Menebak Arah Politik MatimNews.com

Fian Roger*)

Dalam waktu dekat, sebuah media lokal akan akan muncul di Manggarai Timur. Media siber dengan alamat domain www.matimnews.com ini dikabarkan memilih Borong (pusat administrasi Manggarai Timur, NTT) sebagai locus pemberitaan. Produksi reportase media ini dipayungi sebuah lembaga penelitian berbasis kajian kebijakan publik bernama M8tim Institute.

Mengapa harus di Kota Borong? Bukankah banyak media lokal yang berseliweran sudah dan sedang mengekspos Manggarai Timur seperti voxntt.co, floresa.co, florespost.co, Pos Kupang, Flores Bangkit, Flores Smart (sebelumnya NucaLale.com)?

Menurut Direktur Eksekutif M8tim Institute, Agustinus Edward Tasman, kehadiran MatimNews.com bakal menjadi media alternatif dengan pendekatan olah data dan suara publiktentang Manggarai Timur. Tasman adalah peneliti yang sempat bergabung di Institute of Resource and Social Change Kupang (IGRSC). Ia juga aktif mengekspos pendapatnya di sejumlah media cetak dan media online lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Risiko memilih hidup sebagai media alternatif di Borong bakal berhadapan dengan tantangan untuk menciptakan pembaca fanatik atau bisa saja dicap sebagai media musiman. Yang mau kita tunjukan adalah ikhtiar untuk menjadi spesial bagi kebutuhan spesifik warganet Manggarai Timur dalam tiap level kesadaran, ” ungkap Tasman (4/6/2017) di Borong, Manggarai Timur.

Pilihan sebagai media online, lanjutnya, pelbagai media yang sudah populer acapkali melihat Manggarai Timur “jauh” dari pusat kekuasaan, sebut saja, Kupang dan Jakarta. Dan tampak suara elit dominan yang diekspos. “Kita memilih hidup dan memberitakan Manggarai Timur dari Timur Manggarai,” tegas Tasman.

Tentang Borong

Penulis dan jurnalis senior Kanis Lina Bana, dalam Buku “Mengibar Bendera, Pledoi Moral Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur,” membahas khusus  tentang “Kota Borong” (Lina Bana: 2010). Dalam ulasan Kanis, Borong merupakan wilayah pelabuhan sejak masa kekuasaan Todo Pongkor. Klaim historis ini merujuk pada Catatan Antropolog Dami N Toda. (Cf., Toda: 1999)

Ada beberapa kedaluan yang berkuasa di sekitar Borong, sebut saja, Dalu Riwu, Sita dan Manus. Dan sebagai kota pelabuhan, tentu sangat masuk akal daerah ini menjadi wilayah perdagangan ini dibuktikan dengan kehadiran warga yang menjadi keturunan para pedagang asal Ende, Keo, Sumba, Bugis, Makasar, Bima dan Tionghoa (Lina Bana, p.77).

Baca juga  Demokrasi Plastik Homo Manggaraiensis

Layaknya kota-kota pelabuhan seperti Labuan Bajo dan Reo, tentu di masa kerajaan dan koloni Belanda, ada semacam sistem perpajakan. Dalam istilah yang dieksplor Lina Bana, ini disebut kewajiban membayar “susu manga” atau pajak pelabuhan. Jelata dari udik biasanya membawa upeti berupa hasil bumi setempat kepada penguasa penagih pajak.

Dalam masa kekuasaan Orde Baru, nama Borong melejit akibat kemashuran areal persawahan Wae Reca, Rana Loba dan Kota Ndora karena menjadi salah satu pemasok beras terbesar dari Manggarai. Dan selain menjadi kota tani, Borong juga dikenal dengan pemasok ikan setelah kehadiran para nelayan asal Ende di wilayah pesisir ini. Selain dari Ende, beberapa penduduk lokal juga berasal dari Ngada yang berkarya di bidang pertanian. Wilayah Borong berwajah majemuk dengan cakupan wilayah-wilayah seperti: Dalu Rongga Koe, Mok/Mbengan, Manus, Riwu, Sita dan Torok Golo.(Lina Bana, p.78)

Mengapa tenunan data, makna aspek kultur, dan historisitas ini penting disebut dalam pembingkaian berpikir media massa tentang Manggarai Timur? Ini dikarenakan, pusat administrasi latar sejarah dan budaya, jelas menjadi latar penting untuk membaca Manggarai Timur dari dekat.

