan Salib yang dipentaskan, bermuara pada kerinduan untuk menjadi pembebas, yakni suatu sikap untuk menolak pelbagai bentuk penindasan baik yang secara tersamar muncul sebagai sikap dasariah (optio fundamentalis) maupun secara kasat mata pada pelbagai praktik ketidakadilan yang nyata menjadi aksi kita pada pelbagai level. Keseriusan kita menjalankan ritual jalan salib tidak boleh jatuh kepada pemuliaan penderitaan dan kesengsaraan, yang tanpa disadari kita terpenjara secara sistemik di dalamnya. Atau, sebuah keseriusan melakonkan drama penderitaan karena tidak tahu bagaimana keluar dari persoalan-persoalan nyata yang secara privat dan komunal menjadi tak terbantahkan dari kehidupan kita. Sehingga, seolah-olah, jalan salib adalah ekspresi ketakberdayaan tanpa batas kita terhadap keterpenjaraan fundamental yang diasalkan dari praktik-praktik ketidakadilan yang sudah terlanjur lumrah dalam masyarakat kita.
Jalan salib kehidupan pada galibnya bermuara pada iman, yakni suatu usaha konkrit untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan (Yak 2:14-26) berkualitas yang dihasilkan oleh permenungan atas perlawanan terhadap penderitaan. Sebuah penerimaan yang kreatif, bukan untuk memujanya, melainkan untuk mengubahnya menjadi jalan pembebasan. Itulah sebabnya, Salib Yesus tidak berhenti pada pemakaman, melainkan berakhir di peristiwa kebangkitan. Iman akan kebangkitan berarti menghidupkan komitmen membangun kehidupan bermartabat yang membebaskan manusia dari cengkeraman ketidakadilan, kelaliman dan ketamakan, menciptakan kehidupan yang aman, damai dan sejehtera. Yesus sudah menunjukkan jalan, mari kita berani melaluinya. Selamat Pesta Paskah!***