Musda “Poling SMS “ Partai Demokrat dan Antagonisme Politik

floressmart.com—Medio Juni lalu, media massa di NUsa Tenggara Timur memberitakan perkembangan yang terjadi dalan tubuh Partai Demokrat NTT pasca Musyawarah Daerah (Musda) III partai itu, 25 Mei 2016. “Poling” SMS Partai Demokrat Digugat). Bila konten berikut komentar-komentar elite partai dalam berita tersebut dicerna baik maka news effect yang dihasilkannya ke dalam benak pembaca tidak lain adalah adanya bayang-bayang konflik dan perpecahan dalam tubuh partai di level propinsi.

Agustinus Edward Tasman

*)Exordium

Berita-berita itu boleh jadi membuat kader-kader partai Demokrat, di mana pun di NTT, merasakan “keram hati”. Pasalnya, suatu Musda yang tadinya sebelum digelar diharapkan akan menghasilkan keputusan-keputusan yang bisa membawa kiprah partai semakin mantap ke depan, pelaksanaannya justru memantik konflik dan perpecahan diantara elite-elit terasnya. Dengan konflik yang terjadi semua harapan besar itu kini, bisa hilang dalam gerhana. Selain akan semakin besar dalam eskalasi, konflik juga jelas akan sedikit banyak mempengaruhi persepsi pihak luar terhadap citra partai karena persoalan yang pada dasarnya internal menyeruak keluar dan menjadi pengetahuan dan dasar penilaian eksternal. Persepsi eksternal/masyarakat disini penting karena boleh jadi ada diantara mereka merupakan simpatisan dan bahkan calon pemilih, voters candidate.

Namun, apakah tepat menilai masalah yang sedang terjadi pada Partai Demokrat NTT itu semata-mata karena “poling SMS” dalam Musda tersebut sebagaimana menjadi kandungan berita-berita diatas? Apakah karena tidak adanya “jiwa besar” dari yang kalah; sehingga dengan melaporkan ke DPP dinilai “berjiwa kerdil” misalnya? Apakah kalau ada yang tidak puas dalam kontestasi semacam itu cermin belum dewasa berpolitik sehingga “butuh kedewasaan”? Bagaimana berpolitik yang dewasa? Lebih jauh lagi apa dan bagaimana itu “berdemokrasi secara benar”? Apakah konflik semacam ini bisa diselesaikan musyawarah mufakat agar tidak ada dendam diantara sesama kader?

Antagonisme Politik

Kendati senantiasa sebisa mungkin dihindari kemunculannya, konflik dalam politik selalu saja muncul ibarat jelangkung;“datang tidak diundang, pergi berlalu tanpa pamit”. Konflik seringkali tiba-tiba sudah terjadi tanpa dikehendaki para pihak yang terlibat didalamnya. Konflik hanya bisa “pergi berlalu” hanya ketika para pihak berhasil mengatasinya.

Apalagi, sebagaiman berita diatas, konflik itu berlangsung dalam partai politik. Lembaga ini bisa dikatakan merupakan sarang konflik. Karena, sebagaimana namanya, partai politik, political party – dengan penekanan pada party, menjadikan konflik atau lebih tepatnya proses konflik sebagai metode kerja; baik di dalam tubuhnya sendiri – seperti dalam Musda Partai Demokrat diatas,  maupun ke luar dirinya, ketika karena sebegitu rupa sistem politik mengaturnya, wakil-wakilnya di parlemen harus berkonflik lagi dengan wakil-wakil partai lainnya disana sebelum sepakat berkoalisi atau tidak dalam membuat ketetapan-ketetapan publik di bidang apa saja.

Dengan konflik itu sebagai dasar kerja maka dengan sendirinya pula sikap berpihak, to be part(y), merupakan inti partai dan berpartai dan atas dasar keberpihakan itu lalu mencari penyelesaian politik dan kemasyarakatan secara umum. Disini, sekali penyelesaian politik dan kemasyarakatan secara umum ditemukan dan ditetapkan akan berlaku sebagai dan mempengaruhi seluruh tatanan, politik dan yang non politik.

Namun,konflik itu sesungguhnya hanya bisa muncul ketika terdapat antagonisme meski penting diingatkan bila tidak semua antagonisme bisa mengarah pada dan menjadi konflik. Selain menunjukkan bila keberadaan antagonisme itu tidak berhasil diselesaikan para pihaknya, konflik yang terjadi dalam Partai Demokrat itu sediri membuktikan “the ineradicabilty of antagonism in political life”, ketakterhapusan antagonisme dalam kehidupan politik, sebagaimana yang menjadi thesis Mouffe dalam On Political (2005).

Antagonisme bisa dan biasanya muncul karena perbedaan ide, welstanchauung, perbedaan suku, agama dan ras, sikap etik, kepentingan ekonomi, afeksi atau faktor-faktor lainnya. Perbedaan-perbedaan ini bisa menjadi antagonsime sepanjang dalam suatu momentum politik tertentu misalnya secara efektif mampu mengelompokkan orang dalam sebuah political identitity sebagai teman atau lawan, friend and enemy, “kita” vs “mereka”, we vs them  (bdk, Carl Schmitt: 1932).

