Rindu yang Jadi Nyata? Tentang Impian Kekuasaan Orang Cibal di Manggarai

floressmart.com- “Tjibal droomnt nog steeds over herwinning van zijn macht uit vroegere tijden (welke trouwers nooit intens is geweest) en hoopt, dat eens zijn daloe radja van Manggarai mag worden”  (Van Bekkum, 1946:74).

Pada mulanya, masing-masing kampong (beo) di Manggarai otonom. Beo-beo memiliki Adak yakni tata pemerintahan lokal, yang tidak dikendalikan oleh pihak luar. Masing-masing beo pula memiliki sejarah tentang asimilasi kebudayaan setelah hadirnya para pendatang dari berbagai wilayah nan luas di seluruh nusantara. Orang Manggarai diasalkan pada keturunan Minangkabau, Sumba, Makasar, bahkan Turki.

Tentu saja ada pihak yang menetap sejak semula, walaupun tak bisa diakui klaim sementara pihak bahwa mereka adalah keturunan langsung hobit, homo floresiensis yang hidup 18 ribu tahun lalu. Yang dapat dipastikan adalah bahwa telah ada manusia yang menghuni tanah Manggarai sebelum para pendatang memasuki wilayah ini. Pihak-pihak yang datang dari luar membawa serta alih teknologi yang mereka punyai seperti api dan benda-benda logam. Tahun persisnya kedatangan mereka tak dapat dipastikan dengan tarik masehi yang sahih.

Kehidupan bersama yang penuh harmonis ini kemudian diobrak-abrik oleh nafsu kekuasaan Todo-Pongkor yang mula-mula menyerang Adak Cibal melalui rampas  (perang) Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli (Wudi). Dalam perang Weol I, Cibal mendulang kemenangan.

Namun ketika genderang perang ditabuh lagi pada perang Weol II dan Perang Bea Loli, Cibal mengalami kekalahan telak. Pada saat itu, Bima secara aktif membantu Todo. Kenyataan ini kemudian memberia ruang pada kekuasaan Bima di Manggarai, sampai munculnya ekspedisi Belanda pertama tahun 1850 dan ekspedisi kedua tahun 1890 dibawah kendali kontrolir Meerburg. Ekspedisi yang terakhir pada tahun 1905 dibawah Pimpinan H.Christofel. Sejak saat itu, terjadi perseteruan yang melibatkan baik Goa yang membantu Cibal maupun Bima yang membantu Todo-Pongkor dan yang paling anyar ialah ketika Todo-Pongkor mampu menunjukkan kiprahnya di hadapan penguasa colonial Belanda sehingga terakui sebagai penguasa sah di Manggarai.

Kajian historis ini lebih bertujuan untuk melihat jalinan peristiwa dari masa ke masa hingga mempresentasikan sebuah alur kekuasaan di Manggarai mulai dari klaim (yang rasanya sudah terlanjur umum dalam percakapan sehari-hari) tentang superioritas Todo dan inferioritas Adak lain yang (seolah-solah) dikuasainya secara sepihak dengan bantuan penjajah colonial.

Klan Todo-Pongkor

Oleh berbagai usaha, Adak Todo-Pongkor kemudian menjadi penguasa tunggal, walau tidak mutlak, di Manggarai Raya, Selat Sape di bagian Barat dan Wae Mokel di bagian Timur. Bahkan pergerakkan kekuasaan merangsek maju sampai di Watu Jaji-Ngadha. Kekuasaan ini kemudian terlegitimasi oleh pilihan Belanda untuk mendudukkan mereka sebagai penguasa lokal sah di Manggarai. Mula-mula Belanda mengangkat Bagoeng (1870-1947) yang berkuasa sejak tahun 1924 hingga 1930 melalui dokumen Gouvernements-BesluitNo. 19 pada 2 Mei 1924. Bagoeng adalah wakil raja tanpa raja. Sebelum Bagoeng mangkat, Belanda kemudian memilih Aleksander Baroek (1900-1949) menjadi raja yang memerintah tahun 1931-1949. Pengangkatan Baruk berdasarkan dokumen Gouvernements-Besluit No. 56, 3 Februari 19931.