Benar bahwa pusat adminstrasi jelas menjadi beranda sumber persoalan juga muara persoalan. Ada kebijakan penting yang dibuat Pemerintah Kabupaten dan DPR di Borong, sirkulasi elit dan roda ekonomi, juga geliat perkembangan demokrasi lokal sebelum 2018.

Mencurigai MatimNews

Borong sebagai kota majemuk tentu mengandung banyak karakter di dalamnya. Dalam kultur perdagangan misalnya, sifat masyarakat tampak praktis dan pragmatis. Gejala peningkatan literasi media lahir dari emansipasi kesadaran melalui pendidikan, dinamika politik lokal, sirkulasi elite birokrasi, maraknya penggunaan ponsel berbasis internet dan media sosial khususnya Facebook, membuat kehadiran media yang menawarkan alternatif bacaan kepada khalayak pembaca menjadi penting.

Dengannya, masyarakat yang akrab dengan dinamika ekonomi pembangunan pun tidak serta merta pragmatis. Mereka tentu mengikuti dengan aktif geliat politik lokal dengan kesadaran primordial (budaya, keyakinan dan pertalian suku/darah) dengan caranya tersendiri.

Kehadiran media baru di Borong sebelum pemilihan Gubernur dan Bupati di 2018 memang meninggalkan pertanyaan? Apa hubungan media baru dengan pilkada dan politisi tertantu? Apakah akan hanya hidup selama masa kontestasi dan paska kontestasi hanya akan menjadi corong pemenangan kanditat calon bupati berikut partai-partai penyokongnya?

Baca juga  Bongkar Mitos 'Nomor' Politik Di NTT

Metode kecurigaan sangatlah penting. Sebab, sikap bertanya itu membangun kesadaran kritis. Dan media sebagai kanal informasi publik pun adalah teks terbuka yang patut dikuliti dari ragam sudut pandang (angle). Teks berita tidak pernah menjadi kenyataan tunggal. Ada latar pemikiran, dinamika internal media, politik media, bahasa politik media, desain isu redaksi, dan teks itu sendiri pantas dibuka. Karena, penulisan berita lahir dari proses berpikir (kognisi dan refleksi) tentang suatu peristiwa/kejadian/persona,yang kemudian diperkaya konten (isi) dan konteksnya (cum+ textere:tenunan data dan makna).

Lubang “Joak” dan “Hoax”

Jamak terlihat jejaring sosial seperti Facebook dan Whatsapp memberi gejala baru pada kerja jurnalistik kekinian, misalnya istilah “viral.”Viral (dari kata ‘virus’) dipahami sebagai informasi yang paling banyak diminati, diperbincangkan, diperdebatkan, dan menarik perhatian warganet.

Viral menjadi kata kunci menyimak berita-berita yang dibagikan media berbasis internet (media online). Viral ditandai dengan jumlah “share” pembaca dan kuantitas pembaca di media sosial , kemudian bagaimana berita itu memicu diskusi atau diskursus, percakapan baik online maupun offline.Viral terbentuk dari sifat sosial manusia sebagai sociable person. Kabar viral terbentuk dari kekuatan berbagi, berbincang, berdebat, dan bertutur dari mulut ke mulut.

Kata kunci dalam membaca media kekinian (baca: digitalisasi media massa) adalah kebutuhan akan kedalaman dan kebermaknaan. Kecepatan acapkali menarik, tetapi memberi lubang jebakan bernama kedangkalan. Apalagi maraknya kabar bohong alias hoax (joak dalam konteks lokal) yang bersebaran, kabar tanpa verifikasi yang benar (gossip).