Dalam dunia politik, sumber-sumber antagonisme ini senantiasa eksis, berlimpah ruah dan berpotensi menimbulkan konflik karena dari waktu ke waktu menciptakan pengikut-pengikut loyalnya sendiri. Posisi sebagai “kami/kita/teman” adalah konstruksi identitas politik yang terbentuk karena sepaham-segaris-satu pilihan, sedangkan pihak kontra dilihat sebagai “mereka/lawan/sana/sebelah” yang harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Antagonisme itu menjadi tidak terelakkan ketika “mereka/lawan/sana/sebelah” mempersoalkan baik identitas politik sebagai “kita” yang berasal dari semua faktor-faktor yang mepersatukan diatas; apalagi bila mengancam, threatening, eksistensinya (Mouffe; 2005) dan karena itu berpotensi “mencuri” kenikmatan, joissance (Lacan dalam Zizek, Tarring with Negative) yang bersumber dari itu. Disini antagonisme itu bisa dibilang hanya satu inchi jaraknya dengan konflik karena semuanya sudah berada dalam posisi berhadap-hadapan muka ke muka, face to face, satu dengan yang lainnya dan dalam kuda-kuda siap tarung. Konflik pecah dan tak terhindarkan ketika satu “pukulan” dilepaskan oleh salah satu pihak dari dan dalam posisi itu.

Namun, sejauh yang bisa diperhatikan maka sumber antagonisme dalam tubuh partai politik hari-hari ini bukan lagi menyangkut rasa sekawan-sependeritaan dengan figur tertentu dalam partai, comradership. Yang tampak lebih menonjol adalah akibat perebutan posisi politik – karena tidak semua anggota bisa menjadi pengurus teras partai. Posisi yang berhasil diduduki akan berimbas pada rejeki ekonomi, economic interest, dan kebanggaan-kehormatan-penghormatan (pride) dan kenikmatan, joissance, yang muncul dari keuntungan berada dalam posisi politik tersebut. Antagonisme disini muncul karena selalu ada lawan separtai yang mengancam eksistensi posisi itu dan berpotensi “mencuri” semua kenikmatan yang diperoleh karena kedudukan tinggi dalam posisi tersebut. Kalau meminjam bahasa Carl Schmitt dalam the concept of political (1976), faktor-faktor tersebut bisa dibilang merupakan differintia specifica antagonisme dalam tubuh partai yang terlihat dominan dari luar; meski terkadang yang satu lebih dari yang lainnya atau yang satu bisa muncul saat yang lainnya tenggelam.

Antagonisme Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika masih merupakan contoh mondial yang akan bertahan lama. Contoh-contohnya di Indonesia juga bertebaran dari masa ke masa, bahkan hingga kini masih menciptakan fakta historiknya sendiri. Herbert Feith dan Lantce Castles misalnya, sudah menemukan itu dalam politik kita ketika weltanschauung seperti Nasionalisme, Islam, Komunisme, Sosialisme Demokrat, dan Tradisionalisme Jawa menghidupkan politik elektoral sang negara muda dengan antagonisme-antagonisme yang dikandung di dalamnya dari tiap kacamata welstanchauung itu – seperti Pusat vs Daerah, disparitas dan diskriminasi ekonomi politik Jawa-Luar Jawa (Bdk, Indonesian Political Thinking 1945-1965; 1970).

Antagonisme itu bahkan tetap muncul dalam masa Orde Baru Soeharto yang menganut nalar anti politik. Meski demi pembangunisme yang menjadi ration d’etre kemunculannya Orde Baru berupaya meredam antagonisme-antagonisme itu bahkan sudah sejak dalam pikiran melalui bedil dan sepatu lars militer, antagonisme-antagonisme itu tetap muncul. Pada Golkar antagonisme itu memang tidak terlalu kelihatan karena kuatnya pengaruh tentara dalam organisasi-politik-laksana-partai itu (party like) pada masanya. Namun antagonisme itu terlihat sangat jelas diantara NU vs Muhammadiyah dalam PPP yang dipaksakan untuk berfusi pada 1973 dengan Islamisme sebagai perekatnya. Apalagi dalam tubuh PDI yang sejak awal merupakan campuran dari semua unsur yang tidak mungkin hidup dalam satu kandang: Marxisme, partai-partai berdasarkan agama Kristiani dan Nasionalisme Radikal seperti PNI.

