Final Perancis VS “Perancis” hingga “Manggarai Raya Celaka 12, Celaka 13?”

floressmart.com—Sebelum pertandingan final Euro 2016 berlangsung, kebanyakan pengamat sudah bersetuju bahwa laga itu akan menjadi “milik” Perancis. Eksposure headline media olahraga terkemuka dunia semakin melipatgandakan mutu keobjektifan perkiraan mereka karena para pengamat adalah rata-rata mantan pemain “besar” turnamen ini.

Semua gerak itu seakan makin sempurna dengan taruhan-taruhan lebih besar atas Perancis ketimbang Portugal, yang dipasang para petaruh bandar-bandar judi ternama di Eropa. Seperti segendang sepenarian, dari kasak-kusuk yang beredar terbatas, mayoritas penyuka sbobet di Ruteng dikabarkan juga mengambil keputusan serupa – entah karena pengaruh prediksi pengamat atau berdasarkan preferensi sendiri.

               Tony Hancu

Sayang, semua perkiraan itu kemudian ternyata lebih menjadi “perhitungan diatas kertas” yang kehilangan sigifikansi di akhir laga final yang diselenggarakan di katedral sepakbola Perancis, Stade de France, Sint Denis. Perancis itu pada 11/6. Sebagaimana yang kita saksikan – kalau sempat menonton siaran pertandingannya, Perancis oleng dan karenanya kalah dalam pertandingan itu. Less Blues ternyata hanyalah sebuah tim raksasa dengan kaki-kaki dari tanah liat dihadapan lawannya Portugal.

Seperti tanah liat yang mudah koyak, kaki-kaki 11 pemainnya di lapangan tak mampu menopang gambaran dirinya yang “raksasa” itu, sepanjang laga berlangsung. Dari berjuluk “tim ayam jantan” tim ini berubah menjadi tim “ayam sayur”. Bagaimana menjelaskan ini? Apa lesson learn yang bisa kita ambil di Manggarai Raya?

Memanfaatkan situasi “kondusif” yang baru muncul kembali setelah hampir dua minggu berlalu akibat emosi pendukung Perancis yang meluap tak tertahan-tahan karena masih tidak percaya dengan kekalahan timnya, tulisan ini mencoba menjelaskan penyebab kekalahan Perancis tersebut memakai kacamata Nicholo Machiavelli dari kazanah dunia filsafat sosial politik, dengan konsep-konsep St. Agustinus, Thomas Kuhn dan “filsuf” sepakbola Nick Hornby sebagai pelengkap penderita.

Alasan paling mendasar mengenai ini sebetulnya adalah karena jalan pikiran penulis dibesarkan dalam ilmu sosial-politik bukan olahraga atau sepakbola khususnya, dan terlepas dari kekurangannya penulis menemukan bahwa tiga konsep Manchiavellian diatas adequate dan bisalah ditawarkan sebagai optical devices, alat penjelas untuk menganalisis kekalahan Perancis tersebut. Suatu yang dengan kuat menghubungkan Machiavelli dengan kekalahan Perancis itu adalah karena realisme yang dibela mati-matian olehnya dalam politik.

Dalam hubungannya dengan itu perlu juga dikemukan mengenai ide dasar tulisan yang berutang kehadirannya kepada “kebiasaan ganjil” dua sahabat “eks” seminari kisol penulis yang dengan sangat sengaja diangkat ke permukaan oleh seorang kawan lain lagi dalam reuni alumni angkatan 1996, SANPIO’96, beberapa saat lalu yang persis berlangsung dalam atmosfir final Euro 2016 diatas. Syahdan, dalam urusan sepak bola kedua sahabat itu dikenal sebagai fans Real Madrid sejati (madridstas) diantara kawan seangkatan.

Sebegitu cinta keduanya kepada klub ibukota Spanyol itu sehingga bila harus “berduel” dalam pertandingan Play Station (PS) tak ada yang rela melepas kecintaannya terhadap klub tersebut. Jadi Real Madrid vs “Real Madrid” sehingga sebagai penonton kita akan menyaksikan duel antara Ronaldo dkk disatu sisi lapangan memakai kostum putih melawan  “kloning” atau “kembaran” Ronaldo dkk disisi lapangan lainnya yang memakai kostum hitam – penentuan kostum ini juga kerap problematik karena “bantang” antara keduanya sebelum pertandingan. Maka kalau salah satunya mencetak gol maka di papan skor akan terlihat “Real Madrid 1:0 Real Madrid”, Real Madrid menang atas “Real Madrid”, suatu yang jelas ganjil dalam dunia nyata tapi tidak dalam dunia virtual seperti PS. Namun keganjilan belum berhenti disitu karena di luar Real Madrid, untuk level tim nasional, keduanya merupakan fans Perancis sehingga keganjilan Real Madrid vs “Real Madrid” di dunia PS pasti terulang kembali.

Yang sebetulnya terjadi adalah setiap “keganjianl” diterima sebagai suatu yang normal dalam “paguyuban” SANPIO’96 ini, tetapi secara kreatif ditransformasi sebagai “penambah-keakraban” sehingga semakin seorang diledek atau meledek semakin akrab. Semua itu tidak jauh berbeda dengan “kenyataan” ganjil yang dihadapi Perancis pada laga final Euro itu, yang begitu diametrik dengan optimisme, baik pemainnya, pelatih, offisial maupun suporternya seperti pengamat dan penyuka sbobet diatas, sebelum pertandingan berlangsung. Keganjilan memang bisa mendatangkan ledekan bagi pelakunya tetapi pada waktu tertentu bisa juga membawa buahnya sendiri, sekurang-kurangnya artikel ini.

