floressmart.com—Tatkala penulis terinspirasi oleh berita Kompas tanggal, 29 April 2016. Judul berita yang terdapat pada halaman 12 itu adalah “Hargai Kearifan Lokal-Pembelajaran Kontekstual Pacu Daya Nalar Siswa”. Pola yang dikembangkan oleh Wahana Visi Indonesia (WNI) ini menunjukkan hasil yang menjanjikan pada peningkatan hasil belajar sisswa di Papua.
Hasil itu ditunjukkan dari perubahan hasil belajar siswa yang sebelumnya hanya 16% (tahun 2014) siswa yang bisa membaca, menulis dan menghitung, setahun kemudian dengan pendekatan kontekstual yang menjadikan lingkungan dan kebiasaan mereka sebagai sumber belajar menunjukan peningkatan, yakni dari 16% menjadi 41% (kompas, 29 April 2016). Kalau saja WNI menerapkan pola itu pada anak sekolah dasar (kelas renadah) dan berhasil, maka bukanlah mitos yang sulit diterapkan pada semua jenjang pendidikan, lebih khusus dari SD kelas tinggi, SMP dan SMA.
Patulah diberi apresiasi kepada WNI atas usaha dan dedikasi mereka dalam mencerdaskan generasi (Papua) bangsa. Sebabnya pendidikan itu harus membumi pada konteks yang langsung dialami oleh peserta didik. Bertumbuh dan berkembang pada kekayaan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat dekat dengan kehidupan pembelajar (orang yang mempelajari). Kelak, dengan menggali, memahami nilai holistik yang terkandung dalam kearifan lokal itu sebagai dasar bagi generasi muda untuk mempertahankannya (bdk. kompas, 29 April 2016).
Pendidikan dan Pembelajaran Membumi
Pendidikan adalah jembatan yang harus dilewati untuk sampai pada tujuan mencerdesakan dan membebaskan bangsa dari keterbelakangan pengetahuan. Melewati jalur itu membutuhkan strategi yang tepat. Strategi itu disebut pembelajaran membumi. Pembelajaran membumi adalah keseluruan proses belajar yang menjadikan potensi sosial , lingkungan dan nilai-nilai budaya sebagai sarana yang menghantar ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional itu dirumuskan dalam UU sisdiknas RI.No.20.Tahun 2003. Mencapai tujuan itu, pendidikan dan pembelajaran membumi dengan langkah dari konteks hidup menjadi konsep, dari konsep menjadi modal baru dalam menghadapi reaslitas hidup.
Paham dari koteks hidup ke konsep: Dari konsep ke Konteks yang Aktual
Konteks dan realitas kehidupan adalah fakta yang sudah dan sedang dialami oleh peserta didik. Realita ini adalah pengetahuan awal setiap orang. Ragamnya budaya, keadaan alam dan suasana hidup yang dialami oleh individu pada tempat di mana dia hidup disebut juga pustka hidup atau perpustakaan hidup. Kemampuan awal tersebut menjadi sebuah konsep yang sudah difitrah melalui pemahaman (metode inquiry). Pemahaman itu disebut konsep. Konsep menjadi pengetahuan baru yang dimiliki oleh individu tersebut setelah disajikan seturut isi atau tema pelajaran. Dirman dan Juarsih (2014:45-46) mengartikan Pengetahuan (knowkedge) sebagai informasi yang tersimpan dalam pikiraan (mind) diterapkan dalam berbagi ketrampilan (skill) dan sikap (attitude). Konsep (pengetahuan) menjadi hasil dari pengajaran yang membumi dan kontekstual sebagai modal baru untuk melihat dan memahami situasi aktual dalam cara yang baru. Mencapai hal itu pula, siswa tidak boleh dilihat sebagai pribadi yang no skill dan motede pengajaran yang monoton dari guru harus dihindari. Sebaliknya ciptakan kelas yang intraktif. Intraktif yang meransang atau menggugah daya pikir kritis siswa. Kelas intraktif terbentuk dari kelas yang merdeka (bebas), dan bijaksana. Kelas merdeka adalah keterciptaanya peroses belajar yang memberikan ruang kepada siswa untuk menyampaikan, menanggapi tentang hal yang mereka ketahui, sehingga kelas bijaksana dipahami sebagai proses mengkaji dan menyaring pesan dari peserta didik sambil memperhatikan aspek psikologis mereka.
