Catenaccio Italia vs Ein Traum Wurde Wahr Jerman, Dari Gaya “Move On” hingga “Kopi Espresso”

floressmart.com—Sebagaimana lirik sebuah lagu populer, jantung supporter Italia dan Jerman pasti “berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang” ketika hasil akhir pertandingan antar kedua tim kemarin harus ditentukan melalui adu tendangan pinalti. Pertandingan tersebut merupakan bagian dari babak perempat final Euro 2016 Perancis yang berlangsung di Stade Bourdeux. Adu pinalti terjadi karena dalam dua babak 90 menit waktu normal + dua babak 30 menit tambahan (open play) kedua kesebelasan hanya berhasil mencetak gol imbang 1:1.

Edward Tasman

Bila komentar-komentar pemain sempat diikuti sebelum laga, nampak benar mereka saling segan dan menghormati satu sama lain. Para pemain Italia selalu menghormati spirit il tadesco, semangat baja pemain Jerman, sementara diam-diam pemain-pemain Jerman selalu mengganggap pemain Italia sebagai sekumpulan para maestro dengan karakter flamboyan diatas lapangan hijau. Sikap saling segan dan menghormati itu muncul karena kedua tim sering berhadapan dalam duel. Statistik mencatat keduanya telah bertemu 33 kali sebelumnya di berbagai ajang  – piala dunia, Euro dan pertandingan uji coba.

Namun Italia selalu lebih kuat karena bisa menang 15 kali ketimbang jerman 8 kali dan 11 duel lainnya berakhir seri. Karena itu, sebelum pertandingan berlangsung kebanyakan pengamat lebih menjagokan Italia. Status terakhir Jerman selaku juara dunia seakan bukan takaran karena Italia selalu unggul dari segi historik.

Apalagi sejak Euro berlangsung, dibawah Antonio Conte, permainan Gli Azzuri berhasil menebarkan kengerian kepada calon-calon lawannya degan torehan hasil-hasil impresif dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya – “mengajar” bagaimana caranya bermain bola secara efektif pada pemain bergelimang bintang Belgia di fase penyisihan dan pada fase knock out, bak banteng mengamuk menggruduk kejantanan Tim Matador yang masih saja memainkan bendera tiki-taka seperti biasanya.

Namun, ketika kedua tim harus tukar menukar kesempatan dan peluang dalam menentukan pemenang melalui adu pinalti pada duel ke 34 malam itu, dewi fortuna, dewi keberuntungan asal Yunani itu akhirnya lebih berpihak pada Jerman. Bagi Italia adu pinalti ini seolah menjadi “adu pinalti pahit” sekaligus menjadi akhir pahit kisah Catenaccio Italia dalam pegelaran Euro kali ini. Bagaimana dengan Jerman?

Gaya                                        

Tujuan utama permainan sepakbola adalah mencetak goal. Ini telah menjadi tujuan permainan ini sejak pertama kali ditemukan orang-orang Inggris hingga era sepakbola supermodern yang menganimasi sejadi-jadinya gerak hingga selebrasi pemain, pelatih dan penonton dalam playstastion. Goal yang bisa dicetak menandai hasil akhir dan hasil akhir yang bisa membawa kemenangan ketika sebuah tim berhasil mencetak 1, 2 atau lebih gol, ketimbang yang dicetak lawan (proponderous goal). Filosofinya sangat sederhana disini: “If the opponent cannot score a goal, they cannot win the match”.

Namun, proponderous goal sesungguhnya bukan berarti kemenangan semata-mata, tetapi juga menyangkut cara bagaimana permainan ini dimainkan. Ini adalah tanda paling pasti kesesuaian antara skema taktik yang disiapkan pelatih sebelum pertandingan dan performa kinerja-kolektif-kreatif dan kadang-kadang individual pemain di lapangan, bukan saja dalam penyerangan tetapi juga dalam pertahanan.

Goal yang berhasil dicetak berarti dua hal. Pertama, lini serangan sejak gelandang serang, Centre Middle Forward/CMF dan Attacking Middle Forward/AMF termasuk pemain sayap, hingga Striker mampu menjalankan tanggug jawab yang dibebankan kepada mereka oleh pelatih. Kedua, Gol juga pertanda lini pertahanan sejak CMF, gelandang bertahan, Defensive Middle Forward/DMF hingga pemain belakang performed dalam baik menopang serangan maupun membentuk barikade pertahanan, mark line.

Namun seiring berlalunya waktu, pada abad 19 karakter, style, menjadi salah satu usur penting yang juga mulai diperhatikan dalam permainan ini. Masuknya unsur ini tidak terlepas dari ditemukannya format liga untuk menentukan keunggulan dari kapasitas permainan masing-masing tim sepakbola yang mulai muncul saat itu dan membutuhkan interaksi di atas lapangan secara langsung. Style ini menjadi semakin penting ketika pertandingan juga mulai kerap diadakan diantara negara-negara bangsa, nation states, yang juga muncul di kurun abad yang sama.