Kemunculan reformasi di zamrud katulistiwa dengan seluruh upaya demokratisasi sebagai agenda utamanya, pada kesan pertama adalah untuk meningkatkan derajat institusionalisasi pada lembaga-lembaga utama penggerak kehidupan politik kenegaraan seperti partai politik.  Disini partai sebagai organisasi adalah tulang belulang sedangkan institutionalisasi adalah napas dan darah yang menggerakkan tulang belulang tersebut. Organisasi adalah kerangka sedangkan institusionalisasi adalah daging. Organisasi adalah anatomi instititusionalisasi adalah fisiologi (Bdk. Dakhidae: 2015). Namun, dalam hubungannya dengan partai, sayangnya institusionalisasi demokratik itu belum banyak kelihatan. Kenyataan politik yang tampak lebih mempertontonkan keadaan kembali seperti sebelum Orde Baru, ketika partai-partai – baik yang sudah lama didirikan maupun yang baru tapi dengan nama lama yang menunjukkan hubungan genetik-transhistoriknya dengan partai lama, atau baru yang sama sekali seperti demokrat – mengambil salah satu atau lebih unsur antagonisme diatas sebagai haluan untuk berkiprah dalam medan politik pasca Orde Baru.

Dilihat dalam gambaran besar, antagonisme-antagonsime itu selalu memberi energi bagi konfrontasi internal diatara faksi-faksi kader setiap saat dan terutama pada saat momentum penting partai seperti pemilihan ketua umum, ketua DPD, Ketua DPC, atau posisi puncak, menengah yang decesive terhadap isi perut partai maupun pengurus kadernya. Demikian juga halnya ketika partai keluar, baik sendiri maupun berkoalisi dengan yang lainnya. Karena itu, konflik diantara elite Partai Demokrat NTT diatas sama sekali tidak perlu membuat “keram hati” apalagi jika ditangisi.

Demokrasi Agonistik

Sambil membayangkan kembali dengan senyum terkembang disudut bibir terhadap pengalaman masing-masing, apa yang pernah terjadi dalam “rumah” sendiri bisa diperiksa kembali sebagai contoh dengan berlakunya Pilkada, agar kita tidak melulu melihat jauh keluar. Meski beberapa pasalnya masih problemtaik, namun secara keseluruhan Governmentality Pilkada yang diatur dalam Undang-undang khusus (lex specialis) tentang ini – terakhir UU.No.1 dan No.8 tahun 2014 – sesungguhnya demokratik dari tahapan ke tahapannya. Karena Pilkada itu sendiri merupakan sebuah jenis pemilihan untuk memilih pemimpin-pejabat politik publik melalui prosedur-mekanik sebagai art of geverning-nya – disusun dalam tahapan demi tahapan dengan agenda kerja kegiatan yang rigid dan jelas tiap tahapan. Semua itu dikerangkai oleh prinsip-prinsip demokrasi sebagai rationalitas penyangganya. (tentang Governmentality, bdk Foucault dalam Gordon:1981).

Suatu lokus politik senantiasa membutuhkan keberadaan pemimpin puncak yang menjadi kepala tertinggi, kepala diatas kepala dari setiap pejabat pengampu otoritas publik. Karena sistem pemilihan ini berlaku sejak otonomi daerah bergulir maka penting juga dicatat bahwa dengan sendirinya kandidat yang terpilih dalam Pilkada itu sekaligus menjadi pengemban defenitif segala jenis kuasa otonomi di kabupaten/kota yang kelak pasca terpilih didelegasikannya lagi pada kepala lain dibawahnya, seperti kepala dinas, dst. Semua itu menjadi lebih bermakna bila ditunjang oleh keberadaan partai-partai yang menghidupkan politik kepublikan seperti memberikan pendidikan politik dan keberadaan masyarakat sipil yang berarti karena berani mengupayakan diskursus publik terhadap soal-soal kepublikan tanpa jeda selama 5 tahun, lepas dari ada tidaknya pilkada,

Dalam kerangka itulah Pilkada pada saat bersamaan menjadi moment restrukturasi politik. Restrukturisasi politik ini berlangsung terutama di tingkat Kabupaten/Kota karena wilayah sovereignya lebih kecil sehingga lebih mengangkat emosi elektoral, ketimbang propinsi diatasnya. Restrukturisasi itu terjadi karena konstelasi kerap berubah, pendukung dan modal bisa saja berubah sehingga kekuasaan bisa saja berganti atau tidak sama sekali sehingga banyak pihak ikut bertarung untuk mengubah masa lalunya dan mengubah masa depannya dengan memenangkan pertarungan masa kini sehingga tercipta semacam Hobesian Warfare; Bellum omnium contra omnes, Perang semua lawan semua.

Namun selalu hanya ada dua kubu/posisi yang bisa dimasuki disini, yakni menjadi pro status quo atau mendukung kekuatan politik pilkada, electoral political force, yang mengklaim akan membawa perubahan/pembaharuan. Memilih jalan tengah disini hanya menimbulkan rasa geli kecuali bagi para peneyelenggaranya. Karena diselenggarakan dalam kondisi lingkungan socio-ekonomi-politik semacam politik semacam itu, maka tidaklah mengherankan bila kemudian dalam Pilkada di Manggarai Raya misalnya, antagonisme itu terlihat lebih sering muncul bukan karena antagonisme akibat perbedaan ide, welstanchauung diantara aktor-aktor politiknya maupun rancangan program kepublikan yang bersumber dari itu atau pun sikap moralitas politik tertentu terhadap kandidat penguasa. Antagonisme yang terjadi lebih merupakan campuran antara kepentingan ekonomi pada sebagian aktornya serta terutama akibat afeksi seperti hubungan sedarah-seketurunan-sekampung-asal pada hampir sebagian besar masyarakat.

