floressmart.com- Baru-baru ini, kita melakonkan politik lokal yang sarat emosi dan pertautan nomor di Manggarai. Satu atau dua. Dua atau satu. Itu Pilkada Manggarai bulan Desember tahun lalu. Nomor pun menjadi mitos dari cerita-cerita politik “orang entete.”
Setelah melalui serangkaian proses politik pencalonan, kampanye, pemilihan, gugatan, dan pelantikan, Manggarai mendapat pemimpin untuk lima tahun berjalan. Pemimpin yang lahir dari suasana politik yang sengit kemudian berakhir senyap panggung politik Manggarai. Senyap, karena tiap orang kembali ke kebun dan dapur masing-masing.
Dalam bulan April ini, Eston Foenay yang adalah mantan Wakil Gubernur NTT dan politisi Partai Gerakan Indonesia Raya sudah mendatangi Ruteng, untuk resmi menggandeng Christian Rotok-mantan Bupati Manggarai sepuluh tahun- menjadi kompatriot dalam ajang bergengsi Pemililihan Gubernur NTT pada Desember 2017.
Beberapa pihak bertanya, mengapa kok pilihan Eston jatuh pada Rotok yang sama-sama kalah dalam pemilihan Gubernur terakhir. Pilgub yang kemudian menjelaskan adikuasa politik PDIP dengan tokoh patron Frans Lebu Raya.
Sebagian lagi bertanya, mengapa CR justru ingin menjadi nomor dua atau menjadi wakil? Bukankah politik NTT masih kuat dengan pertarungan sentimen suku dan agama? Pertanyaan ini berkelindan dan dijawab enteng keduanya saat dicecar awak media Manggarai. Dengan bahasa puitis, Eston berujar, bahwa dia sudah sehati dengan CR. Dan CR mengungkapkan bahwa ia sudah lama menyimpan rindu bergandengan dengan Eston dalam menapak tangga-tangga menuju NTT 1.
Mitos nomor satu dan nomor dua dijawab CR dengan jawaban politik puitis, perjuangan keduanya yang merupakan aspirasi masyarakat dan dorongan kuat pasukan Gerindra NTT bukan untuk mengejar jabatan melainkan pengabdian untuk masyarakat NTT yang terkenal dengan cap-cap lazim di antaranya tertinggal, termiskin, terbelakang, dan tidak terjangkau kecepatan kemajuan pembangunan nasional. Stigma yang kemudian memberkahkan kucuran APBN untuk sejumlah kabupaten, apalagi NTT didapuk menjadi salah satu beranda timur pariwisata nasional dan provinsi kepulauan.
Mitos nomor satu atau dua seolah-olah menjelaskan politik kelas satu dan dua, inti dan tambahan, pemain utama atau cadangan, “ban utama atau ban serep.”
Mitos yang dipatahkan dengan tesis bahwa pemerintah daerah itu merupakan serangkaian perangkat politik yang dilengkapi tugas, pokok, dan fungsi untuk melaksanakan pembangunan yang berpihak pada kemaslahatan publik.
Dan dalam konteks politik nasional dan mondial, ketua dan wakil itu merupakan posisi yang saling melengkapi dalam satu imajinasi membangun, bukan mengedepankan ego dan sentimen-sentimen tradisional seperti agama yang dipolitisasi, suku, dan sentimen pulau.
Sentimen purba seperti ini tidak hanya terjadi di NTT yang masih terbelakang ini melainkan juga terjadi di belahan provinsi lain. Sebut saja Jakarta. Saat Basuki Tjahja Purnama hendak menggantikan Joko Widodo sebagai gubernur terjadi ledakan sentimen mayoritas dan minoritas, sentimen agama, dan ras.
Mengapa minoritas jadi nomor satu di Jakarta? Sejumlah pengamat melihat ada dua “dosa” Ahok kala itu yakni dia China dan Kristen. Namun, karena warga Jakarta itu merupakan komunitas politik majemuk modern, maka Ahok pun melenggang mulus menjadi Gubernur bahkan untuk periode kedua pada 2017 mendatang.
Kasus Jakarta tidak jauh beda dengan NTT. Sentimen agama, suku, dan ras selalu menjadi dagangan politik manakala terjadi kontes politik merebut pucuk pimpinan di daerah. Ini dimaklumi sebab isu-isu seperti laku dijual dan cukup mengena telak pada sentimen purba massa politik NTT. Atmosfir politik kitapun berkelindan dalam simbol-simbol purba semacam ini.
Simbol tradisional peminangan Eston-Rotok menjadi langkah pembuka bagi calon-calon lain yang bakal mengajukan diri menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Perjodohan keduanya bisa saja mengubah konstelasi awal, namun rentan berubah karena waktu masih panjang. Sebab, kerja politik itu mudah berubah seiring pertautan kepentingan. Tetapi, “pernikahan dini” ini patut diacungi jempol sebagai langkah politik menerabas mitos nomor.
Toh, bakal-bakal calon yang lain masih berpikir membaca aura politik lokal NTT. Sebut saat beberapa figur digadang-gadang akan mencalonkan diri di antaranya Andreias Hugo Pareira, Beny Kabur Harman, Andry Garu, Luisa Lebu Raya, Goris Mere, dan Iban Medah. Bisa jadi akan muncul beberapa calon lain, calon alternatif yang belum pernah tampak dalam panggung politik Flobamora. Misalnya saja Martin Dira Tome, Bupati Sabu Raijua.
Publik NTT tentu akan menunggu dan melihat, mana bakal calon pemimpin yang akan sekadar berwacana ketimbang bekerja. Sebab, dengan stigma sebagai provinsi terbelakang, NTT butuh pekerja bukan tukang omong. Mitos nomor pun akan rontok sendiri karena masyarakat butuh figur yang berkarakter, jujur, inspiratif, dan bekerja. (fnr/nsl/red)