Bersama semangat bernegara bangsa, nasionalisme, yang mulai tumbuh berkobar-kobar di dada setiap warga negara-negara itu, pada fase inilah sepakbola juga bertransformasi menjadi sumber kebangggan nasional, national pride, bahkan kepentingan nasional, national interest, bagi negara-negara raksasa seperti Inggris, Italia, Jerman, dll – karena diluar lapangan hijau pada saat yang sama serdadu-serdadu negara-negara itu saling bertukar peluru, mortir dan granat dalam peperangan (perang dunia I dan II).

Catenaccio

Sebagaimana orang Italia suka bergaya, sepakbola Italia juga memiliki gayanya sendiri. Gaya/karakter Italia itu disebut Catenaccio. Timnas Italia berutang pada Karl Rappan yang menemukannya pada 1930-an lalu dan Helenio Herera yang mempopulerkannya ketika melatih Inter Milan dan A.S Roma di era 60-an. Dictionary.com mendefenisikannya sebagai “an extremely defensive style of play”.

Persis defenisi tersebut, permainan sepakbola yang dimainkan dengan cara ini harus bisa membentuk lini pertahanan yang ekstrem dalam pengertian konsentrasi pemain selama permainan berlangsung harus diberikan ekstra pada area belakang dengan menjaga ketat kedalaman dan membuat penjagaan satu lawan satu terhadap lawan, staying deep in their own half and employs very tight man-marking defensse line.

 Dalam membuat very tight man-marking defensse line ini pemain setiap lini wajib me-“rantai” dalam satu kesatuan teroganisir seperti yang menjadi arti dari asal kata latin catennachio, catein/rantai. Kalau berhasil “merantai” dengan sendirinya para pemain dilapangan akan merasakan adanya double marking.

Pertama-tama garis pertahanan-penjagaan yang dibangun sudah sejak lapangan tengah yang bisa serupa “tembok tebal” dan dibelakangnya masih terdapat 4 pemain belakang, defensive back, yang juga telah membangun tembok tebalnya sendiri dengan satu pemainnya berdiri bebas karena mempunyai peran khusus untuk menghalau bola sisa yang masih bisa menjebol tembok dan menjaga pergerakan pemain depan lawan bilamana perlu.

Pemain ini disebut libero/sweeper. Yang menarik, libero sendiri dalam bahasa Italia berarti “pembebas” – suatu yang menunjukkan ciri revolusioner pada taktik ini ketika ditemukan pertama kali. Dengan cara permainan seperti ini maka garis pertahanan yang tercipta akan menyerupai “grendel/lubang kunci pintu”. Itulah alasan mengapa catennacchio secara literal berarti “permainan sepakbola grendel pintu, door bolt football.

Gol yang didapatkan melalui skema ini biasanya dirancang dari counter attack memanfaatkan kondisi lawan yang frustrasi karena semua aliran bola dan serangannya terhalang “tembok tebal”. Dari masa ke masa sebelum Conte, semua gelar juara yang didapatkan Italia bertumpu pada strategi semacam ini dan modifikasinya.

Conte juga sesungguhnya tidak lari jauh dari semua pakem ini. Sejak dipercayakan menjadi attacente Gli Azzuri, dia hanya merombak posisi “depan-belakang” pakem dengan tidak lagi menonjolkan peran legendaris libero-sang-pembebas dan wilayah grendel catennachio diperluas hingga area paling depan, sehingga membentuk triple mark, tiga tembok penjagaan.

Disini lini serang, selain tetap menjalankan tugasnya dalam penyerangan, juga sekaligus sekaligus menjadi tembok pertama. Meski tak sekokoh tembok dibelakangnya karena harus menjalankan peran ganda, transformasi lini serang menghasilkan “tembok baru” lagi. Itulah tembok baru buah karya Conte. Tembok ketiga yang baru ini melengkapi dua “tembok tebal” dibelakang yang sudah dibuat para pendahulunya diatas.

Conte mungkin saja memutuskan memakai cara itu karena adanya Buffon dibawah mistar gawang. Dengan pengalaman dan kemampuan Buffon yang sudah menjadi historik dalam soal menjaga gawang tetap”perawan”, termasuk dalam soal pinalti, maka peran libero-sang-pembebas dengan sendirinya tidak diperlukan lagi. Menurut penulis, Buffon itu sendiri adalah tembok lainnya disini,  tembok ke empat dalam contennacchio, tembok Guinligi Buffon.

Itulah Catenaccio  cara bermain bertahan-programatik-pragmatik Italia dengan 4 tembok di bawah kepelatihan Antonio Conte yang masih juga dipilarinya dari luar lapangan dengan mengobarkan teriakan semangat kolektif ke pemain-pemain pilihannya tiada henti-henti sepanjang permainan. Dengan semua kombinasi itu tidaklah mengherankan bila semangat kolektif pemainnya menjadi berlipat tinggi; setinggi lompatan Conte sendiri ke tiang bench pemain cadangan ketika taktiknya berhasil merobohkan Matador Spanyol di pertandingan sebelumnya.