Pasca kemerdekaan, muncullah Constantinus Ngamboet yang menjadi kepala swapraja. Sejak saat itu gelar raja ditiadakan. Ngamboet  memimpin Manggarai dari tahun 1949 hingga 1960. Setelah Ngamboet, Charolus Hamboer memimpin Manggarai mulai April 1960 hingga 24 Agustus 1967 yang dilanjutkan oleh Frans sales Lega dari 24 Agustus 1967 hingga 4 Nopember 1978. Bila dihitung dalam periodisasi, klan Todo-Pongkor cukup lama memerintah Manggarai. Periode pertama, sejak kekalahan rampas (perang) Weol II dan Bea Loli hingga kedatangan Belanda. Periode kedua, yang bisa dihitung secara pasti sejak 1924 hingga 1978, terentang sepanjang 54 tahun.

Perubahan Peta dan Sistem Politik

Setelah para pemimpin Todo-Pongkor ini menguasai Manggarai dalam tata pemerintahan, perubahan peta politik makin mensirnakan otomatisasi kekuasaan berbasis klan. Klanisme kekuasaan diganti dengan kriterium pendidikan.  Pemilihan putera Kempo Manggarai Barat, Frans Dula Burhan, SH (1978-1988), sarjana hukum dari Universitas Erlangga (1969) dan pegawai pada kantor gubernur mematahkan anggapan bahwa pemimpin Manggarai harus selalu datang dari Todo-Pongkor.

Demikian halnya, pendapukkan Drs. Gaspar Para Ehok, MRP, putera Ruteng Pu’u kelahiran 9 April 1947, adalah alumnus Universitas Gajah Mada dan magister tamatan Jerman yang memimpin Manggarai dari 1988-1999. Skema ini makin dipertegas oleh terpilihnya Drs. Antony Bagul Dagur, M.Si yang mengabdikan diri sebagai bupati dari tahun 2000-2005. Beliau adalah putera kelahiran Racang-Lembor, 15 September 1950.

Jika sebelumnya, para bupati ini dipilih dengan cara yang cukup rahasia dan dengan sistem pemilu tertutup, sejak tahun 2005, pemilu kada langsung mengubah tradisi 10 tahunan kepemimpinan kepala daerah. Selama 30 tahun, sejak Frans Sales Lega hingga Gaspar Parang Ehok, para bupati selalu bertahta selama 10 tahun. Tiba pada periode kedua Antony Bagul Dagur, perubahan sistem politik menghentikan langkah beliau karena dikalahkan oleh Drs. Christian Rotok dalam pemilukada langsung. Tahun 2010, Drs. Christian Rotok mengulangi kemenangan yang sama, melawan saingannya yang juga terdapat di antaranya berasal dari kecamatan Satar Mese, yang bisa dikata sebagai representasi Todo-Pongkor.

Posisi Tawar Pemimpin Manggarai ke Depan

Setelah sekian berjuang mencapai puncak kekuasaan lokal, klan Cibal berhasil mendapuk Drs. Frans Padju Leok menjadi Sekda Manggarai di zaman kekuasaan Drs. Christian Rotok. Bahkan kemudian tatkala Drs. Christian Rotok berhasil memekarkan Manggarai ke Manggarai Timur, Frans Padju Leok dipercayakan untuk menjadi Penjabat Bupati Manggarai Timur.

Pada perhelatan Pemilukada 19 Desember 2015, pasca masa pengabdian Christian Rotok berakhir, pertarungan antara dua kandidat yang ditengarai mewakili dua klan besar ini menjadi salah satu isu yang menguat. Kencang terdengar slogan-slogan klan Todo-Pongkor untuk mengembalikan kejayaan kekuasaan masa lalu. Heribertus GL Nabit, alumnus salah satu universitas di Belanda, menjadi andalan klan Todo-Pongkor. Lawan tarungnya adalah Kamelus Deno, doctor hukum yang berasal dari klan Cibal. Hasilnya, Dr. Kamelus Deno memenangkan Pemilukada dan memimpin Manggarai hingga tahun 20121.

Memelajari alur logic struktur kekuasaan klanisme, menjadi nyata bahwa terjadi evolusi perubahan tatanan kekuasaan dari waktu ke waktu. Kekuasaan tidak lagi dilegitimasi oleh klan tertentu melainkan oleh kemampuan dan kecerdasan multi aspek. Keberhasilan Dr. Deno Kamelus menjadi pemimpin Manggarai seolah-olah memberikan parameter baru kepemimpinan masa depan yang ditandai gelar akademik maksimal. Simbol dari kematangan intelektual sebagai daya ungkit yang kuat untuk mengembangkan multikecerdasan yang lain. Lebih dari itu, apa yang menjadi kerinduan klan Cibal akhirnya menemui titik sampainya. Walau kekuasaan yang de facto sudah di zaman yang berubah, tanpa diskriminasi klan dan pengagungan klan secara berlebihan.***