floressmart.com—Lembaga Bantuan Hukum Manggarai Raya turut memantau kasus keracunan makanan laut (seafood) di Ruteng yang menyebabkan 40 orang dirawat.
Dalam siaran persnya, Direktur LBH Manggarai Raya NTT, Frans Ramli, menyatakan kasus tersebut merupakan bukti kelemahan Pemda setempat dalam upaya membina pelaku usaha dan konsumen termasuk pengawasan terhadap peredaran produk-produk makanan.
Dijelaskan, kasus keracunan di rumah makan Cianjur milik Apip Sopandi itu melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK).
“Kasus tersebut kesalahan kolektif dan bertingkat yang telah dilakukan baik pelaku usaha maupun dinas atau instansi teknis pemerintah. Karena itu, mereka harus mengganti rugi atas dampak yang telah ditimbulkan dan dapat dikenakan sanksi pidana, perdata dan administrative,” Tulis Frans Ramli dalam Siaran Pers yang diterima floressmart.com, Kamis 17 November 2016.
Diterangkan Ramli, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur hal-hal berikut:
Menurut Ramli, kewajiban pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 7 huruf d UUPK yang berbunyi: “Kewajiban pelaku usaha adalah menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
“Dalam hal ini menurut hemat kami, termasuk pula menjaga agar tidak ada orang yang sengaja “meracuni” makanan yang dibuat. Mengenai bersalah atau tidaknya pelaku usaha dengan tidak melaksanakan kewajiban yang disebut dalam Pasal 7 UUPK atau ada orang lain yang memasukkan racun ke dalam makanan pelaku usaha memang dibuktikan lagi nantinya dalam proses hukum,” Kata Ramli.
Ancaman Pidana
Pengacara yang biasa dipanggil Boy Koyu itu mengatakan, jika makanan yang disajikan di rumah makan Cianjur itu membuat pelanggan keracunan, maka ada kemungkinan pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 8 Ayat (1) huruf a UUPK yang berbunyi : “tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan/atau Pasal 8 Ayat (2) UUPK yang berbunyi : “pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”.
Lebih lanjut diterangkan, jika pelaku usaha terbukti melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 8 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 8 ayat (2) UUPK tersebut, maka ancaman pidana yang dikenakan terhadap pelaku usaha berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UUPK yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan dapat dijatuhkan hukuman tambahan berdasarkan ketentuan Pasal 63 UUPK seperti pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen dan pencabutan izin usaha.
Tidak hanya itu, dijelaskan Ramli, secara perdata pelaku usaha dapat digugat oleh konsumen, sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama dan Lembaga Perlindungan Konsumen yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen.
“Dinas atau instansi teknis di lingkungan pemerintah terkait dengan fungsi pemerintah dalam Pasal 29 dan Pasal 30 UUPK tentang pembinaan serta pengawasan terhadap perlindungan konsumen. Dinas atau instansi teknis pemerintah tersebut merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas upaya pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen,” Cetus Ramli.
“Jika benar, produk makanan tersebut yang mengakibatkan jatuhnya korban telah mengantongi izin dari dinas atau instansi terkait, maka mereka layak untuk diberikan sanksi tegas dari pihak berwenang,”Tambahnya. (js)