SBY Dan Dongeng Kudeta

floressmart.com—Pasca demonstrasi 04 November 2016, bola panas politik kembali ke tangan mantan presiden Sosilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Publik menduga SBY berperan sebagai “auctor intellectualis” atau dalang aksi demonstrasi tersebut.  Sebagai dalang, SBY memakai sisa-sisa kekuasaannya melakukan konsolidasi politik dan menggerakan wayang-wayang politik. Tujuan konsolidasi politik itu adalah diseminasi “politik SARA” melalui demostrasi 04 November  (publik sebut “aksi 411”).

Pidato politik SBY pada tanggal 02 November 2016 di Cikeas dianggap sebagai palu awal genderang politik “aksi 411”. Dalam pidato tersebut, SBY menuding Badan Intelijen Indonesia Indonesia tidak netral dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. SBY juga menilai bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi melindungi Ahok. Pidato SBY memperlihatkan sikap kemarahannya pada intelijen dan Jokowi sekaligus melindungi anaknya Agus Harimurti Yudhoyono calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Hal itu berarti pidato SBY tersebut bukan merupakan sikap moral, melainkan keberpihakan politik SBY sendiri terhadap pasangan Agus Yudhoyono-Sylviana Murni di Pilkada DKI Jakarta. Pidato SBY itu bukan merupakan sebuah seruan “prihatin”, melainkan orasi politik awal yang menggerakan massa anti Ahok dan Jokowi pada aksi 411. Dari situ, massa politik yang bertopeng agama datang menghadang istana dan menyerukan Ahok untuk mundur dalam kontestasi politik pilkada.

Massa menuntut Ahok diadili karena dianggap telah menista agama Islam. Puncaknya ketika isu penistaan Surat Al Maidah ayat 51 yang dilakukan Ahok pada sebuah wawancara media.  Setelah mendapat laporan, Polri mengakomodasi tuntutan tersebut dengan melakukan gelar perkara secara terbuka. Jokowi meminta kepada aparat penegak hukum untuk melakukan proses peradilan Ahok secara terbuka kepada publik. Tujuannya, agar publik juga bisa melihat duduk persoalan sekaligus menanamkan kesadaran hukum bagi masyarakat atas persoalan Ahok tersebut.

Ahok yang menjadi sasaran aksi 411 merupakan bagian dari manuver politik dinasti SBY untuk memuluskan safari politik dan pencitraan Agus Yudhoyono dalam Pilkada DKI Jakarta. Ketika Ahok didera oleh proses hukum, pasangan Agus-Silvi bisa fokus dalam kampanye politik. Selain itu, aksi 411 merupakan usaha menarik simpati pemilih (voter) dengan memainkan sentimen agama. Di sini, SBY berperan sebagai “the godfather” politik yang mengedepankan budaya patronase. Dalam budaya patronase, orientasi kekuasaan dilekatkan pada figur SBY sebagai patron dan pelindung. Itu berarti, pencalonan Agus Yudhoyono adalah simptom kembalinya SBY di pentas politik, khususnya di DKI Jakarta. Tanpa bersembuyi di balik ketiak SBY, Agus Yudhoyono bukanlah siapa-siapa selain anak bawang dalam politik.

Celakanya, SBY tidak saja mengincar “DKI Satu” tetapi juga “mengincar” Jokowi. Aksi 411 di depan istana merupakan signal kuat bahwa ada gerakan politik yang mengancam kekuasaan presiden. Situasi aksi yang dibakar dengan sentimen agama bisa sangat mudah dijerumuskan ke dalam gerakan politik. Massa digiring untuk tidak percaya pada negara dan Jokowi. Di sini sinyalemen pelemahan negara mulai muncul. Kunjungan Jokowi kepada Markas TNI terbaca sebagai pendekatan politik untuk mengaktifkan fungsi aparat militer. Bahwa aparat TNI harus berjaga-jaga bila suatu ketika terjadi ancaman kudeta terhapan presiden Jokowi.

Di Markas TNI, Jokowi sebenarnya juga punya kepentingan lain, yakni konsolidasi dan kontrol maneuver “politis” prajurit loyalis SBY.  Jokowi hendak memeriksa anggota TNI yang dicurigai sebagai loyalis SBY. Jangan sampai mereka bisa bersehati dengan SBY untuk melakukan aksi yang menjurus pada “kudeta”. Secara teoritis, dalam keadaan kudeta, pemerintah militer mengendalikan pemerintahan sebelum diselenggarakan Pemilu. Kudeta bisa terjadi jika negara lemah. Dalam hal ini, Jokowi dianggap sebagai kepala negara yang lemah karena dia bukan berasal dari golongan militer.

Akan tetapi, di negeri yang sudah sangat demokratis ini, kudeta hanyalah sebuah dogeng kecil. Kudeta mungkin saja muncul dalam benak oknum para petinggi militer, tetapi rakyat selalu berjuang dalam demokrasi politik yang damai. Sebagai lembaga, militer juga tentu selalu dekat dengan rakyat dan loyal tertahap penglima tertinggi, yakni Presiden. Bila saja negara lemah, rakyat tetap yakin militer akan melakukan yang terbaik untuk menjaga keutuhan negara, tetapi bukan dengan militer. Rakyat yakin, militer mengerti baik asas demokrasi dan tidak lagi masuk dalam urusan politik.

Pernyataan SBY tentang kudeta militer terhadap Jokowi merupakan mimpi di siang bolong. Selepas dari jabatan sebagai presiden, SBY ternyata sudah lupa akan kesantunan politik. Jika SBY adalah seorang negarawan, seharusnya ia tidak mengeluarkan pendapat atau isu kudeta militer seperti itu. Pernyataan itu provokatif dan mengganggu stabilitas politik tanah air. Mungkin saja, SBY sedang sakit post power syndrome; berbuat seakan masih berkuasa padahal sudah tidak lagi berkuasa.

Proses demokrasi politik memang akan terasa irasional bila dihadapkan pada politisi yang haus akan kekuasaan. Politik pun berjalan pincang tanpa etika. Padahal politik adalah tindakan menggunakan kekuasaan untuk kebaikan bersama, bukan demi kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan harus dikomunikasikan, didistribusi dan diselebrasi untuk memecah kebuntuan-kebuntuan di masyarakat. Mengutip filsuf Alain Badiou, politics is the art of attacking  the impossible!  Jokowi sudah melakukan itu, mari kita beri apresiasi.***)

Beri rating artikel ini!
SBY Dan Dongeng Kudeta,5 / 5 ( 1voting )