Macchiaviallianisme; sebuah Raision D’Etre

Setiap cabang olahraga mempunyai teori-teorinya sendiri. Demikian juga halnya sepakbola –  suatu yang pernah penulis coba gunakan dikesempatan lain untuk keperluan yang lain lagi (lihat http://www.floressmart.com/detailpost/catenaccio-italia-vs-ein-traum-wurde-wahr-jerman-dari-gaya-move-on-hingga-kopi-espresso) dan secuil mengenai strategi “parkir bus 9:1” dibawah nanti. Namun penulis tidak akan memakai semua itu untuk keperluan utama tulisan ini. Penulis lebih memilih menggunakan tritunggal konsep “tua-tahan-banting” Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam ilmu politik:  virtu, fortuna dan neccesita yang diperkenalkannya dalam magnum opusnya, Il Principe.

Konsep ini penulis anggap “tua” namun “tahan-banting” karena seperti yang  diriwayatkan kembali oleh Bondanela and Musa dalam The Portable Machiavelli (Co Ed and Trans;1983), sebelum Machiavellianisme mempengaruhi praktek politik umumnya dan ilmu politik, satu-satunya dasar analisis yang diterima sebagai pantas dalam bidang ini adalah teologi. Machiavelli berupaya melepaskan diri dari studi-studi teologia itu dengan menulis sebuah naskah buku yang diberinya judul de principatibus, ikwal kerajaan-kerajaan. Kelak saat naskah ini bisa terbit diberinya judul baru lagi yang begitu terkenal di kalangan politikolog hingga saat ini: Il Principe, the Prince, sang Pangeran.

Untuk mengehamat napas, inti politik bagi Machiavelli adalah kekuasaan sehingga dalam bukunya tersebut ia memberi saran-saran kepada penguasa atau calon penguasa bagaimana cara mendapatkan kekuasaan itu dan bagaimana kekuasaan itu kelak dipertahankan kalau sudah berhasil berkuasa. Persis disini virtu, fortuna dan neccesita memainkan perannya.

Virtu adalah unsur kekuasaan yang selalu bergantung pada akal budi (rationality) manusia karena menyangkut pengetahuan, perencanaan, strategi, siasat, dll yang dimilikinya tentang cara-cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan itu dan bagaimana cara pengorganisasiannya secara terpadu-utuh. Setiap penguasa atau calon penguasa perlu memiliki unsur diatas pada dirinya sehingga tidak hanya bergantung pada fortuna, unsur satunya lagi dan yang irasional tetapi menurut Machiavelli kadang-kadang juga mempunyai pengaruh yang tidak bisa dianggap enteng terhadap dan berlawanan dengan unsur rasional diatas.

Fortuna ini adalah pekerjaan Tuhan yang menentukan garis-tangan-suratan-takdir seseorang manusia untuk bisa atau tidak menjadi penguasa atas yang lainnya. Jadi fortuna itu semacam gratis data, suatu pemberian rahmat kurnia dari langit yang tidak bisa dikontrol manusia, liar tak terbendung dan sewenang-wenang karena sebegitu rupa fortuna itu sehingga ketika ia sudah menghinggapi sesorang tidak seorang pun mampu merubahnya; usaha apapun tidak akan mampu merubah suatu yang sudah menjadi suratan takdir – suatu yang tentu tidak asing bagi masyarakat di wilayah Manggarai Raya yang juga memiliki wahananya sendiri seperti melalui “toto kopi” – bukan “toto jitu”!, atau melalui “urat manuk”, untuk mengetahui soal-soal semacam ini.

Dalam keseweng-wenangan fortuna yang tak terkontrol itu ada pola yang bisa ditangkap dan dipelajari dan itulah adalah necessita, unsur ketiga yang berkaitan dengan keharusan/kemestian sejarah, suatu yang merupakan konskwensi atas virtu dan fortuna diatas. Disini seorang penguasa atau calon penguasa itu harus memahami der inneren Zusammenhang der Geschichte, saling hubungan-dalaman daripada sejarah karena sejarah berlangsung dengan pola tertentu yang bisa dipelajari. Hanya calon penguasa dan penuasa yang bisa memahaminya yang bisa merumuskan tujuannya dalam sejarah itu untuk kemudian memakai hukum atau senjata untuk mendapatkan/mempertahankan kekuasaan.

Distingsi hukum atau senjata ini penting karena dalam realisme politik jalan hukum kerap dilihat sebagai jalan yang beradab, civilized, suatu yang pas dengan citra diri manusia; sedangkan jalan senjata adalah jalan binatang, suatu jalan yang hanya diambil oleh jenis makhluk yang dalam bahasa seorang penyair kira-kira, curvae in terram animae et coelestium inanaes, jiwa yang terdunduk-tunduk lesu ke tanah dan hampa dari segala yang bersifat luhur. Namun, menurut Machiavelli kadang jalan beradab itu bisa terhalang tembok tebal dan dalam kondisi semacam ini seorang penguasa atau calon penguasa harus tanpa keraguan sedikit jua pun mengambil jalan senjata – suatu yang membuat Machiavelli terkenal hingga kini dikalangan politikolog karena pandangan realis seperti ini dan dan dibenci tujuh turunan kaum moralis yang menjulukinya “the old Nicky” paman Nicky, paman semua penjahat. Ini dengan sendirinya mengharuskan penguasa atau calon penguasa untuk tahu kapan saat yang tepat memakai dua jalan ini sesuai kebutuhannya.

Singkatnya, menurut Machiavelli ketiga unsur ini, virtu, fortuna dan neccesita, adalah unsur konstitutif kekuasaan yang langgeng. Neccesita yang didukung penuh oleh fortuna dengan sendirinya melempangkan jalan seorang calon penguasa ke arah kekuasaan itu. Fortuna tanpa virtu pada diri seorang penguasa membuat kekuasaan itu kerap mengalami turbulensi karena keretakan-keretakan yang muncul meski samar-samar terlihat dari luar; demikian juga virtu tanpa fortuna, akan membuat seorang penguasa “hidup di menara gading” karena terlalu pintar dan saking pintarnya hingga secara politik kehilangan “telinga” untuk mendengar masukan yang lain. Hanya bila terdapat virtu, fortuna dan neccesita itu pada calon penguasa atau penguasa itu obesesi terhadap kekuasaan itu bisa terwujud dan stabil kelak bila sudah berkuasa. Tanpa ketiganya kekuasaan itu hanya akan menjadi sebuah obesesi semata-mata bahkan sebuah ilusi.

