Kampung Ruteng Pu’u Berbenah, Warga Diminta Makin Tertib

floressmart.com—Kampung Ruteng yang terletak di Kelurahan Golo Dukal mendapat kucuran dana ratusan juta rupiah tahun 2015 lalu untuk perawatan kampung dan bangungan pelengkap Mbaru Gendang (rumah adat).

Bantuan ini berasal dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif khusus untuk perawatan destinasi wisata budaya.

Kamis malam, 21 April 2016, Komunitas adat setempat menggelar hajatan adat berupa syukuran menandai usai dibangunnya bangunan dapur, perawatan Compang Dari dan Rumah Gendang, serta pembangunan Mini Art Museum di Gendang Ruteng.

Proses perawatan situs budaya ini tidaklah menghilangkan sama sekali keaslian Kampung adat itu. Pantauan floressmart.com, bangunan bebatuan yang disebut Compang Dari diperkuat dengan pasir dan tanah liat.

Rumah Gendang pun dilengkapi dengan dapur yang berarsitektur tradisional Manggarai. Memang ada beberapa konstruksi penguat yang ditambah lempengan batu alam dan semen, namun ini semata-mata bertujuan untuk kenyamanan pengunjung.

Selain itu, di bagian timur rumah gendang terdapat bangunan beratap serabut Enau sebagai museum mini tempat penyimpanan barang tradisi berwujud benda di antaranya peralatan Tarian Caci, Nggepit, dan macam-macam.

Komunitas adat setempat juga berkomitmen untuk melalukan tata kelola situs wisata secara rapih ke depan. Misalnya, akan dibentuk kesepakatan mengenai tim pengelolaan dan aturan-aturan yang wajib dipatuhi warga agar keaslian dan keindahan kampung tetap terawat.

“Ke depan akan dibuat kesepakatan dan aturan agar Kampung terawat baik. Hal ini akan melibatkan pihak kelurahan dan warga Kampung Ruteng, ” ujar Camat Langke Rembong Salesius Masangkat Mahu.

Menurutnya, pengelolaan situs budaya sebagai tempat tujuan wisata penting untuk mendorong semua pemangku kepentingan terlibat secara aktif terutama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan.

Di sisi lain, tarif masuk harus disesuaikan dengan standar yang ada dalam peraturan daerah soal retribusi masuk ke obyek wisata. Hal ini berangkat dari persoalan yang seringkali ditemukan di lapangan.

“Warga kadang-kadang mematok tarif sendiri secara serampangan,  ” ujar Masangkat yang juga merupakan turunan Suku Runtu itu.  Pemerintah dan  warga akan membuat konsensus soal tata kelola wisata budaya Ruteng Pu’u agar makin rapih dan terintegrasi.

Yasintus, warga Ruteng yang menjadi salah satu pelaksana Perawatan Compang Dari dan Pembangunan Dapur Mbaru Gendang menyebut perlunya “revolusi mental” warga  yang bermukim dalam situs wisata Kampung Ruteng.

Revolusi mental itu berawal dari hal sederhana misalnya soal sikap ramah terhadap pengunjung, tidak membuang sampah serampangan, dan mengenakan pakaian adat ketika menyambut tetamu.

“Gagasan menyambut tamu dengan pakaian adat akan ditindaklanjuti secara serius, ” ucap Yasintus.

Tentang Beo Ruteng

Kampung adat Ruteng Pu’u merupakan salah satu kampung adat di Kota Ruteng yang sering dikunjungi wisatawan.  Dalam Kampung ini bermukim secara damai dan harmonis dua suku besar yakni Ruteng Runtu dan  Ruteng Ndosor.

Suku Runtu mereprentasikan diri dalam Mbaru Gendang atau Niang, sedangkan Suku Ndosor memiliki Mbaru Tambor sebagai simbolisasi kehadiran mereka.

Secara administrasi pemerintahan, Kampung Adat ini berada di wilayah administrasi Kelurahan Golo Dukal dan Kecamatan Langke Rembong.

Keunikan yang ditawarkan Kampung Ruteng di antaranya arsitektur bebatuan yang terjaga sudah berpuluh-puluh tahun yang konon diyakini sebagai peninggalan mistis hasil hubungan manusia dengan penjaga alam setempat.

Arsitektur berjejak megalit itu tampak dalam Bangunan Compang yang berisi kuburan batu dan tempat sesajian saat upacara Penti (sykuran tahunan). Batu sesajian itu disebut Watu Takung.

Selain itu, ada arsitektur berbatu yang disebut Compang Dari yang menyerupai Rosario (manik-manik devosi Rosario Katolik) dimulai dari arah selatan kampung hingga ke bagian utara.

Di bagian utara, tepat di belakang Rumah Gendang dan Tambor terdapat Watu Naga (Dragon Stone) yang diyakini sebagai tempat keramat setelah Compang.

Selain bangunan berbatu juga tradisi Lagu Mbata atau nyanyian kolektif yang diiringi instrumen gong dan kendang, Kampung Ruteng juga kelimpahan mata air yang masih asli, warga setempat menyebutnya dengan nama Wae Lideng, Wae Moro, dan Wae Namut. Di Wae Lideng sabankali hajatan Penti digelar upacara syukur atas rahmat air kepada Tuhan dalam ritus Barong Wae.

Pesona hijau yang mengitari kampung dalam bentuk pohon-pohon beringin yang konon berusia ratusan tahun juga menambah kecantikan kampung ini. View persawahan daerah Mena, Taga, hingga bukit-bukit di arah Barat Ruteng menjadi salah satu view fotografi menarik di tempat ini.

Dengan entrance fee Rp 20.000 sekali berkunjung, pengunjung bakal disuguhkan dengan jejak masyarakat kebudayaan Manggarai di sekitar Kota Ruteng. (Fian R/nsl)