floressmart.com—Bangsa Indonesia telah menoreh catatan historis tentang perjuangan R.A. Kartini bagi eksistensi perempuan di tanah air. Kartini adalah seorang tokoh perempuan yang telah meletakan fundamen bagi perjuangan kaum wanita untuk menikmati pembebasan. Melalui pemikirannya, ibu Kartini melahirkan konsep emansipasi yang menginspirasi semua elemen bangsa untuk terus melindungi dan memperjuangan hak-hak perempuan di tengah berbagai isu, seperti eksploitasi dan perlakuan tidak adil terhadap kaum perempuan. Tentu, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana prototipe Kartini masa lalu dan sekarang? R.A.Kartini, sebagai ikon perjuangan bagi kaum perempuan di bumi pertiwi, merupakan prototipe bagi perempuan pada masa lalu dan masa kini.
Perempuan Masa Lalu
Menurut kodratnya, perempuan memiliki hak dan peran yang setara dengan kaum pria. Namun, keadaan masa lalu tidaklah demikian. Perempuan telah mengalami berbagai ketidakadilan, penindasan, dan bahkan menjadi korban dari hegemoni kaum pria. Banyak perempuan dijajah oleh kaum pria dan hak-haknya dipasung. Kondisi masa lalu yang buruk dan kurang berpihak terhadap kaum perempuan disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, kultur masyarakat menganggap tugas perempuan hanya mengurusi rumah tangga.
Perempuan mengerjakan semua urusan dalam rumah. Karena itu, ada ungkapan lama yang berbunyi demikian “perempuan dekat dengan dapur, kasur, dan sumur”. Ungkapan ini menggambarkan potret inferioritas perempuan dalam bingkai budaya yang memasung eksistensi dan otonomi perempuan. Kedua, struktur sosial masyarakat yang mengusung konsep priyayi atau ningrat. Dalam keluarga Priyayi, perempuan umumnya menunjukan sikap sopan, halus, dan taat pada kaum pria atau suami.
Mereka menjadi model bagi kaum perempuan lainnya dari struktur masyarakat kelas bawah, yang tunduk pada kaum pria. Maka tidaklah mengherankan kalau kaum perempuan diperlakukan sebagai warga kelas dua. Ketiga, rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan bila dibandingkan dengan kaum pria. Hanya sedikit perempuan, khususnya dari keluarga priyayi, yang dapat mengenyam pendidikan, sedangkan mayoritas kaum perempuan dari kalangan bawah tidak diberi ruang sama sekali! Dengan demikian, kaum perempuan pada masa itu tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang kesetaran perempuan dan pria baik hak dan perannya.
Prototipe Kartini Masa lalu
Raden Ajeng Kartini lahir dan dibesarkan dalam keluarga priyayi yang memiliki status sosial lebih tinggi dan hak-hak istimewa. Dia sangatlah berbeda dari tipikal perempuan priyayi lainnya dalam hal pemikiran dan perjuangannya yang membebaskan kaum perempuan dari kegelapan, belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan kaum pria. Karena itu, Dia berani keluar dari kenyamanannya dan melawan perilaku diskriminatif dan represif dari kaum pria terhadap kaum perempuan.
Salah satu wadah yang ia dirikan adalah membangun “sekolah Kartini” yang mendidik dan memajukan cara pandang kaum perempuan. Melalui sekolah, Kartini mengubah kultur dan stigma masyarakat yang menempatkan kaum perempuan sebagai kaum terkebelakang.
Dia mengadopsi model pemikiran perempuan bangsa Belanda yang cerdas dan maju. Berdasarkan gambaran tersebut, R.A. Kartini adalah prototipe perempuan yang memiliki kelebihan, yaitu (1) transformasi pemikiran yang berorientasi pada kesetaran antara kaum perempuan dan pria. Kekuatan pemikirannya mengubah kultur dan pandangan masyarakat Indonesia tentang penting emansipasi kaum perempuan. (2) Dia adalah seorang tokoh perempuan yang tangguh, berani, dan cerdas. Sikap ini ditunjukkan melalui perjuangannya melawan tirani kaum pria dengan pendirian lembaga pendidikan khusus bagi kaum perempuan pribumi. (3) Dia adalah tokoh perempuan yang membawa pencerahan dengan memajukan pemikiran kaum perempuan pribumi, yang membebaskan mereka dari segala penindasan, domestikasi peran, keterbelakangan, dan kebodohan. Karena itu, ungkapan “habis gelap, terbitlah terang” mengandung makna transformasi berpikir dari kaum perempuan dari terbelakang menuju kemajuan berpikir kaum perempuan.
Prototipe Kartini dan Perempuan Masa Kini
Bagaimana perempuan masa kini? Harus diakui bahwa perempuan dewasa ini hidup dalam zaman yang berbeda. Kartini dan kaumnya hidup pada zaman kolonial dan kultur masyarakat priyayi dan struktur sosial yang patrinalistik. Berbeda dengan kondisi tersebut, perempuan masa kini menghadapi deras arus globalisasi yang mengedepankan kemajuan IPTEKS di satu sisi, dan mengeser tata sosial-budaya, kultur politik serta ekonomi di sisi lain. Hal ini tentu berdampak pada transformasi sikap, perilaku, dan nilai masyarakat terhadap kaum perempuan. Pada saat yang sama, situasi dan kondisi ini juga merupakan tantangan bagi eksistensi dan peran kaum perempuan.
Kenyataan menunjukkan bahwa kaum perempuan merupakan salah satu elemen penting dalam kemajuan bangsa kita. Pada masa kini, banyak perempuan Indonesia yang berperan dan meraih sukses di sektor publik baik secara nasional maupun internasional. Itu artinya kaum perempuan kita telah mengalami kemajuan berpikir yang sangat pesat. Hal ini memperkuat pandangan dari John Naisbit dan Patricia Aburdune (1982) yang meramalkan eskalasi peran perempuan dalam berbagai dismensi kehidupan seperti politik, ekonomi, dan sosial. Akan tetapi, di tengah kemajuan peran perempuan tidak berarti bahwa kaum perempuan bebas dari berbagai masalah. Dewasa ini, masih banyak kasus yang dihadapi kaum perempuan di tanah air, seperti korban eksploitasi, trafficking, pekerja seks dan perilaku, TKW yang meninggal, dan diskriminatif lainnya.
Menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks, ada baiknya kaum perempuan Indonesia kembali belajar pada hakekat emansipasi yang telah diperjuangkan oleh R.A. Kartini. Gerakan emansipasi menempatkan kaum perempuan setara dengan kaum pria. Maka dari itu, kaum perempuan harus berani dan cerdas dalam memainkan peran dan kedudukan diberbagai sektor publik. Jangan terjebak dalam sikap pragmatisme yang malah melupakan eksistensinya sebagai kaum perempuan. Misalnya, beberapa politisi perempuan terjebak dalam kasus korupsi, terjerat kasus narkoba, dan masih banyak contoh kasus lainnya.
Kaum perempuan juga tidak terjebak dalam Sindrom Cinderella Complex, yaitu suatu rasa takut yang begitu mencekam, sehingga perempuan merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya kreatifitasnya secara penuh. Perempuan merasa takut menjadi terkenal, sukses, dan menempati posisi penting, karena merasa harus berperan di sektor domestik, dengan alasan agama, budaya, dsb.
Banyak perempuan mengalami sindrom ini, dan mengambil keputusan untuk bekerja dan berkarir seadanya, padahal ia memiliki potensi yang amat besar. Selanjutnya, Kaum perempuan perlu mewujudkan adanya persamaan dan keragaman serta keseimbangan dalam peran, yaitu perempuan tetap memerankan kualitas feminin yang baik. Bahwa kaum perempuan berhak untuk mengaktualisasikan dirinya dimanapun tanpa mengabaikan citranya. Apabila situasi dan kondisi mengharuskan perempuan berkiprah di dunia publik, maka diharapkan aktualisasi peran femininya diharapkan dapat memberi warna tersendiri bagi peningkatan kualitas diri kaum perempuan Indonesia .***