Bagi yang telah mengetahui Machivelli sebelumnya mungkin segera muncul pertanyaan atau bahkan protes seperti: Apakah ada hubungan antara Politik dan sepakbola? kok memakai ilmu politik untuk menjelaskan soal sepak bola? Apa tidak bermasalah dari segi keilmuan? Bagaimana Maciavellianisme bisa beroperasi dalam sepak bola umumnya? Dan lebih-lebih lagi, bagaimana hubungannya di lapangan pertandingan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lebih cepat maka contoh terkadang perlu diberikan sejak awal karena dalam beberapa kasus ternyata bisa lebih cepat menghadirkan pemahaman ketimbang penjelasan, explanation.

Dalam hubungan itu, kalau diperiksa dengan teliti, semua aspek kekuasaan itu sebetulnya bukan suatu yang asing dalam dunia sepakbola. Dalam konteks kita di Indonesia, soal virtu, fortuna dan neccesita ini, misalnya, sempat mengemuka pada konflik dalam tubuh PSSI beberapa saat lalu.

Kita juga masih mengingat baik bagaimana pada masa keemasan liga Indonesia. incumbent-incumbent Gubernur, Bupati atau Walikota di beberapa Propinsi/Kabupaten/Kotamdya di Nusantara bisa dipilih kembali mayoritas warganya hanya karena berhasil menghadirkan kebanggan dan kesenangan,enjoyment kolektif yang melanda hampir semua warga berkat keikutsertaan tim kebangganPropinsi/Kabupaten/Kotamdya tersebut dalam kompetisi itu – apalagi bila mampu memenangkan kompetisi. Semua contoh tersebut hanya menunjukkan adanya hubungan yang sangat dekat antara politik dan sepak bola, walaupun harus tetap diingat bahwa sepak bola dan Politik tetaplah dua dunia atau bidang yang sama sekali berbeda.

Ini juga tidak bermasalah dari segi ilmu karena dengan karakter lintas batas, borderless character, yang dimilikinya sehingga bisa menjangkau hingga desa-desa di seluruh jagat bumi dan universalitas estetika yang dimiliki dalam “darah”-nya, sepakbola itu sendiri pada dirinya merupakan sebuah bidang ilmu dikostitusi oleh banyak disiplin ilmu, termasuk ilmu politik (Nick Hornby, Fever Pitch:1992).

Namun, karena tiga konsep Machivelli itu dipaksa menjalani translokasi, atau lebih tepatnya mengalami transmigrasi dari suatu dunia yang pada hakekatnya Politik, berpindah menuju ruang/lokasi/dunia baru, sepakbola, dengan sampai derajat tertentu tetap menjaga hubungan genetik-nya dengan bidang aslinya, maka dengan sendirinya sebuah modifikasi menjadi sine qua non.

Modifikasi harus dikerjakan agar bisa beradaptasi di ruang/lokasi/dunia baru itu dengan soal baru yang lain lagi sama sekali yang dibahasnya. Dengan beradaptasi berarti konsep-konsep ini dituntut untuk meninggalkan sebagian citra masa lalunya yang politik diatas; atau dalam bahasa kaum muda hari ini harus bisa “move on”, untuk bisa menjelaskan soal, dalam hal ini sepak bola dan kekalahan Perancis dalam partai final vs Portugal di Euro 2016 itu.

Bila dilakukan dalam semua cara itu maka dengan sendirinya pada bagian tertentu dalam sepak bola dan politik itu kita akan menemukan kesamaan tertentu dalam hal seperti virtu yang tidak saja menyangkut pengetahuan, perencanaan, strategi, siasat, tapi juga soal keutamaan/kualitas. Sepakbola modern itu adalah politik sesungguh-sesungguhnya ketika FIFA sebagai panglimanya mengacungkan kapak perang pada rasisme (Say No To Racism), mengedepakan Fair Play, dll.

Ini tidak jauh berbeda dengan berlakunya prinsip fair play sebagai keutamaan dalam setiap jenis pemilihan public officials bangsa ini atau prinsip governmentality politik demokratik modern kita yang sangat liberal minded juga mengacungkan kapak perang terhadap sentimen-sentimen seperti SARA, Suku, ras, dan agama. Kendati hasil akhir yang diharapkan dalam politik sama persis dengan sepakbola, yakni kemenagan atas lawan, semua pengetahuan, perencanaan, strategi, siasat itu tetap harus dikerjakan dan dijalankan dalam kerangka governmentalits fair play dan Say No To Racism.

Demikian juga halnya fortuna yang kadang-kadang menjadi pemain ke 13 di luar penonton karena mengambil alih peran penentu hasil pertandingan diluar faktor teknis virtu diatas yang sejatinya menjadi domain pelatih, pemain dan dukungan semangat penonton. Di lapangan khususnya kehadiran fortuna ini ditandai oleh ada atau tidaknya gol yang bisa dicetak dan menentukan hasil akhir pertandingan.

Yang menarik tentang ini, ada kesebangunan pandangan maskulin antara Machiavelli yang menyamakan fortuna ini layaknya cinta seorang pria terhadap wanita – karena siapapun calon penguasa atau penguasa ingin terus berada disamping sang wanita dan bisa terus dipeluk dan dibuainya – dengan pandangan Filsuf Sepakbola Nick Hornby yang penulis kutip diatas, yang juga melihat sepakbola itu sendiri seperti itu.

