floressmart.com— Kalau Anda pernah mendatangi Kota Ruteng, pasti sempat memperhatikan sebuah masjid yang berada di jantung kota dingin. Masjid itu berusia 27 tahun bernama Jihadul Ukhro. Nama ini dapat diterjemahkan dengan bebas menjadi “perjuangan (jihad) terakhir (ukhro).”
Masjid berkubah hijau tua dengan arsitektur Islam Nusantara itu sengaja diberi nama demikian, karena menjadi potret perjuangan komunitas muslim di Ruteng.
Masjid dengan tipe 19 (19×19 m2) itu didirikan dengan susah payah dalam kesulitan keuangan jemaat dan pengurus masjid kala itu. Namun kini masjid yang terletak di jalan Motang Rua No 19 Ruteng itu tampil mentereng.
Jihadul Ukhro dirintis zaman pemerintahan Bupati Frans Sales Lega, peletakan batu pertama tahun 1971. Awalnya, masjid ini hanya merupakan bangunan Mushola semi permanen berdinding tripleks. Pemeluk agama Islam di Ruteng kala itu masih berjumlah 60 orang jemaah.
Hal itu berubah saat kunjungan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia periode 1983–1988 Sutardjo Rustam persis 10 tahun usai peletakan batu pertama Jihadul Ukhro. Sang menteri yang sempat menginap di Ruteng pun melakukan Shalat Jumat berjamaah bersama komunitas muslim Ruteng.
Dalam kesempataan itu pengurus Masjid diantaranya H AF Kelilaw meminta bantuan pembangunan masjid kepada sang menteri.
Alhasil,hanya dalam waktu tiga hari usai kunjungan dari Ruteng, Menteri Rustam menelepon Kelilaw agar segera berangkat ke Jakarta untuk mengurus dana pembangunan masjid. Kelilaw saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia cabang Manggarai (raya).
Rombongan Kelilaw cs pun berangkat ke Jakarta untuk menemui sang menteri. Di sana, mereka diarahkan untuk berjumpa dengan pihak Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP). Yayasan ini didirikan Presiden RI ke-II Soeharto dan sudah membangun 999 masjid sejak tahun 1982 di seluruh nusantara.
Awalnya Jihadul Ukhro diusulkan bertipe 17 (17 x17 m2), tetapi dengan pertimbangan pertumbuhan jumlah umat di Ruteng dan sekitarnya, maka tipe yang dibantu pihak yayasan adalah tipe 19 ditambah dengan sayap menjadi 21 m2.
Setelah melewati serangkaian proses pembangunan, Jihadul Ukhro diresmikan pada 1989 oleh pelaksana tugas (plt) Bupati Manggarai Yan Wodapale. Usai peresmiannya, masjid ini menjadi cikal bakal perkembangan komunitas muslim di Ruteng baik dari segi jumlah maupun penyebaran.
Selain membantu pembangunan Jihadul Ukhro, YAMP juga memfasilitasi pembangunan Masjid Agung Baiturahman yang terletak di kawasan Kumba, Ruteng-Manggarai. Masjid yang berdiri di atas tanah seluas 2.900 m2 dengan tipe 19 (19 x 19 m2) bisa menampung jemaah sebanyak 7000 orang. H AF Kelilaw dipercayakan menjadi ketua panitia pembangunan masjid.
Syiar Islam
Perkembangan syiar Islam ini tidak terlepas dari sejarah panjang kehadiran Islam nusantara pada abad 13-14 masehi dan Islam di Flores Barat pada abad 16.
Michael Laffan menulis, Islam menapak bumi Nusantara melalui ordo-ordo sufi. Sufi-sufi yang berdatangan dari seberang seperti Persia, India dan Afrika Utara hadir sebagai pedagang yang sekaligus juru dakwah Islam (Lafan, 2015).
Ini berbeda dengan sejarah kehadiran Islam di Manggarai khusunya. Kehadiran Islam diyakini masuk melalui invasi kerajaan Gowa dari Sulawesi Selatan dan Kesultanan Bima pada abad 16. Namun, di wilayah selatan Manggarai (Red, Todo), kehadiran Iman Islam dibawa oleh turunan Minangkabau melalui jalur perdagangan dan migrasi antar pulau.
Perjanjian antara Gowa dan Bima kemudian menjadikan Manggarai sebagai wilayah “buang sauh” dari “naib tahta kerajaan”. Kekuasaan politik pun membawa serta syiar agama Islam yang meninggalkan jejak pada komunitas-komunitas pesisir di antaranya di Bajo, Mata Wae, Nggorang, Bari, Reo, Pota, Lambaleda, dan Riung.
Kekuasaan Kesultanan Bima beserta perkembangan syiar Islam di Manggarai berlangsung hingga tahun 1900. Dalam ulasan Karel Steenbrink (2002), kekuasaan Sultan Bima berakhir setelah Belanda menguasai Flores Barat tahun 1907 dan mempercayakan tugas penyebaran agama kepada misi Katolik untuk melakukan syiar agama Katolik pada 1910.
Pada masa pemerintaan swapraja (zelfbestuur, zelfbesturen) Alexander Baroek, ikatan dengan kesultanan Bima putus dan misi Katolik makin mendapat tempat secara politis. Status swapraja berarti suatu daerah dipimpin kaum pribumi yang berhak mengatur administrasi pemerintahanya sendiri.
Namun demikian, di masa pemerintahan swapraja, komunitas muslim di Ruteng berkembang dimulai dari aparat pemerintahan yang menganut Islam menyusul kedatangan para pedagang asal Bugis, Minangkabau, Bima, dan Jawa.
Kehadiran kominitas muslim tentu memberikan warna tersendiri bagi perkembangan budaya Manggarai sebagai sebuah daerah yang menampakan wajah keberagaman. (Fian Roger)
*) Features ini merupakan hasil wawancara floressmart.com dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia Cabang Manggarai H. Amir Faisal Kelilaw dan diperkaya dengan studi literatur ringkas yang terkait dengan perkembangan Islam di Manggarai.