Belajar dari Anggota Tubuh Membangun Iklim Sosio-Harmonis (Interprestasi Kontekstual IKOR: 12: 12-31)

Part I

Saya bukanlah ahli kitab suci atau studi khusus tentang kitab suci, akan tetapi sebagai orang awam biasa yang selalu mencoba  menafsirkan kita suci untuk menemukan cara baru dalam membentang relasi dengan yang lain.

Oleh karena itu, refleksi sebagai cara  untuk menemukan kiat-kiat relasi harmonis atas dasar kitab suci.  Dalam menemukan kiat-kiat tersebut penulis tertarik untuk melihat dan merefleksika surat Paulus yang pertama kepada jemaat di Korintus, yakni IKorintus 12: 12-31.

Perikop ini memang tentang persekutuan Gereja, tetapi tidaklah salah kalau kita melihanya juga sebagai persekutuan sosial.  Sebab relasi sosial juga sebagai media menjawab dan menghyatai ajaran agama, sebagaimana yang dikatakan oleh  Irenius dari Lyona bahwa Gloria enim Dei Vivens Homo- kemulian Allah nyata atau hadir dalam kehidupan manusia (Djunatan, dlam Dwikoratno dkk “ed” 2012: 127-128).

Bahwa kehidupan manusia bukanlah kumpulan individu yang “homogen” tetapi kumpulan pribadi-pribadi yang “heterogen”. Dengan demikian saling menghargai, saling menerima identitas, saling menghargai ntar-peran adalah hal vital masyarakat yang majemuk.

Sikap-sikap sosial tersebut serentak menjadi sikap iman. Iman sebagai jawaban atas panggilan Yang Maha Kuasa dinyatakan dalam kehidupan yang real dan kongkrit. Karena adanya relasi personal dengan Allah (relasi horizontal dan atau relasi religious) harus dinyatakan secara bijaksana dalam relasi dengan sesama (relasi vertical dan atau relasi sosial); sehingga dengan demikian relasi manusia mengarah kepada kemulian Sang Khalik sebagai sumber kebijaksanaan sejati. Relasi tersebut digambarkan secara menarik oleh Paulus, yang dianalogikan dalam anggota tubuh.

Baca juga  Pewarta (an) Menunggangi Kepentingan Kristus

Relasi yang digambarkan oleh Paulus adalah relasi yang totalitas dalam menghargai sesama dan mengakui kelamahan serta kelebihan orang lain. Sebab, tidak ada perpecahan bila  setiap pribadi mengenal potensi  dan kelemahan dirinya.

Tidak ada waktu untuk menciptakan permusuhan, perselilishan, sikap acuh tak acuh dengan orang lain, bila saja setiap orang  berbangga dengan kelemahan dirinya, mengakui kelebihan orang lain, megakui keberagaman potensi atau kelebihan, mengakui perbedaan sebagai keindahan atau harmoni kehidupan, bukan mempersatukan perbedaan.

Yang terjadi adalah meretasnya keakraban, kerukunan, toleransi, empati sebagai hasil dari kerelaan menerima dan menghargai, mengakui kelemahan diri, terbuka pada kelebihan orang lain. Sebagaimana yang dinyatkan oleh Paulus dalam Suratnya (1Kor.12:12-31).

Surat 1 Kor 12:12-31  menekankan  bahwa,  semua orang yang telah dibatis adalah anggota Kristus yang hidup dan bersatu dalam tubuh Mistik Kristus; Sebagai anggota Kristus harus mampu meyakinkan diri untuk saling menghargai, saling melayani, saling memperhatikan yang lain sebagai satu tubuh dalam menciptkan kehidupan yang harmonis dengan tubuh-tubuh lain; sikap-sikap tersebut yang dinyatakan dalam kehidupan bersama, sebab semua dan seluruhnya dipersatukan dan dikepalai oleh Kristus.

Dengan demikian, dalam kehidupan bersama, seseorang harus mampu (menjadi) gereja bagi yang lain dalam persekutuan Kristus. Perskutuan sebagai pertemuan antara setiap anggota, pertemuan itu digerakkan oleh kristus.