Namun bila Machiavelli agak sarkas karena siapapun yang ingin memperolehnya dalam konteks politik/kekuasaan, “harus memperkosa dan memukulnya” lantaran “sebagaimana seorang wanita lebih membuka dirinya kepada seorang lelaki perjaka tulen yang kurang berpikir panjang namun keras dan lebih berani menaklukannya, maka Hornby dalam karya legendarisnya tentang sepakbola Fever Pitch (1992) justru melihatnya dalam kelembutan romantisme seorang pria yang sedang benar-benar dimabuk kepayang akibat jatuh cinta terhadap seorang wanita: “ia muncul tiba-tiba pada seorang pria, dan sekali ia muncul maka sulit dijelaskannya, menjadi tidak kritis dan ia sama sekali tak mau berpikir tentang sakitnya”.

Pandangan kedua filsuf tersebut dikutip lagi disini untuk menunjukkan perbedaan dalam kesamaannya, suatu yang pengaruhnya di lapangan hijau bisa kita ketahui ketika menilai apakah sebuah tim bermain “cantik” sehingga enak ditonton atau sebaliknya “kasar” sehingga hujatan perlu diberikan daripada mematikan TV.

Semuanya tidak berbeda dalam hal neccesita sepak bola modern yang layaknya seorang pria yang dimabuk asmara terhadap seorang wanita, begitu mencintai statistik hingga tak menyisahkan sepotong organ pun tubuh statistik seperti grafik dan table, dll dari sentuhan lembutnya. Sentuh menyentuh antara setiap gerakan dalam sepak bola modern dengan tubuh statistik itu demikian sering saat ini.

Pada masa inilah ahli statistik yang tidak pernah bepengaruh sebelumnya dalam bidang sepakbola, mengamati setiap gerakan pemain dilapangan untuk ditabulasi dan dihadirkan dalam grafik dan table-table statistiknya. Historiografi a la regim statistik tersebut membuka setiap aspek pertandingan yang telah dicatat dengan sangat setia kepada siapapun peminatnya, yang sebagiannya mungkin saja hendak memasang taruhan pada saluran-saluran resmi yang tersedia berdasarkan itu. Untuk menutup bagian ini, hanya tim yang menerima dan memiliki semua unsur tersebut, virtu, fortuna, necessita dipihaknya, yang bisa menguasai suatu masa tertentu turnamen sepak bola.

Selain Machiavelli, Casus belli kegagalan yang dialami Perancis itu dengan segera membawa ingatan penulis pada analisis tua lainnya tentang kekuasaan yang pernah dikerjakan St. Agustinus (354-430) dalam salah satu mahakarya de  Civitate Dei, ketika ia berupaya menjelaskan keruntuhan imperium Romanum. Disini Agustinus melakukan suatu psiko-analisis terhadap gejala kekuasaan itu dengan memakai sejarah kekaisaran Romawi sebagai objek pemerikasaannya.

Kalau seseorang atau bahkan negara jatuh saat tubuhnya lemah, maka dalam hal kekaisaran Romawi yang terjadi justru sebaliknya menurut Agustinus; kekaisaran itu runtuh berkepang-keping disaat-saat ia sedang kuat-kuatnya. Kekuatan hanya satu unsur kekuasaan, kekuatan bisa hilang dan kekuasaan yang terlalu mengandalkan kekuatannya akan jatuh dengan sendirinya ketika kekuatan itu oleng, sui pondere ruit.

EURO 2016 Perancis; Sebuah “Terminal Parkir Bus” dan Ajang Counter Hegemony

Sambil meratapi kegagalan tim-kesayangan-warisan-orang tua, Belanda, lolos dari babak penysisihan dan play off, ketika melihat daftar nama-nama negara debutan seperti Wales Islandia, dll yang akan berlaga di Perancis Euro 2016, sebagai sarjana politik, penulis langsung menduga bahwa turnamen ini akan menjadi “terminal parkir bus” dan counter hegemony.

Di kalangan penstudi sosial politik umumnya, konsep counter hegemony dikenal sebagai konsep kunci untuk menjelaskan upaya perlawanan dengan seluruh taktik, siasat, pengetahuan, dll yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa teropresi oleh hegemoni penakluknya yang hegemonik. Ciri-ciri kekuatan hegemonik biasanya adalah keberlimpahan kekuasaan, preponderance of power sedangkan ciri-ciri counter hegemonik justru pada kesederhanaan perlawanannya akan tetapi dalam kesedehanaannya mampu “merepotkan” kekuatan yang berkelimpahan kekuasaan itu.

Fenomena ini tidak asing dalam sepak bola bila mengingat prestasi Leicester City misalnya di liga Inggris yang justru berhasil menjungkalkan hegemoni tim langgagan lima besar seperti Mcity, Arsenal, Chelsea, MU, Liverpool dimusim lalu. Kita juga kerapkali menyaksikan di liga Spanyol saat tim-tim “semenjana” yang budget klubnya cekak dan selalu minta diskon dalam pembelian pemainnya ada yang ternyata bisa menumbangkan Real Madrid yang karena memiliki uang yang tidak berseri/demikian bayaknya sehingga membuat akuntan capai menghitung, bisa sesuka hati Presidennya membeli pemain-pemain berharga mahal tanpa diskon seperti CR7 dan Garreth Bale atau Zidane, Ronaldo, Figo dan Beckham di era sebelumnya.

Menurut penulis, kalau ingin memperpanjang napas di EURO 2016 Perancis maka tidak ada strategi lain yang harus diterapkan negara-negara debutan diatas selain “parkir bus” ketika menghadapi timnas negara-negara “raksasa” sepak bola seperti Spanyol, Italia, Jerman, Inggris, dan Perancis sendiri. Hanya dengan cara itu mereka bisa melakukan counter hegemony, yang untuk keperluan spesifik tulisan ini kita artikan saja sedapatnya mampu melawan atau sekurang-kurangnya meminimalisir jumlah gol lawan-lawan-hegemon-raksasanya.

Dugaan ini semakin diperkuat dengan thesis menarik yang diajukan seorang teman penulis lainnya lagi yang juga eks seminari, penyuka PS dan pengamat politik semua tingkatan. Menganalisa seluruh pertandingan yang suda terjadwal rapih pelaksanaanya, menurutnya, alih-alih kompetisi domestik yang dijalankan negara-negara “raksasa” itu – Inggris/ Priemeire League, Spanyol/BVG, Jerman/Bundesliga, Italia/Seria A dan Perancis/League One – akan menjamin keberhasilannya karena menyediakan sumber daya terlatih yang melimpah dan terutama profesional bagi tim nasionalnya,  negara-negara tersebut malah akan tumbang dalam Euro kali ini.

Kompetetisi domestik itu maupun keikutsertaan sebagian dari mereka dalam kompetisi antar klub tingkat Eropa seperti Liga Champion dan UEFA Championship justru sudah menguras tenaga pemain-pemain timnas yang direkrut. Dengan kata lain, perputaran kompetisi yang gilang gemilang di negara-negara tersebut dan keberadaan nama-nama besar dari klub-klub yang mendukung tim-tim negara tersebut tidak menjamin keberhasilan mereka menembus babak 8 besar Euro.

Taktik “Parkir bus” bisa dibilang sebuah antidote terhadap kemajuan progresif sepakbola-Positif-menyerang a la Tiki-taka Spanyol yang menghegemoni sepak bola Eropa bahkan dunia dalam satu dekade terakhir dan strategi agresif negara-negara “raksasa” sepak bola seperti Italia, Jerman, Inggris, dan Perancis dengan langgamnya masing-masing. Strategi ini begitu simpel. Sebagaimana bus yang diparkir di terminal, pelatih menginstruksikan sembilan pemainnya selalu berada di kotak enam belas sendiri dengan hanya satu pemain depan. Jadi, formasinya adalah 9:1, sembilan pemain ditumpuk-tumpuk sebegitu rupa di depan kiper dengan satu pemain depan yang selalu siap siaga melakukan serangan balik, counter attack, bilamamana memungkinkan.

Sebagaimana antidote menurut the Sage English Dictionary and Thesaurus (Sequence Publishing Software for Language Education and Research) adalah “a remedy that stop or controls effects of poison”, “sebuah obat yang menghentikan atau mengontrol efek-efek racun”, strategi ini mendadak terkenal pasca keberhasilan spanyol memenangi Piala Eropa 2008 dan lebih-lebih lagi Piala Dunia 2010. Sejak itu, strategi  parkir bus terlihat kerap dipakai pelatih negara-negara “kecil” yang sepak bolanya belum begitu maju pada banyak seginya ketika menghadapi baik Timnas Spanyol maupun timnas negara-negara “raksasa” sepak bola lainnya.

Untuk kembali pada thesis yang diajukan kawan diatas maka dengan tumbangnya tim three lions Inggris yang dimuati oleh campuran pemain klub-klub Priemiere League seperti Wayne Roney, dll, dan impresi yang ditunjukkan negara-negara pendatang baru, new comer, seperti Islandia dan Wales atau Irlandia dan Irlandia Utara di babak penyisihan Grup ketika Euro Perancis sudah dimulai, thesis ini seolah menemukan kebenarannya. Namun thesis ini “prematur” karena mengabaikan fakta bahwa negara-negara raksasa itu tetap berhasil mengatasi pertahanan counter hegemony formasi 9:1 parkis bus tersebut diajang ini sebagaimana ditunjukkan dengan tampilnya Italia, Perancis, Jerman pada babak delapan besar meski pada akhirnya mereka harus saling berhadapan untuk saling mengalahkan satu sama lain.

Ini haya untuk mengatakan bahwa sebagaimana sebuah obat yang bisa mujarab-mustajab atau tidak sama sekali dalam menyembuhkan sebuah penyakit, kemujaraban sepak bola super defensif a la strategi “parkir bus 9:1” dalam perkembangannya bukan tanpa cacat juga. Kemanjurannya kerap dipertanyakan karena dalam operasinya dilapangan memang terkadang masih bisa diatasi tim-tim raksasa. Karena itu yang bisa dikatakan sejauh ini hanyalah sebagai penawar racun, strategi ini rupanya hanya bisa seperti obat retroviral bagi penyakit HIV-Aids yang sebegitu rupa hanya bisa mengontrol efek penyebaran virus penyakit mematikan tersebut tetapi tidak bisa menyembuhkan sama sekali.

Namun, dengan kita mengamati kiprah dan perjalanan masing-masing tim yang kerap memakai strategi ini menuju putaran final di Perancis itu, ditengah ketiadaan strategi antidote lainnya bagi negara-negara “kecil” maka parkir bus inilah satu-satunya strategi yang tersedia dan siap pakai yang sekurang-kurangnya bisa menangkal racun mematikan sepak bola agresif negara-negara-hegemon-raksasa.

Perancis dan Portugal dalam Perbandingan; Rekonstruksi Sepak Bola Euro 2016 Perancis a la Machiavellian

Untuk kembali pada pembahasan paling awal, semua yang dijelaskan terakhir perlu diberikan untuk menunjukkan karakteristik “medan laga” yang yang akan dimasuki kedua tim finalis sebelum akhirnya bertemu pada partai puncak itu. Dalam hubungannya dengan itu maka bila dasar-dasar penilaian para pengamat sebelum laga final itu diperiksa kembali dari sudut netral memakai kacamata Machiavelli diatas, sesungguhnya Perancis memang lebih layak didiunggulkan karena semua perkiraan pengamat sebetulnya datang dari  perbandingan cara bermain dan hasil yang didapat dalam pertandingan demi pertandingan yang sudah ditunjukkan kedua tim, sebelum keduanya berbagi sisi lapangan dalam laga pamungkas itu.

Perancis lebih diunggulkan terutama berkat kemenangannya atas Jerman di semifinal. Sebagaimana salah satu julukannya, “ayam jantan”, yang dengan kokok kerasnya membangunkan setiap orang yang lagi terlelap tidur di pagi hari demikian juga tim yang di asuh Didier Deschamp itu membuyarkan mimpi indah pagi hari Jerman untuk menembus final dan memenangkan Euro kali ini dengan permainan kolektif yang sangat terorganisir dan pertahanan yang solid di laga semifinal keduanya.

Disisi lapangan sebelah, Portugal memang memiliki Ronaldo, salah satu pemain termahal, terbaik dan segudang “ter” lainnya untuk menundukkan tim debutan Wales. Namun berbeda dengan sang Juara-Dunia-Jerman yang dinilai bisa menghadirkan perlawanan berarti dan karena itu menjadi barometer, Wales sejak awal dianggap hanya tim kelas 2, yang paling jauh capaiannya diprediksi hanya bisa menjadi underdog turnamen karena hanya bermodalkan kemampuan skill “mahal’ dan tendangan bebas Gareth Bale.

Kalau diperhatikan dengan teliti maka ciri permainan Portugal selama turnamen juga terlihat “berwajah banyak” dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya, dan celakanya semua wajah itu tidak meyakinkan untuk memenangi laga final. Menempati grup F dan diprediksi bakal menjadi juara grup, perbedaan-perbedaan pendekatan taktik permainan yang coba dilakukan pelatihnya untuk mengantisipasi perlawanan  lawan-lawan segrup nyatanya hanya menghasilkan skor imbang – 1:1 vs Islandia, 0:0 vs Austria dan 3:3 vs Hungaria. Hanya berkat keberadaan regulasi baru UEFA yang memperkenankan peringkat tiga terbaik dari seluruh grup melaju ke fase knock out, tim yang berjuluk Selecao/Samba Eropa ini masih bisa terus melaju untuk bertemu Kroasia di babak ini, itu pun hanya menang tipis 1:0.

Semuanya masih tidak meyakinkan pada fase selanjutnya karena Portugal hanya mampu bermain imbang 1:1 vs Polandia di perdelapan final sehingga pertandingan harus ditentukan lewat adul pinalti yang berkakhir 5:3 untuk kemenangannya. Dibandingkan dengan rekor-rekor personal yang ditorehkannya sebelum turnamen, “CR7” Cristiano Ronaldo tampak “mandul” dalam turnamen kali ini. Pemain terbaik dunia tahun lalu itu hanya mampu mencetak 3 gol dari semua laga tersebut meski kemudian menempatkannya sebagai top skorer turnamen ini sepanjang masa bersama legenda sang calon lawan Perancis, Michel Platini, berkat 9 gol yang mampu dicetaknya sejak 2004, 2008,dan 2012.

Kenyataan ini sangat berbeda dengan Perancis yang berhasil “lolos murni” karena mampu menjadi juara grup A dan pertandingan-pertandingannya pada babak berikutnya dengan kolektivitas pemain-pemain seperti Antoni Griesman, Paul Pogba dan sokongan pemain second layer seperti Dimitri Payet, dll – 2:1 vs Rumania, 2:0 vs Albania, 0:0 vs Swiss, 2:1 vs Irlandia, 5:2 vs Islandia dan 2:1 vs Jerman. Griesman adalah idola baru warga Perancis yang digadang-gadang menggantikan peran spesifik Zidane dan Platini, kendati posisi dan cara bermainnya tidak seelegan dua seniornya tersebut. Sokongan yang diberikan Pogba dan Payet dari lini tengah dan adanya pemain senior yang memberi “rasa aman dan tentram” seperti Patrick Evra di sektor belakang mengingatkan kita pada keseimbangan distribusi antar lini pada masa keemasan Zidane, Thiery Henry, David Trezequet, Wiltord, Laurent Blanc dan si kiper plontos yang “lekat” Fabian Barthes dan pelatihnya sendiri saat ini Didier Deschamph “the captaint” dkk yang berhasil menyumbangkan Piala Dunia (1998) dan Piala Eropa sendiri diawal milineum baru, 2000

Dibandingkan “CR7” diatas yang sama-sama bernomor punggung 7, berposisi asli sebagai pemain sayap kiri dan mampu menjadi pemain protagonis, pada kenyataannya Antoine Griezmann lebih produktif dalam urusan mencetak gol, 6 gol, pada pertandingan-pertandingan itu – 1 gol vs Albania, 2 gol vs Irlandia, 1 gol vs Islandia,2 gol vs Jerman, sehingga membawanya menjadi top skorer dan calon legenda baru turnamen. Bagi sebagian tifosi perancis ia disebut-sebut sebagai “new zidane”, sebagian lagi menjulukinya dengan panggilan mesra “Mr.Extra” karena meski bertubuh sangat “mungil” ini mampu mencetak semua gol itu sudah sejak kali pertama keikutsertaanya dalam turnamen ini dan diperkirakan kelak akan mampu melewati rekor Platini dan Ronaldo tersebut, kalau masih terpilih sebagai pemain timnas. Perbandingan ini penting karena tidak saja berkaitan erat dengan kreatifitas dan kolektifitas permainan kedua tim dalam menyokong kedua penyerang itu dalam mencetak gol, tetapi juga menyangkut keseluruhan virtu dan fortuna yang terdapat pada pelatih dan pemain-pemainnya dalam kacamata Machivellian..