Denganya digitalisasi media membutuhkan laporan mendalam yang obyjektif. Ini bakal membuat media itu survive karena lahir dari disiplin pengolahan informasi; keterampilan mendengarkan publik, mengumpulkan potongan informasi tercecer, mengolah dengan sudut pandang kebaruan, kemampuan bertanya secara kritis dan menawarkan kedalaman berita bagi pembaca.

Model jurnalisme advokasi dan interpretatif pun tampak diminati warganet dan pembaca karena mereka menginginkan kisah yang utuh, tidak sepotong-potong, mendalam, mengandung kebenaran, menarik, dan memiliki kisah yang dekat dengan kepentingannya. Pembaca sudah saking resah dengan tulisan yang heboh tapi jauh dari kebenaran. Pembaca sudah muak dengan gaya berita dengan judul heboh, namun isinya jauh dari objektivitas.

Baca juga  Tentang Segelas Kopi, Obrolan Politik, Dan Topeng Sosial

Publik pembaca menyukai tulisan yang sederhana, menarik, mengalir sembari menerapkan disiplin jurnalistik yang benar.Tidak sedikit media yang gemar ber-talking news! Berita berisi omongan belaka, meski ada adagium, tokoh membuat berita. Padahal, tidak semua yang diucapkan tokoh tertentu itu benar.

Suara dari “Udik”

Gejala ini umumnya dipakai dalam jurnalisme advokatif sebagai pengemasan dan penyebaran isu/gagasaan untuk perubahan sosial/kebijakan publik baik untuk kepentingan jangka pendek dan panjang, sebut saja, advokasi pilkada 2018 di Matim, advokasi infrastruktur, advokasi listrik, advokasi pendidikan, dsb.

Di sisi lain, karakter investigatif lebih menawarkan kekuatan data, kemudian data itu diverifikasi, dicarikan bukti dan suara narasumber yang valid, kemudian mengemasnya dalam narasi yang menarik, mengalir dan utuh bagi komunitas pembaca.

Sebagai media lokal dalam ruang tripel“w”yang nyaris “tanpa batas” ini, MatimNews.com bakal berfungsi sebagai saluran informasi, edukasi, koreksi, hiburan dan jembatan bagi masyarakat Manggarai Timur khususnya, NTT umumnya.

Namun patut diawasi, media yang terlalu mengandung dominasi suara elit pasti bakal tendensius dan selalu menggunakan frame pemberitaan politis yang acapkali konfliktual. Mudah-mudahan MatimNews.com lebih mengadvokasi suara dari bawah (grassroot), suara masyarakat yang terpinggir di pelosok-pelosok udik Manggarai Timur sehingga terjadi perbaikan kebijakan publik.

Tidak mudah memang membangun media lokal tanpa modal. Dan modal idealisme tanpa pendapatan bakal omong kosong belaka. Kejelian membaca kebutuhan informasi dan peluang pendapatan yang tercipta di sana menjadi faktor penting. Kelihaian marketing berita bakal membuat media itu bertahan atau lenyap tanpa cerita.

Wartawan dan sastrawan Ayu Utami mengingatkan, menulis adalah berbahasa dan berbahasa adalah bersikap dan berpikir (Utami: 2015). Ketika berita dipublikasikan, pembaca bisa menelanjangi si penulis. Karena itu, kepatutan bahasa dan sikap bijak menjadi prinsip penting menjadi jiwa dari laporan jurnalistik.

Untuk konteks Manggarai Timur, tentu kearifan budaya setempat masih menjadi pendekatan yang tepat. Sebab, melampaui pengetahuan dan keterampilan, kebajikan dan kearifan masih menjadi value tertinggi dari pencapaian episteme manusia. Proficiat untuk MatimNews. (*)

*) Fian Roger; aktif di www.idenera.com; pemerhati media, tinggal di Labuan Bajo

Beri rating artikel ini!
Tag: