floressmart.com- Hari ini portal berita siber (red, media online) di level mondial, nasional, maupun regional kian menunjuk wajah. Jurnalisme siber itu sendiri merupakan karya jurnalistik yang dikumpulkan, ditulis, disunting, dan dibagi melalui internet.
“Media generasi baru” ini menyuburkan pelibatan masyarakat awam dengan aneka media sosial di antaranya Facebook, Twitter, Youtube, Google+, etc. Kini, tiap orang bisa menjadi wartawan, dalam maksud, meliput peristiwa dan melaporkannya “dari titik api peristiwa”melalui internet.
Para wartawan “arus utama” pun penting untuk melenyapkan perilaku jumawa dengan munculnya jurnalis-jurnalis warga.
Pelibatan masyarakat melalui jejaring sosial tentu memungkinkan kontrol terhadap media-media siber. Pengguna dan pengunjung dapat memilih berita yang diinginkan dan berpindah dalam hitungan detik dari satu berita ke berita lain atau dari satu portal berita ke website lain. Warga pengguna akan menyukai media yang satu, dan menyampahkan media yang lain.
Kemudahan-kemudahan yang dapat diperoleh di antaranya pembaca dapat mengakses arsip berita lawas dan membandingkannya dengan berita-berita segar. Pengelola media pun dapat leluasa mempublikasikan kuantitas isi sesuai kapasitas memori websitenya. Dan berita-berita segar selalu dapat disampaikan langsung dan dinikmati pembaca dengan cepat.
Jurnalisme siber juga membuka pelibatan pengunjung dalam setiap berita dengan ketersediaan ruang komentar dan membagi berita di akun media-media sosial. Berita yang merugikan pun dapat disimpan dan menjadi alat bukti untuk menyampaikan keluhan terhadap penyedia konten informasi.
Kemudahan-kemudahan dimaksud tidak lantas melenyapkan jebakan-jebakan media siber. Jebakan-jebakan itu di antaranya informasi yang berseliweran tanpa akurasi, tanpa verfikasi, minus falsifikasi, dan kurang rekonfirmasi. Ini menyebabkan masyarakat berada dalam kegelisahan informasi. Media siber itupun gagal melaksanakan tugas dan warga pembaca pun gagal paham.
Rasa percaya publik dipertaruhkan. Tidak jarang ketidakmampuan, ketergesaan menyiapkan dan membagi informasi menyebabkan pembaca “menghina” suatu informasi sebagai “karya jurnalisme abal-abal.”
Tentu, ini menjadi tantangan serius yang dihadapi penyedia informasi siber. Kesalahan yang dilakukan berulang kali dan tanpa koreksi diri bisa saja membuat rasa percaya masyarakat terhadap media siber itu luntur.
Meski kesalahan itu sifatnya manusiawi (erare humanum est) dan pembaca pun bisa gagal paham menangkap pesan media. Namun, media siber harus sedapat mungkin menjelaskan maksud dan pesannya melalui kalimat-kalimat informasi yang dibagikan. Dan jelas, masalah akurasi bukanlah perkara sepele. Akurasi itu hukum besi jurnalisme (fact is sacred).
Pada 3 Februari 2012 silam, Dewan Pers dan Komunitas Pers menandantangani peraturan Dewan Pers soal “Pedoman Media Siber.” Semangat pedoman ini adalah menyambut era kebebasan informasi di zaman internet dengan bertolak dari konstitusi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Disebutkan, media siber merupakan “anak” dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers.
Dalam konsensus itu, Komunitas Pers mahfum terhadap sifat khusus media siber. Meski demikian, pengelolaannya harus tetap berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Prinsip-prinsip seperti verifikasi, akurasi, keberimbangan menjadi patokan-patokan inti pedoman itu.
Berita-berita yang dibagikan penyediapun penting untuk mengandung kepentingan umum dengan menerapkan standar-standar jurnalistik yang baku, misalnya, hasil verifikasi harus senantiasa disegarkan ke hadapan publik pembaca.
Hukum besi produksi berita pun jelas, di antaranya tidak memuat kebohongan, fitnah, mengumbar kesadisan dan cabul, prasangka suku, agama, ras, golongan, tidak menganjurkan kekerasan, dan tidak menggemborkan diskriminasi dan penghinaan.
Pelangaraan terhadap bingkai-bingkai nilai itu mewajibkan penyedia media siber untuk mengoreksi diri dan pemberitaan secara proporsional. Hak jawab pihak yang dirugikan wajib hukumnya dipublikasikan luas secara proporsional.
Ketersediaan pedoman ini menjelaskan , media siber tidak lepas dari jebakan-jebakan kesalahan yang lazim dalam dunia informasi. Karena itu, dibutuhkan pembaca yang kritis dalam memilah dan memilih media mana yang pantas dikunjungi dan dibaca.
Pembaca pun dapat melaksanakan kontrol kritisnya sebagai metajournalism, atau “jurnalisme tentang jurnalisme.” Sebab, perbaikan kualitas dan nilai media siber sangat tergantung juga dengan kematangan pembaca dalam menyerap informasi yang disajikan.
Dengan memanfaatkan potensi internet sebagai sarana bertukar ide, cerita, dan informasi, masyarakat yang makin melek informasi akan semakin menyoroti kepekaan isu media, kualitas informasi, dan menguliti kelompok pembaca media siber.
Jurnalisme siber bernilai (value oriented journalism) menyimpan harapan untuk melayani komunitas masyarakat pembacanya dengan sajian informasi yang mendukung kemaslahatan warga, mengisahkan narasi penuh inspirasi dan motivasi pendorong perubahan, melontarkan kritik dengan bijak, konsisten dalam pilihan isu, serta memberi ruang yang tanpa batas dalam interaksi dengan pembaca dan pengunjung medianya.
Pilihan jurnalisme positif tentu penting, sebuah jurnalisme yang mengedepankan penyampaian informasi bernilai menjadi titik-titik embun kebenaran saat masyarakat muak dengan kebohongan para elite, ekonomi yang terpuruk, kehidupan sosial yang sulit, dan perilaku politik yang jauh dari harapan.
Harapan itu ada di Manggarai Raya saat media alternatif berupa media siber muncul ke permukaan. Warga Nusa Lale pun perlu menyoraki itu sebagai gegap gempita dampak kemajuan teknologi informasi, sekaligus untuk semakin mematangkan diri sebagai pembaca dan penikmat informasi yang benar.
Sebab, jurnalisme tanpa kritik itu jurnalisme yang mati dan kemanusiaan manusia diukur dari kemampuan dan kerendahan hati mengoreksi diri terus menerus. (redaksi /nsl)