Namun, bilamana semua itu masih dikatagorikan sebatas faktor internal karena berkaitan dengan soal-soal teknis dalam lapangan pertandingan seperti taktik dan pendekatan permainan, maka perbandingan semakin menjadi berarti karena Les Blues juga lebih dijagokan berkat faktor-faktor eksternal di luar lapangan yang menjadi modal bagi perjalanan Necessita menjuarai turnamen. Perancis adalah “tuan rumah” turnamen kali ini dan karena itu dalam hal dukungan suporter terbukti senantiasa lebih besar dari segi jumlah ketimbang lawan-lawannya dari satu pertandingan ke pertandingan lain. Dukungan penonton warga Perancis terhadap timnasnya sama pentingnya dengan dan akan mempengaruhi faktor internal diatas karena baik keberadaan maupun sokongan semangat yang mereka berikan bisa menjadi “pemain ke 12” yang membuat 2 kaki 10 pemainnya diluar kiper tak kenal lelah mengejar bola untuk mendikte permainan lawan di laga final sesuai skenario pelatihnya. Pasca keberhasilannya masuk ke final, suporter-supoter Portugal, sebagaimana laporan langsung media, memang semakin berbondong-bondong datang untuk mendukung timnya. Namun setelah dihitung, jumlahnya tetap lebih kecil dan hanya mampu mengisi ¼ kursi tribun stadion.

Keunggulan itu juga masih diperkuat oleh warisan kebanggaan yang diturunkan senior-senior Les Blues Griezmann tempo doloe karena selalu lebih superior atas Portugal pada semua laga yang mepertemukan keduanya dalam segala jenis turnamen – Euro, World Cup dan Exhibition/Friendly Match. Dari 24 kali duel, mereka memenangkan 18 pertandingan termasuk menyapu bersih 10 laga terakhir sebelum sebelum laga final kemarin. Senior Ronaldo CS hanya bisa memenangkan 5 laga dan memaksa hasil imbang 1 kali. Yang paling penting adalah rekor ini sudah menjadi historik dan akan mempengaruhi mentalitas kemenangan, winning mentality Tim ayam Jantan dan bila sejarah itu adalah “sejarah kemenangan” milik “para pemenang” maka pada Turnamen Euro khususnya, Les Blues menorehkan rekor itu justru dengan membuat pemain dan seluruh suporter selecao menangis pada 1984 dengan gol penentu legendanya Michel Platini di babak tambahan menit 119.

Lagi-lagi tragis bagi Portugal ketika keduanya harus bersua pada babak semifinal Euro di awal milenium baru, 2000. Gol awal Nuno Gomes pada menit 19 disamakan Thiery Hendry sehabis turun minum dan disempurnakan oleh gol pinalti legenda hidup Les Blues lainnya, Zinedine “Zizou”  Zidane pada menit 117. Yang menarik dua kemenangan itu pada akhir turnamen membawa Perancis merengkuh 2 dari total 3 koleksi gelar Piala Eropanya.

Masuk akal bila dengan semua prestasi itu termasuk apa yang ditorehkannya pada Piala Dunia maka Perancis dianggap sebagai “raksasa” yang akan memenangkan laga final dan turnamen ini di negaranya karena semua virtu, fortuna dan neccesita Machiavellian itu seakan sudah berada dipihaknya; sementara Portugal hanya dianggap sebagai tim kelas papan tengah. Apalagi sejak era 1960-an hingga sebelum final Euro 2016 diatas berlangsung, Portugal nyaris selalu gagal meraih gelar juara dalam keikutsertaannya baik di Piala Dunia maupun Piala Eropa meski sudah punya “Mutiara Hitam” Osebio, generasi emas Luis Figo pada era milenium, hingga Ronaldo CS. Gelar juara bagi tim ini nampaknya seperti sebuah obsesi yang tidak pernah selesai baginya dan hampir-hampir jadi ilusi seandainya Perancis dalam final itu sekali lagi memenangkan pertandingan.

Final EURO Perancis 2016; Machiavellianisme Perancis vs “Perancis” dalam Bayang-Bayang St.Agustinus dan Thomas Kuhn

Dalam hubungan dengan partai final Perancis vs Portugal diatas, meski semua rekam-jejak-keunggulan-gilang-gemilang Perancis itu normalnya pada sebuah tim harusnya menjadi faktor eksternal diluar lapangan yang bisa berdampak terhadap hasil yang dicapai dalam lapangan (constitutive outside), tetapi dalam laga tersebut semua itu harus berhadapan dengan kenyataan virtu yang terdapat pada lawannya Portugal ternyata mampu mengimbangi virtu yang mereka terapkan dalam 90 menit babak normal. Meski sepanjang laga Perancis sedapat mungkin terus berupaya memanfaatkan pergerakan demi pergerakan pemainnya agar bisa memikat dewi fortuna Machiavellian itu berada disisinya melalui penciptaan peluang untuk terjadinya goal, Griezman cs tak jua mampu menembus jala kiper Portugal selama babak normal tersebut sehingga pertandingan hanya berujung pada skor kacamata, 0:0, bagi kedua tim.

Namun, ketidakmampuannya menembus jala kiper Portugal selama babak normal tersebut tampak berubah menjadi beban ketika pertandingan memasuki babak tambahan. Dan sedemikian beratnya beban itu sehingga seperti kekaisaran Roma yang oleng ditengah masa-masa jayanya yang di lansir st.Agustinus diatas, demikian juga nampaknya yang terjadi pada Perancis ketika memasuki babak tambahan waktu yang terlihat sangat ingin memaksakan gol tetapi masih juga gagal menembus jala kiper Portugal. Dan seperti yang kita telah saksikan, ketika beban itu tidak lagi bisa mereka pikul dalam 15 menit babak kedua waktu tambahan, persis disitu seorang pemain Portugal yang ironisnya adalah pemain cadangan yang baru saja bermain beberapa saat sebelumnya mencetak 1 biji gol. Dalam waktu tersisa setelah gol semata wayang Portugal ini, pemain Perancis tampak mulai menyadari bahwa fortuna dan necessita-nya sebagai tuan rumah untuk memenangi turnamen ini justru sudah berada disisi lapangan lawan sebelahnya Portugal.

Dipihaknya, sadar bahwa inilah satu-satunya kesempatan yang diberikan dewi Fortuna itu untuk meraih kemenangan sekaligus menutup rantai obsesi karena kekalahan demi kekalahan yang dialaminya dalam turnamen ini sebelumnya, dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimiliki pemainnya di sekujur tubuhnya, Portugal mencoba “mengunci” keunggulan tersebut dari segi taktik selama waktu yang masih tersisa. Hingga peluit akhir babak itu ditiup wasit,  Portugal mampu mempertahankan keunggulan 1 gol tersebut sehingga membawanya ke podium kehormatan sebagai penerima tropi Hendri Delanuey; sebagai juara Baru Piala Eropa, Euro 2016 Perancis. Selain medapatkan semua itu, dengan itu negeri yang pernah “melancong” dengan tujuan menjajah sebagian wilayah Indonesia saat ini dan kita kenal di sekolah dasar sebagai Portugis, sekaligus membebaskan diri anggapan bahwa mendapatkan piala ini adalah suatu ilusi baginya.

Dengan kenyataan itu untuk sekali lagi kita semua seperti disadarkan bahwa sebuah prediksi pada dasarnya tetaplah sebuah proyeksi terhadap calon kenyataan dan bukan keyataan itu sendiri an sich (Kuhn, 1991). Kendati pengerjaannya berdasarkan penguasaan epistomogi dan metodologi positivistik ilmu pengetahuan yang kuat, kenyataan itu tetaplah suatu yang eksterior/exnihilo dari prediksi meski yang terakhir mencoba sedapat mungkin mengintervensi dan mendeterminasi kenyataan sesuai dengan tolak-ukur-tolak ukurnya.

Suatu yang selalu jadi soal besar dalam setiap prediksi adalah tolak ukur-tolak ukurnya itu senantiasa ditetapkan secara mana suka, arbiter, sehingga seberapa kuat sekalipun kemampuannya meraba dan merengkus realitas agar sesuai dengan tujuannya (self fulfiling prophesy), pada akhirnya tetap merupakan sebuah perkiraan yang mungkin masih tetap berjarak ½ inchi dengan kenyataan. Untuk menyingkat, ia, prediksi itu, tidak bisa mengambil alih kenyataan itu sebagai dirinya, sebagai kenyataan sesungguhnya. Ketika prediksi itu diajukan maka itulah pedang bermata dua; hanya kalau beruntung calon kenyataan dalam prediksi itu sama dengan kenyataan yang kemudian terjadi, tetapi bisa juga sebaliknya; tidak sama sekali.

Dalam hubungannya dengan pertandingan final Perancis vs Portugal diatas semua filsafat pengetahuan Kuhnian yang rumit itu dibicarakan lagi disini hanya untuk mengatakan bahwa semua tolak-ukur-tolak ukur prediksi yang arbiter di bidang ilmu pengetahuan diatas pada akhirnya harus menghadapi kenyataan lain yang sama kuatnya di bidang sepak bola hingga hari ini – yang mungkin kita kenal karena sudah terkenal sebagai sebuah pameo klasik yang menegaskan besarnya pengaruh fortuna pada bidang ini. Kenyataan itu adalah: “bola itu bundar!!”

Quo Vadis Manggarai Raya; Celaka 12, Celaka 13?

Turnamen Euro 2016 Perancis sebagai tontonan yang menimbulkan diskusi panjang atau pendek; rasa senang, marah atau sedih, sudah berlalu. Karena mungkin mengikutinya secara seksama sejak awal hingga akhir, bagi sebagian dari kita ada hal-hal yang mungkin dirasakan perlu disimpan sebagai bahan baku analisis pada penyelenggaraan Euro berikutnya. Bagi sebagian lagi, ingatan akan turnamen ini mungkin justru sudah menguap sama sekali tanpa bekas karena sepak bola pada dasarnya bukan hobi, hanya sebagai pengisi waktu semata biar tidak “bego-bego-amat-amit-amit” ketika teman-teman disekitar asyik membicarakannya dan karena itu membicarakannya skali lagi terasa tidak relavan.

Namun, selalu ada lesson learn yang perlu ditimba dari setiap peristiwa dan kejadian, dan bagi kita di Manggarai Raya khususnya, dengan gambaran hubungan yang sangat dekat antara sepakbola dan politik diatas mungkin menarik juga memeriksa kembali prediksi-prediksi yang pernah kita lakukan dalam Pilkada Manggarai dan Manggarai Barat kemarin atau dalam menghadapi Pilkada Matim dan Pilgub NTT dua tahun dari sekarang.

Mungkin dengan menarik lesson learn itu kita bisa lebih berdewasa baik dalam bersepak bola maupun berpolitik. Karena tanpa itu kita jatuh dalam obsesi bahkan ilusi. Menjadi terobsesi adalah celaka 12 karena obsesi itu tidak lain adalah upaya mendapatkan sesuatu tanpa memperdulikan sama sekali kenyataan objektif yang terjadi. Apalagi bila terjatuh dalam ilusi yang berada setingkat diatasnya! Ini alamat celaka 13, karena ilusi itu adalah melihat kenyataan yang rendah jadi tinggi, kenyataan yang tinggi jadi lebih rendah, dengan melulu harus sesuai dengan obsesinya.

Kalau itu masih terus terjadi, maka sebuah pepatah “tua” bangsa ini rasanya seperti selalu awet-muda: “Hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama”****

Penulis adalah penyuka pertandingan Sepak Bola dan Play Station (PS), dan pernah melatih tim mahasiswa yang berdomisili di seputaran Janti Jokyakarta untuk Turnamen yang diadakan baik Alumni Seminari Kisol (Ekspio) Jogyakarta maupun Ikatan Mahasiswa Manggarai Yogyakarta (IKAMMAYA). Ditulis pasca kemenangan Portugal atas Perancis di partai final EURO 2016 Perancis, di Ruteng dan  Pagal-Kabupaten Manggarai