Di Manggarai misalnya, ada antagonisme antara “Orang Cibal”, “Orang Todo/Pongkor/Satarmese”. Demikian juga “Orang Kempo” atau “Orang Lembor” di Manggarai Barat; “orang Lambaleda-Pocoranaka” atau “Riwu-Manus” di Manggarai Timur.  Dalam masa ini, selalu ada saja pemain politik yang menghidupkan lagi historiografi politik masa lalu untuk kepentingan elektoralnya di masa kini. Karena itu tidaklah mengherankan bila dari beberapa kali Pilkada yang digelar termasuk yang terakhir di Manggarai dan Manggarai Barat tahun lalu selalu muncul fakta social, social fact, ada diantara – karena tidak semuanya, orang-orang dari semua suku itu yang sukar berjabatan tangan dan lebih suka memunggungi yang lainnya. Kejadian ini terjadi baik beberapa saat sebelum, apalagi selama Pilkada berlangsung, bahkan hingga Pilkada hanya menyisahkan ampas cerita “orang-orangan” yang mendaku kemenangan karena kontribusinya individual/kelompoknya/suku semata-mata terhadap keterpilihan Bupati-Wakil Bupati defenitif.

Namun bila diperhatikan agak teliti kemuculan antagonisme itu hanya bersifat temporer disekitar moment Pilkada dan sesungguhnya sama sekali tidak mengarah ke konflik. Alasan paling utama bila nalar Mouffean sejak awal diikuti adalah karena individu/masyarakat/pemilih yang “orang lembor” misalnya tidak merasa terancam eksistensi sebagai “órang lembor” oleh “orang kempo” dan sebaliknya; atau individu/masyarakat/pemilih yang “orang Cibal” misalnya merasa joissance-nya sebagai “orang Cibal” tidak terancam dicuri oleh “orang Satarmese”. Antagonisme itu baru mengarah pada dan pada gilirannya menjadi benar-benar konflik, kalau ada, ketika semua identitas politik “kekitaan” yang terbentuk karena faktor afeksi-hubungan-sedarah-seketurunan-sekampung-asal saling terancam oleh yang lainnya dan berpotensi mencuri kenikmatan yang berasal dari keikutsertaan dalam identititas tersebut.

Yang dikatakan terakhir itu tidak terlihat pada sebagian besar masyarakat di akar rumput, biasanya lebih sering terjadi di kalangan elite puncak dan menengah birokrasi yang capaian pangkat/jabatan terakhirnya lebih didiperoleh bukan melulu karena prestasi tetapi lebih banyak karena faktor afeksi-hubungan-sedarah-seketurunan-sekampung-asal. Dengan demikian kasusnya adalah individual karena motivasi dan modus politik tertentu, apa pun itu, yang dilakukan birokrat jenis ini disekitar moment Pilkada juga lebih berdasarkan pada hitung-hitungan personal peluang kenaikan pangkat/jabatan dan semua bayang-bayang kenikmatan  yang didapatkan dari pangkat/jabatan itu – karena itu, tidaklah mengherankan bila birokrat semacam ini menjadi begitu cemasnya ketika calon Bupati dan Wakil Bupati yang didukungnya kalah. Karena lepas dari ada atau tidaknya “perhitungan” pemenang terhadap pilihan politiknya, pilihannya ikut serta dalam kelompok identitas politik tertentu dalam Pilkada, sebagai teman atau lawan, akan sedikit banyak berpengaruh terhadap eksistensinya pangkat/jabatan terakhirnya berikut kenikmatan yang berasal dari situ. Kasus yang serupa, sama memusingkannya, terjadi pada birokrat sejenis yang kandidat yang didukungnya dalam Pilkada ditetapkan sebagai pemenang, namun pangkat/jabatannya tidak naik-naik. Persoalan bertambah gawat kalau “balas jasa” diberikan kepada “alamat yang keliru”. Disini sembari mempertanyakan ulang pilihan mendukung sang kandidat pemenang, rumusan “kawan” atau “lawan” harus dia defenisikan ulang karena batas-batasnya menjadi nisbih, menjadi kabur, sekabur prospek kenaikan pangkat/jabatannya.

Sedangkan dikalangan kader partai politik, baik satu maupun beda partai, antagonisme internal memang masih terjadi meski lebih sering berlangsung secara secara diam-diam, tacitly, dan relatif hanya diketahui diantara mereka sendiri. Namun, antagonisme ini lebih bersifat constitutive outside dimana antagonisme etno-politik yang terjadi diluar partai politik diatas sedikit banyak berpengaruh ke dalam kondisi kebatinan, dukung-mendukung yang diberikan dan boleh jadi hitung-hitungan peluang kemenangan dan semua bayang-bayang keuntungan yang didapatkan partai dan pengurus/kader dari situ. Kasus yang sama bisa dengan mudah kita temukan juga di tingkat politik propinsi (lihat Agustinus Edward Tasman, Friendly Enemy dalam Pilgub NTT dalam http//www.vnewsmedia.com)

Kalau contoh-contoh diatas bisa dipakai sebagai dasar empirik-artikulasi, kita kemudian bisa mengatakan bila antagonisme itu juga berlaku dan malah konstitutif terhadap politik demokratik. Dengan demikian hampir-hampir menjadi ilusi bila kita beranggapan bahwa persoalan ini masih bisa diselesaikan dengan cara berkompromi sebagaimana paham pendukung demokrasi aggregatif (Aggregative Democracy)  – advokat paham ini memandang politik sebagai sebagai ajang pembentukan kompromi semata-mata diantara berbagai kelompok yang bersaing dalam masyarakat karena rasionalitas instrumental yang dibelanya mati-matian dan pengaruh kuat ide tentang pasar dari konsep-konsep ekonomi yang dicangkokkan ke dalam paham politik ini.

Menerima bahwa persoalan ini jaga masih bisa didiskusikan bila saja ada kemauan sebagaimana paham a la demokrasi deliberative (deliberative democracy) adalah ilusi yang lainnya lagi – dalam kasus ini politik lebih dipahami bukan melalui ekonomi tetapi melalui etika atau moralitas karena kemuculannya hendak menutupi kelemahan rasionalitas intrumental demokrasi aggregatif diatas dengan rasionalitas komunikatif, communicative rationality. Karena hendak menciptakan hubungan antara antara moralitas dan politik pendukungnya percaya bahwa “Political debate as a specific field of application of morality that it is possible to create in the realm of politics a rational moral consensus by means of free discussion”

Memang harus diakui pengaruh kedua jalan pikiran diatas begitu hegemonik dalam persepsi, dalam common sense dan praktek demokrasi kita selama ini dan boleh jadi mempengaruhi juga para elite Demokrat NTT yang berseteru diatas sehingga mengeluarkan komentar yang disebarkan PK. Namun, sebagaimana sudah ditunjukkan dalam semua telaah diatas, menjadi jelas bahwa tidak ada solusi rasional manapun yang bisa memediasi antagonisme-antagonisme yang selalu hadir dalam dunia politik dan politik kepartaian kita. Bagaimana bisa seorang kandidat Bupati Matim asal Kota Komba yang memakai sentimen etnik Riwu Manus untuk mendongkrak elektabilitasnya dalam Pilkada tahun tahun depan bisa diajak berkompromi atau menerima ajakan untuk berdiskusi lagi soal pembagian zona kampanye sementara tahapan kampanye sudah berjalan dan ada calon asal Lamba Leda/Poco Ranaka melanggar zona yang sudah ditetapkan sebelumnya dengan berkampanye di kota komba semaunya sendiri, bukan berdasarkan kesepakatan jadwal antara Kandidat, KPU dan Panwas, misalnya? Demikian juga sebaliknya. Bagaimana mungkin konsensus masih dianggap “imparsial” sementara sebagaimana dikatakan Mouffe: “every consensus is based on act of exclusion, it reveals the impossibility of fully inclusive “rational” consensus”.

Keberadaan antagonisme itu sendiri yang menunjukkan batas-batas tegas dari setiap konsensus rasional atasnya. Sebagaimana kasusnya pada Birokrat diatas, medan persoalannya bukan pada kompromi-kompromi atau diskusi bebas itu tetapi menurut Mouffe berada pada keberanian membuat keputusan diantara pilihan-pilihan yang tersedia dan kadang bertabrakan ditengah ke-serbamungkin-an yang akan terjadi, having to decide in undecidable terrain. Karena itu kita tidak akan berpanjang lebar lagi mengenai demokrasi musyawarah mufakat Pancasila a la orba yang dalam prakteknya kerap menghasilkan pemufakatan terlebih dahulu di luar gedung musyawarah atau mufakat tanpa musyawarah sama sekali karena pandangannya tentang musyawarah hanya membangkitkan suara-suara yang kadang terlalu bertele-tele untuk membuat suatu keputusan yang bisa cepat (una classa discutiora)