Dari proses itu sampailah kita pada penerapan pendidikan yang membumi, konteks dan aktual, atau proses itu dapat disebut juga sebagai contextual Teching and learning (CTL). US Deperteman of Education (2001) menjelaskan CTL sebagai konsep mengajar dan belajar yang membantu tenaga pendidikan (pebelajar) dalam menginterprestasi bahan ajar dengan situasi nyata dan kongkrit pembelajar (siswa), yang pada gilirannya mendorong ketrampilan siswa untuk menghubungkan pengetahuan dalam kehidupannya sebagai anggota keluarga dan masyarakat (dlm.Asmanai.J.M, 2011:53).S
K13: Pembelajaran Membumi Mendesain Pribadi Multi Aspek
Baik landasan yuridis, filosofis, teoritis dan empriris Kurikulum 2013(K13) mendasarkan pada pembentukan pribadi siswa yang multi-aspek, dasar itu pula erat kaintanya dengan konten pendidikan yang selalu terkait dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai mantra kehidupan, untuk berpartisipasi dalam membangun kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memosisikan pendidikan yang tidak terlepas dari lingkungan sosial, budaya, dan alam.
Pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, keterampilan sosial memberikan dasar untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia sehingga terciptanya pewaris bangsa yang tangguh dari semua sisi kehidupannya. Menjawab hal itu dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum diterapkan dalam pembelajaran oleh yang disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warganegara yang produktif serta bertanggungjawab di masa mendatang (lih. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan , Desember 2012).
Artinya penerapan K13 terlaksana pada pembelajaran membumi. Hal itu sebagai wujud pengakuan terhadap individu yang tumbuh pada kultur yang berbeda. Prosesnya, membebaskan individu dari tekanan berpikir, memerdekakan siswa untuk menyimak dan memahami keadaan dan situasi hidunya sebagai sumber belajar. Tentu, ini tidak hanya melihat kecerdasan konseptual siswa, tetapi ketrampilan menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata, yang berlahan-lahan membentuk pribadi berkarater luhur. Kecerdasan itelektual dan spritual terwujud bilamana sekolah, orang tua dan lingkungan saling bersinergi dalam mendidikan anak bangsa.
Pengembangan bahan ajar yang berawal pada kegiatan mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan menciptakan; harus berakhir pada panggilan untuk menerapakan hal yang telah diciptakan itu. Karenanya belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Menyadari pentingnya generasi bangsa yang tangguh dan bijaksana membutuhkan keterlibatan setiap pihak, baik sekoloah, orang tua maupun lingukngan. Kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan moral yang terbaca dalam ketrampilan berkomuniskasi dalam kehidupan bersama (keluarga dan masyarakat), ketrampilan menidentifikasi dan menentukan serta menemukan, serta keterampilan mengevaluasi diri.Semua itu menjadi pelita kehidupan dalam bersikap bijak.
Karena itu pendidikan yang membumi terjadi bila setiap siswa menyadari seluruh realitas hidupnya, budaya dan alamnya sebagai sumber belajar yang gratis, sehingga orangtua dan masyarakat mampu menunjukkan iklim kehidupan yang membelajarkan anak-anak, dalam bentuk kata, sikap dan tindakan yang membangun potensi anak-anak. Termasuk didalamnya adalah lembaga-lembaga adat, yang mempunyai tanggungjawab dalam menumbuhkan dan mewariskan keluhuran kearufan lokal terhadap generasi.
Selain itu peserta didik yang sudah dibekali dengan konsep-konsep pengetahuan dipanggil untuk mengkritisi dan meninggalkan secara bijak situasi sosial yang menyimpang dari nilai-nilai moral., di sana terjadi pembelajaran kontektual yang selalu hidup dalam situasi dan kearifan lokal (local wisdom) sebagai locusnya. Modal dan model sikap itu menjadikan setiap individu sebagai pribadi yang berkarakter, sebagai hasil perpaduan antara nilai luhur kebuyaan lokal dan tujuan pendidikan nasional.***