“Apa Jadinya ini Republik, Tuan Presiden?”

floressmart.com—Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini 71 tahun lalu, 17 agustus 1945. Kemerdekaan dalam bayangan Soekarno adalah “jembatan emas” bagi rakyat Indonesia menuju kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera.

Akan tetapi hingga usianya yang ke 71 tahun, kemerdekaan Republik Indonesia 1945 itu dalam kenyataannya masih belum menjadi “jembatan emas” menuju jenis kehidupan yang dibayangkan Soekarno itu bagi sebagian besar warganya yang miskin-berekonomi lemah. Bagi mereka, kehidupan yang berkeadilan dan sejahtera hanya bisa menjadi sebuah mesin hasrat, Desiring Machine (Deleuze & Guattari; 1977). Laiknya sebuah mesin, kondisi serba susah yang melilit hidup merangsang mereka berfantasi dan mereproduksi hasrat untuk hidup sejahtera dan adil meski realitasnya di dunia nyata seperti menunggu “kucing tumbuh tanduk”

Penulis : Edward Tasman

Penulis : Edward Tasman

Sebagian dari kita mungkin masuk dalam golongan ini, dan dalam kegamangan pernah melontarkan sebuah pertanyaan tipikal seperti judul diatas: “apa jadinya ini Republik?”. Pertanyaan ini tipikal karena penulis kerapkali mendegarnya diungkapkan rakyat biasa, the layman, the people, yang rata-rata bingung dengan berbagai persoalan pelik di bidang politik-ekonomi yang terkesan enggan diselesaikan pihak yang otoritatif,  padahal dilihat dari sisi rakyat kecil, mudah saja diselesaikan bila saja ada kehendak politik, political will. Terakhir kali, penulis mendengarnya lagi dari seorang petani bawang di Reo dalam sebuah diskusi ringan baru-baru ini. Dalam kesederhanaan pikirannya, petani bawang itu mengajukan pertanyaan itu secara retoris pada Tuan Presiden.

Revolusi Mental “Jokowian” dan Dasar Republik

Sebelum terpilih sebagai Presiden, Jokowi pernah melontarkan gagasannya mengenai Revolusi Mental  (Dale dan Somerphes; Co-Ed, Sunspirit Books: 2014). Salah satu soal yang disorotnya secara khusus dalam tulisan tersebut adalah menyangkut mismanagement kehidupan publik yang terlalu berkonsentrasi pada institusional building semata, tetapi mengabaikan aspek mental manusia yang menurutnya perlu segera diperbaiki melalui apa yang digagasnya sebagai “revolusi mental”

Kalau diperiksa secara seksama, ide dasar dibalik ajakan revolusi mental Jokowi itu sesungguhnya kembali pada dasar-dasar Indonesia menjadi Republik, yang dengan mantap dipilih para founding fathers kita. Republik adalah kerangka pengaturan kehidupan bernegara yang menempatkan rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan kekuasaan yang tertinggi, bukan penguasa/pejabat. Dalam alam republik kekuasaan berbasis pada kekuatan mental dan pikiran publik.

Bila nalar politik ini dikonversi ke dalam nalar ekonomi perusahaan hari-hari ini maka rakyat kira-kira adalah pemilik perusahaan (owner), sedangkan pejabat-pejabat hanyalah orang-orang yang dipilih untuk menjadi baik direksi pada executive board yang menjalankan perusahaan maupun para komisarisnya (legislative board) di parlemen. Dengan begitu, semua pejabat negara hanyalah pengampu kekuasaan berian rakyat pemilik itu. Bukan malah menjadi seakan-akan pemilik sebagaimana sering kita jumpai tabiat pada sebagian pejabat-pejabat kita.

Sebagai pengemban kekuasaan berian mereka memang harus sejahtera tetapi pemiliknya harus lebih sejatera, bukan sebaliknya. Dengan ndemikian, segala jenis kerja yang dilakukan penguasa harus bertujuan demi sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat sang pemilik kekuasaan sesungguhnya. Pejabat lebih menjadi pelayan masyarakat, civil servant. Manakala sebagian besar rakyatnya belum sejahtera tetapi pejabatnya malah hidup bermewah-mewah maka dasar-dasar republik itu sendiri goyah.

Sayang, ketika telah terpilih sebagai Presiden, Jokowi akhirnya harus menghadapi begitu pekatnya persoalan-persoalan kenegaraan yang pernah disorotnya dalam tulisan tersebut. Subkulture banal seperti KKN misalnya sudah terlalu pekat dan mendalam diprakraktekan hampir di semua bidang. Persoalan-persoalan yang mendera rakyat Republik Indonesia 1945 ternyata terlalu besar untuk diselesaikannya dalam waktu singkat seperti yang pernah berhasil dikerjakannya di Solo sebagai Walikota dan DKI sebagai Gubernur. Sementara mental penguasa-pejabat masih belum banyak berubah, mental rakyat kebanyakan terhadap penguasa juga masih jalan di tempat.

Euforia perubahan yang dulunya sangat terasakan ketika Jokowi maju sebagai calon Presiden seakan hilang tak berbekas. Pengelolaan negara ini seakan bussiness as usual. Alih-alih masalah yang sudah lama ada bisa diatasi maksimal, Jokowi sendiri terkadang berkontribusi terhadap hadirnya masalah baru seperti kontroversi soal pengangkatan Kapolri diawal masa pemerintahannya hingga mentri Energi dan Sumber Daya Mineral “warga negara asing” baru-baru ini.

Pada kita di NTT misalnya, tidak sedikit warga yang lebih suka mencari kerja diluar negeri. Berita-berita tentang bagaimana tenaga-tenaga kerja kita diluar negeri dianiaya bahkan dibunuh majikan-majikannya sendiri serta mudah dibeli bak “kacang goreng”, seakan tidak dipedulikan karena lapangan kerja di dalam negeri masih saja susah didapatkan meski Jokowi sudah jadi Presiden. Kita bahkan belum mendengar adanya program-program yang langsung menyasar kehidupan masyarakat miskin hingga hari ini yang bisa lebih baik secara moral-ekonomi-politik dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada masa pemerintahan sebelumnya.

Pendapatan …Rupiah di Republik “Simulakrum”

Syahdan, pada 1933 diadakan suatu penelitian Ilmiah tentang “ekonomi Rakyat” di Hindia Belanda. Hasil penelitian diumumkan pada 26 oktober 1933 oleh Binnenlandsbestuur (kementrian Dalam Negeri Hindia Belanda) dalam sebuah laporan kepada Volksraad, semacam DPR dalam masa pemerintah Belanda Kolonial. Kesimpulan penelitian itu mengejutkan banyak pihak, terutama kaum nasionalis karena dikatakan bahwa: Gebleken is dat het thans voor volwassenen mogelijk is, zich 2 ½ cent per dag te voeden”, “ternyata bahwa kini mungkinlah bagi orang dewasa hidup dengan biaya dua setengah sen sehari”. Sample penelitian diambil dari 5 keluarga pekerja selama 5 bulan berturut-turut, ditambah lagi pada 15 keluarga petani.

Kaum nasionalis biasanya bereaksi hanya jika pemerintah Belanda Kolonial mengeluarkan keputusan politik yang merugikan rakyat jajahan. Tetapi kini, penelitian diatas membangkitkan amarah mereka. Soekarno dan Hatta yang paling bereaksi keras. Bung Karno menuduh Belanda tidak mampu membedakan antara terpaksa hidup dengan dua setengah sen sehari dan cukup hidup dengan biaya sebesar itu. Menurut Soekarno, inilah hanya “trik” untuk menutupi beratnya beban penderitaan rakyat jajahan akibat penetapan pajak yang terlalu tinggi.

Di harian milik pribumi, Daulat Ra’jat, Hatta masuk lebih dalam lagi dengan menjelaskan apa yang dimaksudkan Soekarno sebagai “trik” itu. Ia melihatnya pada tata-tertib permainan ilmu pengetahuan. Baginya penelitian itu menggelikan karena kalau penelitiannya ilmiah maka, demikian kata Hatta, “ilmunya salah pasang” dan kalau hanya berdasarkan pengamatan terhadap 20 keluarga untuk mewakili seluruh Nusantara, maka “praktiknya salah ukur”.

Buat mata ekonom yang jeli seperti Hatta, yang jadi soal besar penelitian itu adalah wetenschapplijk onderzoek dimana ilmu adalah alat kekuasaan dan kekuasaan adalah alat ilmu. Karena dalam politik kemakmuran kata Hatta, pertanyaannya bukanlah dengan uang berapakah orang dapat hidup layak, akan tetapi dengan berapakah orang dapat hidup selayaknya sebagai manusia. Untuk itu dia berani berkata: “ai…ai…wetenschappelijk onderzoek…alangkah dinginnya terasa dalam dada”.

Di alam setelah kemerdekaan, kita juga masih sering mendengar penguasa-pejabat di hampir semua tingkatan politik, dalam kesempatan resmi atau setengah resmi, dengan bangganya mengumumkan hasil penelitian – entah kapan dan oleh siapa dan dengan alat ukur apa, mengenai soal biaya hidup perhari masyarakat yang dipimpinnya. Angka-angka yang mereka sebutkan fantastik namun sayangnya hanya bisa hadir dalam desiring mechine rakyat rakyat miskin berekonomi lemah yang jangankan menyentuh uang sebanyak yang disebutkan pejabat-penguasa itu, melihat uang sebanyak itu saja dalam kenyataan hidup profannya, sama sekali tidak pernah.

Karena itu, pada masa pemerintahan Jokowi, duplikasi atas kehidupan yang sejahtera dan adil bagi masyarakat miskin-berekonomi lemah itu harus segera dilakukan melalui program-program partisipatif pemerintahan di seluruh jenjang yang langsung menyentuh soal dan akar kemiskinan mereka. Program-program pengentasan itu harus berangkat dari persoalan-persoalan yang mereka hadapi dan cara-cara penanganan yang tidak saja solvable atas persoalan-perseolan tersebut tetapi juga mengentaskan hidupnya hingga tidak lagi miskin, income generating.  .

Untuk kembali dan karena berutang pada sang petani bawang yang empunya pertanyaan, jawaban pertanyaan sederhana seperti apakah bibit bawang bisa mereka peroleh gratis dari pemerintah dan bagaimana mereka bisa meningkat pendapatan selain dari hasil penjualan bawang, misalnya bisa menjadi contoh dan harus segera dijawab segera dalam sebuah program yang langsung dan bisa terasakan manfaat pengubahannya. Demikian juga bagi petani umumnya atau nelayan, peternak, dan pekerjaan-pekerjaan yang sesungguhnya tidak menjanjikan perubahan kesejahteraan bagi pelakunya (baca: tetap saja miskin) tetapi terus mereka kerjakan karena tidak terdapat pekerjaan lain yang bisa dilakukan.

Hidup yang sejahtera dan berkeadilan bagi masyarakat miskin-berekonomi lemah versi Republik Indonesia Proklamasi 1945 itu selama ini nyata-nyata hanya menjadi simulakrum (Baudrilard;1981). Simulakrum adalah suatu yang selalu diupayakan duplikasinya sehingga bisa dibayangkan ada, namun yang yang aslinya tidak pernah muncul, sehingga batas antara yang duplikasi dan asli menjadi kabur.

Jika kondisi semacam ini masih dibiarkan maka rakyat miskin-berekonomi lemah akan terus hidup di “Republik Simulakrum”. Mereka mungkin memiliki sejumlah tertentu rupiah di bawah bantalnya, namun selalu tidak berarti secara ekonomi karena menempatkan mereka tetap saja miskin dan tidak bisa hidup layak.

“Kita hidup di “Republik” yang mana?”. Sembari merayakan HUT 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia Proklamasi 1945 itu di manpun kita berdomisili dan Pameran Pembangunan  yang mungkit memeriahkannya, persoalan-persoalan dan pertanyaan diatas menjadi penting kita pikirkan lagi bersama-sama.

Apa dan Bagaimana jadinya ini Republik, Tuan Presiden?”. “Ai…ai…semoga Tuan Presiden bisa menjawab dalam sisa waktu pemerintahannya.****

Bersama Jokowi, penulis turut menulis salah satu bab Buku “Masa Depan Revolusi Kita; Pemikiran dan Agenda Aksi”, Dale dan Somerphes, Co-editor, Sunspirit Books, Juni 2014; Komisioner “Demisioner” Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Manggarai tahun 2015; Research Director Manggarai Raya Research Institute (MRRI) dan Anggota Forum Akademia NTT (FAN). Ditulis di Kedutul-Reo, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai

Beri rating artikel ini!