Satu-satunya cara agar antagonisme-antagonisme itu bisa dijinakkan menurut Mouffe adalah dengan menerima dan mengakui bila antagonisme-antagonisme yang terjadi dan apapun bentuknya  adalah absah, konstitutif terhadap politik dan tidak harus mengarah pada konflik. Tetapi agar tidak mengarah kepada konflik, dituntut pertama-tama; legitimasi dan tuntutan lawan harus diterima dan diakui. Mereka adalah lawan, opponent/ adversary, bukan musuh, enemy sehingga tidak perlu memperlakukan lawannya sebagai musuh yang yang harus dihancurkan dengan berbagai cara dan harga berapapun atau melulu melihat tuntutan-tuntuan lawan sebagai tidak sah dan tidak berdasar apalagi bila sampai menghancurkan asosiasi atau lembaga politik yang ada. Untuk itu, distingsi yang dibuat Carl Schmitt dalam kutipannya terhadap Forcellinis Lexicon totius Latinitatis (1971) disini mungkin membantu. Disana dibedakan antara “hostis”, musuh, dan “inimicus”, lawan; dengan rumusan “hostis/musuh” adalah seseorang atau sekelompok orang dengan siapa berlangsung perang terbuka, sedangkan “inimicus/lawan” persaingan dengan orang yang dibenci. Disini penting dibedakan bahwa segmentasi karena antagonisme apapun mengeluarkan yang tidak sejenis dan dijadikan “musuh” yang harus diperangi. Sedangkan pertikaian politik demokratik normal meletakkan yang tidak sepaham menjadi “lawan” yang mungkin dibenci dan bukan diperangi.

Kedua, keberadaan apa yang disebut Mouffe “common bond”, “ikatan bersama” dan “common ground”, “landasan bersama terhadap ikatan tersebut” diantara para pihak yang berkonflik sehingga mereka bisa mengakui legitimasi dari pihak lawannya. Common bond dan common ground itu tidak lain adalah prinsip-prinsip governmentality demokrasi itu sendiri.  Karena prinsip-prinsip governmentality demokrasi itulah para pihak itu memiliki ration d’etre kehidupan dan dasar seluruh kegiatannya ditengah masyarakat politik demokratik, sehingga prinsip-prinsip pengaturannya harus diterima dan dibagi bersama para pihak, sine qua non. Demikian juga halnya dalam partai yang tidak lain merupakan sebuah ruang symbolic bersama, a common symbolic space, tempat konflik itu berlangsung, governmentality demokrasi itu juga berlaku. Disini governmentality demokrasi itu menubuh dalam konstitusi dasarnya seperti Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga atau Peraturan Organisasi seperti dalam kasus partai demokrat diatas. Persis inilah jalan ketiga yang diwarkan Mouffe yakni jalan demokrasi agonistik. Antagonisme itu hanya bisa teratasi dengan adanya pengakuan akan legitimasi dan tuntutan lawan karena posisi anda dan lawan sama absahnya dalam ikatan bersama yang diatur governmentalitas demokrasi sebagai rule of law dan rule of game. Itu adalah jalan demokrasi agonistik.

“Sekedar” Penutup

Kutipan pada awal tulisan ini berasal dari Chantal Mouffe. Pandangan ini dikeluarkan sang Filsuf perempuan post-strukturalis itu sebagai akibat pemeriksaan secara seksama yang dilakukannya terhadap pelbagai literatur yang menjadikan demokrasi sebagai subjek artikulasi teoritik dan praktiknya. Disana dia menemukan keberadaan dua jalan pikiran demokrasi sebagai paling hegemonik saat ini, yaitu aggregative democracy dan deliberative democracy. Dampak hegemonik kedua nalar itu memunculkan kenyataan apa yang dikatakannya dalam kutipan diatas

Namun, untuk lebih membawa pandangan teoritiknya dekat ke bumi maka pada penulis langsung mengajak pembaca menyaksikan konflik yang berlangsung pada partai Demokrat NTT sebagai exordium sebelum menelaahnya secara spesifik bagian perbagian. Exordium bisa kita terjemahkan sebagai permulaan karena secara etimologis berasal dari bahasa latin Exordiri tetapi ketika ditranslasikan di Inggris mendapatkan arti yang lebih spesifik menjadi permulaan dari diskursus (bdk. Conscise Oxford English Dictionary:2004). Tulisan ini mencoba merangkum kedua nalar itu dalam diskursus yang dihadirkannya, baik Latin maupun Inggris.

Adapun diskursus politik yang diajukan disini adalah menyangkut konflik yang berasal dari antagonisme dengan sumber yang sedemikian banyaknya sehingga merincinya menjadi akan membuang-buang waktu. Namun, kalau pun dalam exordium penulis mengadress konflik yang berlangsung dalam partai Demokrat, diskursus politik yang ditelaah disini tidak hendak membeda secara khusus kasus tersebut sebagai kasus utama, melainkan memperlakukannya hanya sebagai semata-mata pengantar, terminus a quo, untuk membahas kasus-kasus serupa yang ternyata mudah kita temukan dalam partai politik bangsa ini lainnya.

Sebagaimana kita ketahuai kondisi serupa pernah mengolengkan Partai Golkar dan PPP di level nasional. Sebegitu rupa perpecahan antar pengurus teras kedua partai itu di tingkat pusat sehingga membingungkan pengurusnya di provinsi dan kabupaten untuk berkubu ke faksi apa di Jakarta. Belum lagi bicara mengenai “kebingungan ganda” calon-calon kepala daerah di kabupaten/kota di NTT jelang Pilkada serentak tahun lalu dan sekarang misalnya sebagai efek lanjutannya – Calon-calon Bupati/Walikota itu begitu bingung berkali-kali karena ketika hendak  mendapatkan dukungan kedua partai itu dalam Pilkada, mereka harus mendapatkan rekomendasi dari pengurus yang legitimate sejak di kabupaten, lalu propinsi apalagi di Jakarta yang banyak “makelar”nya. Tetapi pengurus mana yang legitim;  karena yang absah dari segi hukum belum mendapat kekuatan hukum tetap sehingga KPU dan Panwaslu terpaksa mengklarifikasi langsung ke masing-masing kantor resmi partai tersebut di tiap tingkatan politik.

Sikut-menyikut-saling-jegal diantara dan bagi para kader dalam suatu partai mungkin suatu yang normal. Namun, dalam hal partai seperti Demokrat, waktu 10 tahun memegang tampuk kendali eksekutif nasional dan 5 tahun menjadi ruling party dengan sedikit banyaknya pengaruh tertentu terhadap capaian, posisi dan peran partai itu di NTT, mestinya sudah cukup membuat partai itu stabil, matang dan savoir faire dalam pengalaman. Karena itu dengan konflik yang sedang pecah dalam internal elite Partai Demokrat diatas, maka tidak mengherankan bila sudah ada yang mengaku simpatisan partai berlambang mercy itu berani bilang bahwa itu merupakan pertanda dislokasi, pergeseran, tengah terjadi pada partai itu, sekurang-kurangnya di NTT.

Sebagaimana halnya rasa perih yang timbul karena terjadinya dislokasi pada kasus tulang tubuh manusia yang mengalami pergeseran dari tempat seharusnya, kita sudah bisa membayangkan kondisi yang dirasakan para kadernya saat ini akibat berita-berita-berita itu tanpa harus banyak mengetahui soal medik mengenai dislokasi. Dengan kecendrungan ketua umumnya, SBY, yang gemar mengkritik pemerintahan Jokowi-Kalla akhir-akhir ini dengan kecondongan pada kelebihan masa silam sebagai refensi dalam menilai masa kini, mengatakan dislokasi itu juga terjadi serius secara nasional tampak semakin sulit terbantahkan dan melahirkan bayang-bayang penuh siksaan.

Namun, dengan begitu diskursus utama yang dibicarakan disini adalah konflik yang berpangkal dari antagonisme dalam partai-partai politik kita dengan dampak sentrifugal ke berbagai jurusan yang ditimbulkannya. Dengan memakai kerangka pikir Mouffe sebagai pisau menelaah maka tulisan ini sampai pada sumber-sumber atau faktor-faktor yang membangkitkan antagonisme dan identitas politik berdasarkan antagonisme itu dalam pertama-tama dunia politik bangsa ini, lalu dalam tubuh partai diantara kawan separtai yang lebih kerap memaknai lawan sebagai musuh yang harus dihabisi. Identifikasi sebagai “kami/kita/teman” dalam partai selalu muncul dari waktu ke waktu ketika ada saja kader yang sepaham-segaris-satu pilihan-satu kepentingan dengan yang lainnya. Disini mereka tidak sepaham-segaris-satu pilihan-satu kepentingan dikeluarkan dari kotak dan dianggap sebagai “mereka/lawan/sana/sebelah” yang harus diperlakukan sebagai musuh. Karena sebagai “dahan/ranting” itulah “dahan/ranting” busuk yang harus dipotong agar “pohon” partai tetap sigap menghadapi tantangan-tantangan dari luar yang muncul dihadapan dan membutuhkan reaksinya.

Karena dampaknya sentrifugal, selain sistem kepartaian maka tulisan ini juga dengan sendirinya harus membahas sistem sistem pemilu, dan sistem perwakilan yang berlaku. Dalam sistem politik mana pun ketiganya adalah seolah-olah “tritunggal maha kudus” ketika membicarakan soal-soal semacam ini secara mendalam karena ketiga-tiganya baku kait; yang satu hanya bisa mengada karena ada dan manunggal dengan yang lainnya. Disini praktek ketiganya dalam sistem yang berlaku setelah reformasi menjadi telaahan utama dengan praktek orde baru sebagai sekedar pembanding untuk sedikit menghadirkan perspektif komparatif-historik yang bermakna.

Setelah diperiksa lebih jauh hingga ke tingkat lokal, Manggarai Raya, tempat dimana kita atau sebagian dari kita menghidupi politik dengan nalar dan actus politik tertentu dalam prakteknya, secara mengejutkan penulis menemukan antagonisme ini terjadi di tingkat lokal dengan kekhasannya sendiri  – meski mungkin juga terjadi di kabupate/kota luar Manggarai Raya lainnya. Disini Pilkada maupun pemilu secara umum dilihat juga sebagai locus of antagonism, tempat antagonisme itu bersimaharajalela dari berbagai sumber-sumbernya yang bisa diidentifikasi dan mampu menimbulkan afeksi hingga ketingkat pembentukan identitas “kita/disini’ sebagai teman, dan “mereka/sebelah/disana’ sebagai lawan yang harus dikalahkan. Semua itu mempengaruhi seluruh universum politik lokal Manggarai Raya, terutama terhadap karir elite puncak dan menengah birokrasi serta raihan politik partai maupun karir dan rejeki pengurus/kadernya dalam kadar tertentu

Semua itu berujung pada ajakan mengikuti jalan agonistik yang ditawarkan Mouffe, suatu paham demokrasi yang menerima dan mengakui antagonisme sebagai tak terhindarkan dan konstitutif terhadap sistem politik mana pun. Dalam paham demokratik ini satu-satunya cara memediasi antagonisme adalah dengan mengakui keabsahan lawan dan tuntutan-tuntutannya berdasakan common bond/common ground yang dilihat dalam tulisan ini pada governmentalitas demokrasi sebagai rule of law dan rule of game.

Kita bisa saja mengikuti saja kebiasaan menilai dua paham demokrasi hegemonik yang dikritik Mouffe diatas terhadap konflik yang sedang pecah dalam tubuh Partai Demokrat NTT saat ini atau Pilkada kita kali lalu. Penulis tidak beranggapan bahwa moral dan etika politik publik suatu yang tidak perlu. Namun, penulis berpikir bahwa menjadi penting untuk melihat soal semacam ini dalam kacamata ilmu politik yang juga kaya akan konsep-konsep penjelasnya sendiri ketimbang terus meminjamnya dari sana-sini sehingga terperosok dalam gejala moral register dilansir Mouffe diatas. Karena itu, dengan semua kemampuan yang ada untuk melihat ke belakang, maka setelah beberapa waktu mungkin inilah momentum terbaik bagi partai untuk memeriksa kembali nalar politik yang dipakai, dibela dan dijalankannya dalam kerja di lapangan politik dalam melihat konflik. Konflik tidak selalu perlu membuat pegal hati apalagi bila ditangis a la bombay-alay, karena Karena kemunculannya sesungguhnya suatu yang alamiah dan terkadang perlu untuk menuju perubahan, sama sekali bukan disebabkan semua hal yang dilansir dalam pemberitaan mengenai konflik dalam partai demokrat NTT di diawal.

Namun karena dalam sistem demokrasi partai dan publik/calon pemilih ibarat air dan ikan dimana air constitutive outside terhadap kehidupan ikan sebagaimana dalam pemilu calon pemilih menentukan bukan saja kehidupan tetapi juga kualitas kehidupan partai maka dengan sendirinya kita semua diajak untuk bersama penulis memikirkan lagi semua ini secara bersama. Dalam hubungan itu, mungkin inilah waktu terbaik bagi kita, mengutip Foucault dalam sebuah wawancaranya (1984) tentang hal lain, untuk tujuan ini: “mengguncang kembali bukti-bukti, asumsi-asumsi, untuk mengguncang cara kerja dan cara berpikir yang habitual, menguncang-guncang kelaziman yang konvensional hingga amblas, mengevaluasi kembali hukum-hukum, aturan-aturan dan institusi-institusi dan berpartisipasi dalam (cara itu) dalam formasi kehendak politik”.

Suatu modus politik baru terhadap konflik karena antagonisme-antagonisme politik yang terjadi diantara kita mesti ditemukan dan dikerjakan bersama. Dalam partai utamannya, modus tersebut tidaklah membuang dahan/ranting yang busuk agar membusuk sunyi-sepi-sendirian karena memilih sebagai lawan, tetapi tetap melihatnya sebagai capital kolektif sembari tetap mengakui legitimasi dan keberadaan tuntutan-tuntutannya yang diametrik dengan kita.

Dengan melihat lawan sebagai capital kolektif, maka seluruh elemen partai bisa sigap menghadapi guncangan dari “dalam selimut” maupun dari luar partai – ringan, sedang atau pun guncangan maha hebat. Dengan mengakui legitimasi dan tuntutan-tuntutannya, apa pun itu, kita menghormati governmentalits demokrasi sebagai common bound dan common ground yang telah mengikat pikir-tindak-tutur politik kita dan sang lawan pada dasar ikatan yang satu dan sama. Modus tersebut tidak lain adalah menjadikan lawan seakan teman yang layak dihormati, Friendly Enemy.

Mungkin inilah cara yang tepat berpolitik secara dewasa dan bermartabat. Karena itu, mengupayakan keberadaanya dalam kepolitikan kita hari-hari ini dan seterusnya adalah tugas historik utama politik kita; generasi politik pasca revolusi mental.

*) Penulis adalah Komisioner “Demisioner” Panwaslu Kabupaten Manggarai 2015; Co-Founder Manggarai Raya Research Institute (MR@I);Anggota Forum Akademia (FAN) NTT.