Dari “Move on”, “Kopi Espresso” hingga “Ein Traum Wurde Wahr” Jerman

Semua yang dikatakan diatas terlihat jelas ketika Italia harus berhadapan dengan Jerman. Meski selalu berupaya menemukan celah yang berujung pada goal Mezut Ozzil di gawang Italia, namun  aliran bola Jerman selalu terhalang tembok tebal Catenaccio.

Persis disini Conte terlihat seakan ingin memaksakan hasil akhir melalui adu pinalti ketika timnya berhasil memaksa skor imbang 1:1 di babak normal. Mungkin saja ada semacam pikiran dalam benaknya bahwa adu pinalti akan dimenangkan Italia karena adanya “faktor Buffon’, ketimbang yang bisa dilakukan kiper lawan yang masih “kemarin sore”.

Namun, conte lupa bahwa tim yang dihadapinya adalah nationalmanschaft Jerman yang telah mengalami revolusi mental juga taktik sejak era regim Klinsman sebagai Bundestrainer, pelatih; lebih-lebih dibawah suksesornya Joakim Loew, yang dikenal lebih cakap dalam taktik ketimbang kolega pendahulunya diatas.

Pada era sebelum Klinsman, tim ini memang dikenal karena antagonisme kepada “permainan cantik” lawan di lapangan hijau dengan permainannya keras dan lambat panas bak mesin buldozer sehingga melahirkan julukan khas der Panzer. Karena itu banyak lawan-lawan pada masanya yang dibuat frustrasi dengan cara bermain jerman ini sehingga bekas pemain seperti Lineker sampai “tega’ membuat peryataan sinikal yang dikutip pada awal tulisan ini.

Namun sebagaimana komentar Loew sebelum pertandingan terakhir Italia vs Jerman, baginya Jerman bukan seperti yang dulu lagi, tim ini sudah “move on”. Semua itu hanya citra masa lalu Jerman yang telah sangat jauh berbeda di bawah regim kepelatihannya karena lebih mengedepankan permainan yang selalu terbuka dan mengalir.

Karena itu bila menjadikan itu sebagai dasar bahwa Jerman akan kalah vs Italia pada pertandingan itu, adalah kekeliruan besar. Itu baginya seperti “kopi dingin” yang tidak lagi hangat dan akan membuat sakit perut bila paksa tetap diminum. Loew lebih suka “kopi panas” dan itu baginya adalah “Espresso”. Espresso itu berarti bicara Timnas Jerman baru racikannya yang bisa menjadi juara Dunia karena memainkan sepakbola Indah dan menyerang.

Adu Pinalti itu sendiri pada kenyataannya  berlangsung alot bak drama karena memaksa 9 pemain masing-masing tim harus mencetak gol bila ingin menang. Dan bersama berakhirnya adu pinalti itu, kita akhirnya tahu bahwa kopi Espresso paling panas saat ini bagi Low pasca pertandingan itu adalah semua racikan kepelatihan yang telah dibuatnya bagi Timnas Jerman masih tokcer, meski dalam menghadapi Contenacchio Italia, kopi espresso itu didapatkan melalui adu pinalti sebagai mesin pembuatnya.

Jerman memang hanya memenangi salah satu pertandingannya di babak empat besar dan belum memenangi Euro Perancis 2016. Nasibnya bisa saja mengikuti Italia kalau gagal di semifinal. Namun, seperti dikatakan founding father sepakbolanya, Frans Beckenbaur, bagi setiap orang Jerman mengalahkan Italia adalah “ein traum wurde wahr”, “sebuah mimpi yang menjadi kenyataan”.

Beckenbaur mengatakan ini sama sekali bukan karena merasa senang semata-mata apalagi jumawa akibat kemenangan negaranya dalam pertandingan itu, tetapi diatas segalanya karena faktor penghormatan besar orang Jerman terhadap karakter sejati yang terdapat sang lawan, Italia, yang tak hilang-lekang bersama kekalahan dalam pertandingan itu. Bisakah ini juga jadi cermin bagi kita untuk mulai membangun tradisi yang sama di bidang apa saja ke depan? Semoga ini bukan mimpi penulis seorang di siang hari bolong semata. Suatu saat, entah kapan, pasti bisa menjadi kenyataan. ***

Penulis merupakan penyuka pertandingan Sepak Bola dan Play Station, dan pernah melatih tim mahasiswa yang berdomisili di seputaran Janti Yokyakarta untuk Turnamen yang diadakan baik Alumni Seminari Kisol (Ekspio) Yogyakarta maupun Ikatan Mahasiswa Manggarai Yogyakarta (IKAMMAYA). Ditulis setelah kemenangan Jerman atas Italia di babak delapan besar EURO 2016 Perancis sembari bermain Play Station di Pagal-Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai