floressmart.com—Perhelatan Pilkada di kabupaten-kota NTT, 15 Februari 2017, baru saja berakhir. Ada pihak yang menang, tentu sebaliknya, ada yang kalah. Yang menang bersyukur, bergembira dalam pesta yang semarak, sedangkan yang kalah merenung penuh introspeksi diri seraya menyusun strategi baru untuk beraliansi dengan yang menang atau justru membentuk koalisi untuk tetap melawan.
Selalu ada situasi dikotomis dalam perhelatan politis itu. Kemenangan dalam politik kontestasi kerap melahirkan pertanyaan menarik ini: “apa muara akhir dari sebuah kemenangan politik?” Atau, lebih pragmatis pertanyaan itu bisa dirumuskan: “untuk siapa kemenangan politik?”
Tulisan ini lebih sebuah sajian refleksi yang mengarahkan kembali sesat pikir yang justru berkelimpahan dalam diri pelaku politik sehingga sering salah kaprah dan berakibat fatal bagi kemaslahatan hidup banyak orang. Sebuah pertanyaan yang secara khusus diarahkan bagi persiapan Pilkada kepala daerah NTT 2018 mendatang.
Situasi Penuh Keprihatinan
Dalam banyak situasi dan bidang kehidupan, membahas NTT sudah dipepaki dengan berbagai label miring. Di bidang ekonomi NTT adalah provinsi ketiga dari nomor akhir di Indonesia yakni 22,01% dari 1.150,08 ribu penduduk (Tribunnews, 7 Maret 2017). Di bidang kesehatan dan pendidikan menempati urutan yang kurang lebih sama. Belum secara sosial, human trafficking, kasus kekerasan (violence), tenaga kerja illegal, korupsi, perjudian, bunuh diri, meramaikan berita harian dalam kehidupan masyarakat NTT.
Situsi ini, setelah sedemikian akut, melahirkan dua sikap yang berbeda. Pada level pertama, ada usaha dari pemerintah provinsi dan kabupaten untuk membangun program kerja terencana dalam memetakan potensi wilayah dan manusia NTT lalu melahirkan jargon-jargon yang coba dikembangkan sebagai program strategis. Program Anggur Merah yang langsung diarahkan ke desa-desa, melihat desa sebagai lokus dan fokus penguatan ekonomi. Tak berhenti di situ, NTT dikemas menjadi provinsi koperasi, provinsi jagung dan provinsi sapi.
Pada level selanjutnya, ada kemarahan lalu berupaya merebut kekuasaan politik sebagai langkah untuk mengatasinya. Sejauh mana program-program itu sudah berhasil mengeluarkan NTT sebagai provinsi terpuruk? Tak ada yang bisa menjamin bahwa program-program itu secara massif sudah merubah label yang terus melekat pada wajah NTT.
Memenangkan Rakyat
Meskipun Pilkada merebut kursi gubernur dan wakil gubernur masih jauh di 2018, genderang Pilkada sudah mulai ditabuh. Aroma politik kontestasi sudah tercium dengan kemunculan beberapa figur tokoh NTT. Ada Esthon Foenay yang akan berpasangan dengan Christian Rotok. Ada juga Benny K Harman, Christo Blasin, Aleks Ofong, Lusia Adinda Lebu Raya yang belum menentukan wakilnya tapi sudah meramaikan bursa calon gubernur versi pewacanaan publik melalui media. Hingga saat ini, yang sudah mendeklarasikan diri hanyalah Esthon-Chris. Tentu, deklarasi, pemakluman sebagai permulaan aksi politik kontestasi akan terus bermunculan.
Pertanyaan yang bertubi-tubi datang menghujam nurani para pemimpin politik dalam ranah Pilkada selayaknya menjadi titik mulai pengabdian mereka di NTT. Pertanyaan itu erat kaitannya dengan esensi dan substansi dari politik, sebagaimana ditulis W.A. Robson (1954) dalam literature klasik The University Teaching of Social Sciences, yakni memeroleh kekuasaan dan menjalankannya untuk kebaikan masyarakat (bonum commune). Untuk meraih itu, politik merupakan jalan lapang pengambilan keputusan (decision making), membangun kebijakan umum (public policy) dan pembagian nilai (distribution of value).
Membahas kembali upaya mengeluarkan NTT dari belenggu berbagai predikat jeleknya, program-program pembangunan NTT haruslah berbasis kebutuhan rakyat NTT. Infrastruktur jalan yang belum seluruhnya mengakses perkampungan masyarakat menjadi program andalan bersama pemerintah kabupaten-kota.
Penumbuhan sentra-sentra ekonomi baru dan kreatif melalui pembukaan pasar dan kerja sama distribusi hasil lintas kabupaten, provinsi dan Negara menjadi mutlak dan harus. Pemetaan kerja sama arus pariwisata antar kabupaten dan provinsi menjadi salah satu pilihan prioritas untuk memperkenalkan panorama pariwsata alam dan budaya NTT ke berbagai wisatawan yang mendorong percepatan ekonomi.
Demikian halnya meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan formal, nonformal dan informal terus digencarkan melalui perbaikan mutu lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan. Sertifikasi mutu lembaga pendidikan harus diimbangi dengan kejujuran menyampaikan data dan komitmen semua pihak untuk menjamin mutu pendidikan berbasis pemenuhan nilai-nilai dasar (basic value) demi pembentukkan karakter.
Setara dengan itu, pembacaan atas potensi lahan yang serius merekomendasikan pengembangan ternak dan budidaya hortikultura untuk kebutuhan masyarakat NTT pun dieksport ke luar daerah. Demikian halnya dengan pemenuhan kebutuhan dasar di bidang kesehatan menjadi salah satu prioritas.
Pada kenyataan posisi kemiskinan yang merata di seluruh NTT, kerja sama semua pihak merupakan keharusan. Penumbuhan motivasi bekerja sama dapat disalurkan melalui gerakan koperasi kredit yang kian gencar di seluruh kabupaten-kota NTT.
Fokus, Terukur dan Tuntas
Tentu kita hakul yakin, membanjirkan NTT dengan begitu banyak program bukanlah solusi yang tepat. Indikator program-program unggulan dan strategis haruslah, meminjam istilah Dr. Deno Kamelus: fokus, terukur dan tuntas (2016). Program-program itu memiliki fokus yang tepat pada masyarakat mana program akan diarahkan sesuai dengan derajat kebutuhannya.
Sejalan dengan itu, program kerja dapat diukur (quantified) melalui jumlah yang merasakan manfaat program. Akhirnya, program tuntas mengatasi multimasalah yang dialami oleh masyarakat.
Selain isu-isu strategis dan indicatornya di atas, program tetaplah program jika tidak ada yang mengeksekusinya. Perhelatan politik Pilkada 2018 adalah moment menentukan untuk mengubah wajah NTT lima tahun ke depan. Pengusungan kandidat yang visioner, memiliki integritas khususnya bebas korupsi, merakyat dan penuh keberanian untuk mengubah situasi kemiskinan dan ketakberdayaan NTT menjadi peluang bagi pemenangan kepentingan rakyat.
Lalu, apakah pawai kemenangan tidak diperlukan? Tetaplah hal itu dilakukan sebagai pendeklarasian bahwa perjuangan untuk memenangkan rakyat segera dimulai.***
Tentang Penulis:
Kanisius Teobaldus Deki M.Th, lahir di Ruteng 1 Juli 1976. S1 Filsafat – S2 Teologi Kontekstual di STFK Ledalero. Tahun 2000 mengikuti International Program for Formation di Israel. Menulis beberapa buku dan artikel untuk berbagai jurnal, Pos Kupang dan Flores Pos. Kontak: 0812-1531-2634/081-238-575-433.