Baca juga  Merangkul Bumi (Persembahan untuk Peringatan Hari Bumi, 22 April)

Sebagai anggota yang dipanggil oleh Kristus menjawabnya dalam mengakui, menghargai atau saling menghorti sesama sebagai makhluk yang luhur. Kebranian mengakui keberagaman baik suku, agama, potensi dan lain sebagainya adalah harta dalam mencipkan kehidupan yang solid dan persatuan yang toleran.

Komunio yang solid dan solidaritas (1 Kor 12:13-20;26) terwujud bila setiap anggota menanamkan sikap tenggang rasa, toleransi, dan empati (12:26). Keutaman prinsip tersebut tidak hanya menyangkut membantu dalam bentuk material, tetapi membuka diri untuk turut merasakan semua hal yang dirasakan oleh anggota lain yang sudah dipersatukan dalam persekutuan.

Sikap ini pun turut membebaskan setiap anggota yang menderita. Perwujuduan sikap solid dan solider  ini adalah hal kecil yang membawa pengaruh besar (bdk.1 Kor 12:26). Kristus sebagai Kepala  adalah puncak prinsip solidaritas, melalui  kematian-Nya pada kayu salib  akibat dosa-dosa manusia (1 Kor 15:13), kita dipanggil untuk menyatakan keselamatan lintas batas.

Kristus menyerahkan diri-Nya, demi cinta-Nya yang tak terbats  terhadap manusia, cinta yang memberikan keselataman (seteriologis) kepada seluruh anggota-Nya.  Lantas, kita sebagai anggotanya tidak seharusnya berperasaan malu, enggan, minder dan takut untuk mengambil sikap menghargai  tapal batas agar setiap orang merasa diakui dan dieterima dalam kemajemukan, saling menolong-demi membebaskan orang yang ditolong. Sikap solider dalam setiap budaya menggambarkan kepedulian akan keadilan dan ketentraman dunia, sebab sikap solider harus diperjuangkan mulai dari akar rumput (bdk.Sinaga,1984:42-43).

Baca juga  Satu Tubuh Banyak Anggota: Beragam Sebagai Kekayaan

Sikap   saling mengasihi dan saling melayani (1 Kor 12:14-20;26) adalah bagian tak terpisahkan dalam meramu kehidupan  yang adil dan tentram. Gambaran kasih dalam persekutuan Paulus dianologikan kepada seluruh anggota tubuh yang jika salah satunya sakit, maka tubuh sebagai pemersatu mersakan hal yang sama (1Kor 1214-: 20).

Karena itu, demi keceriaan dan suka cita setiap anggota yang telah dipersatukan oleh Kristus akan terwujud bila nilai-nilai kasih dibenihkan dalam hati setiap anggota (1 Kor 12:26). Sebab kasih dan mengasisihi adalah kebajikan ilahi, dengan mengasihi sesama, maka Allah mengasihi anggotanya yang bersatu dalam Kristus (KGK 1882).

Kekuatan kasih menyempurnakan seluruh talenta atau kemampuan jemaat. Tanpa kasih, semuanya akan menjadi sia-sia (1Kor. 1: 26-31; 13:1-13). Mengakui pribadi  sebagai bagian dari aku   yang lain, harus menyata dalam merasakan hal yang sedang dialami oleh orang lain (1kor 12: 12-31; 13: 1-31). Pemaknaan dan perwujudan sikap ini harus menembus batas. Tidak memandang dia dari agama apa, suku apa, berapa usianya, apa pekerjaanya, apa jabatannya.

Kekuatan kasih yang telah menembus batas, membongkar sekat pemisah antar satu dengan yang lain. Dan kembali menerima anggota lain apa adanya, sebagaimana tubuh manusia yang setia dan selalu menerima anggotanya. Hal ini menggerakkan setiap anggota untuk menerima anggota lain secara total.  Karena semua anggota adalah milik Kristus dan bersatu dalam Dia (1 Kor 12:21-23;26-27).**)

Tag: