Part II (Selesai)
Penulis mengakui pembaca media ini dari beragam agama bahkan suku, dan saya yakin dalam keragaman itu selalu dan pasti ada kebajikan-kebajikan untuk memupuk persauadaran dalam kemajemukan. Melihat keragaman sebagai kekayaan adalah hal vital yang selau ada dalam diri setiap orang. Pengakuan negara akan keberagaman itu terungkap dalam semangat BINEKA TUNGGAL IKA dan Pancasila.
Biarlah agama atau suku kita berbeda, tetapi negara kita adalah Indonesia. Negara yang berdiri di atas banyak anggota (suku dan agama) membentuk satu tubuh, yang sejak kemerdekan disebut Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI). NKRI adalah tubuh yang mempersatukan setiap seluruh anggota Negara yang sangat majemuk. NKRI, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Pancasila adalah sumber kebajikan anggota Negara untuk bersikap toleransi dengan anggota lain, demi terwujudnya kehidupan sosial yang sangat harmonis.
Toleransi dipandang sebagai, kebajikan harus nyata dalam kehidupan sosial yang pluralis. Dapat dikatakan tolerasi, bila yang lain menerima anggota lain dengan seluruh karatiristiknya; sebagaimana yang disebutkan dalam sila kegita Pancasila, yakni persatuan Indonesia. Sila ketiga Pancasila, secara singkat dapat dikatakan sebagai pengakuan mutlak Negara akan keberagaman anggota Negara.
Nilai Pancasila memberikan kekuatan dan kesempatan kepada setiap orang untuk melihat perbedaan sebagai kekuatan untuk tetap menjadi negara yang memiliki nilai toleransi yang tinggi. Memberikan kebebasan kepada setiap pribadi untuk mengembangkan potensinya demi memajukan bangsa selaras Pancasila dan UUD 1945. Maka isu SARA yang menggangu kestabilan politik di negeri ini tetap tidak dibenarkan dengan dalil pembelaan apapun. Isu SARA sangat berdampak buruk dalam tatanan sosial sekaligus ancaman bagi negara yang berdiri di atas keberagaman.
Tingginya harapan dan cita-cita untuk mewujudkan komunio sosial yang damai, aman dan sejahtera tidak terluput dari berbagai macam persoalan. Jika benih-benih persoalan tersebut tidak ditemukan akarnya, maka hal tersebut terus menjalar dan berkembang serta melilit setiap anggota persekutuan.
Karena itu, berikut ini penulis mencoba memaparkan beberapa hal terkait persoalan dasar yang meretakkan hubungan antar anggota komunio. Pertama, toé ngo haé «tidak loyal terhadap sesama». Sikap tidak loyal (toé ngo haé) terhadap sesama dapat kita alami dalam berbagai bentuk, seperti tidak percaya orang lain (toé imbi ata haé), menganggap yang lain tidak mampu dan perbedaan pandangan atau pilihan setiap anggota persekutuan.
Mungkin menurut sebagian orang, hal tersebut dianggap sepele. Namun perlu disadari bahwa pengakuan akan keberadaan orang sangat dibutuhkan dalam komunio sosial. Hal tersebut dapat dilakukan dengan beragam cara, seperti mempercayakan orang lain bahwa dia mampu, mengakui asal-usul, jangan mengedepankan prinsip-prinsip yang sulit diterima oleh anggota komunio dan mengakui keluarga (haé wa’u)
Kedua, menertawakan kekurangan orang lain: mematikan karakter. Menertawakan kakurangan orang lain adalah salah satu sebab rancunnya komunio sosial. Akibat dari hal yang sama adalah mematikan karakter anggota lain, meminderkan anggota lain untuk berada dalam persekutuan, mematikan semangat orang lain untuk turut menyukseskan kepentingan bersama. Oleh karena itu, demi menanamkan semangat persaudaran dan kesatuan dalam berbagai kekurangan dan kelebihan, setiap anggota harus menanamkan rasa cinta dan saling mengahargai satu sama lain, melihat orang lain sebagaiman melihat diri sendiri (lélohaé cama ného lelo wéki ru).
Ketiga, tidak setia pada kesepakatan bersama. Kesetian dan ketaatan dalam menjalankan kesepakatan bersama adalah hal yang sangat dibutuhkan. Namun, ketika salah satu anggota komunio keluar dari kesepakatan, akan menimbulkan ketidakstabilan dalam tubuh komunio itu sendiri. Apa lagi kalau sudah mengiyakan kesepakatan tersebut, namun tidak dilaksanakan atau dengan kata, tidak sejalan apa yang ada di hati, dengan apa yang dikatakan dan dilaksanakan (dion wa nai, dion eta mu’u, dion eta mu’u dion pede). Karenanya menghargai kesepakatan bersama adalah satu keharusan dalam masyarakat. Setia, bukan berpangku tangan. Namun, setia harus diwujudakan dalam tindakan, yakni menjalankan apa yang telah disepakati bersama.
Keempat, nuk wéki ru. Sikap nuk wéki ru «Nuk: ingat, menyadari; wéki ru: diri sendiri, pribadi» atau semakna dengan sikap egois adalah salah satu penyebab retaknya komunio sosial . Menempatkan diri sebagai orang yang paling mampu adalah bagian dari sikap egois, sehingga kehadiran dan keterlibatan orang lain tidak diperlukan. Dengan kata lain, ketika sikap tidak percaya orang lain (toé ngo haé, toé imbi haé «toé ngo haé),tidak memberikan kesempatakan kepada orang lain; terus melekat dalam diri setiap orang, harapan akan persekutuan yang harmonis sulit diwujudkan, sehingga bukan tidak mungkin sikap tersebut lama kelamaan akan meruncing perpecahan.
Dari gagasan di atas penulis menggarisbawahi bahwa, sikap egoisme adalah bagian dari pengkrisisan identitas orang lain. Karena, kekuatan sikap tersebut dapat menghalangi anggota lain untuk mengambil bagian atau dilibatkan dalam hal tertentu. Sebab pada prinsipnya, setiap anggota mempunyai kemampuan dan kreativitas masing-masing. Salah satu jawaban yang pasti dari semua ini adalah setiap orang harus brani mematahkan sikap egois dalam dirinya dan keluar dari sikap tersebut, sembari mengakui keberadaan dan kemampuan orang lain.
Kelima, dion nai dion pandé, dion mu’u dion gori (tidak konsisten). Dion nai dion pandé, dion mu’u dion gori «Dion nai: lain di hati; dion pandé: lain yang di lakukan; dion mu’u (lain yang diucapkan dari mulut); dion gori (lain yang dikerjakan, atau tindakan yang berlawanan dengan suara hati, pekerjaan atau perbuatan yang berlawanan dengan apa yang telah diucapkan). Sikap tersebut adalah gambaran pribadi yang inkosisten.
Konsisten dalam bagian ini dipahami dalam beberapa hal praktis, yaitu kesesuaian kata yang diungkapkan dengan tindakan, berpegang teguh pada kesepakatan bersama dan menjalankan apa yang telah disepakati bersama. Jika hal ini tidak diwujudkan, maka bukan tidak mungkin itu akan menjadi sebuah persoalan. Tidak menghargai, apa lagi tidak menjalankan kesepakatan bersama akan meruncing timbulnya perpecahan dalam persekutuan, baik dengan keluarga (haé wau) mau pun dengan haé ata «masyarakat umum».
Persoalan sebagai tantangan dalam memperjuangkan kehidupan sosial yang harmonis, yang secara bijak menuntut manusia berakal untuk menghadapinya secara kritis dan sistematis. Oleh karena itu penulis menafarkan hal yang sangat kongkrit sekaligus penting untuk disadarai dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pertma, saling menghormati, saling menghargai dan saling mendengarkan [toleransi] sebagai kunci terciptanya persekutuan harmonis. Kalau setiap pu’u (pribadi) berada dalam ca émpong «serumpun: persekutuan» jika tidak diimbangi dengan sikap saling menghargai, maka persekutuan itu menjadi kaku dan setiap anggotanya berada dalam ketegangan.
Demi terciptanya persekutuan yang harmonis, maka saling menghargai adalah satu sikap dan tindakan yang harus dimiliki setiap orang. Saling menghargai dan mendengarkan orang lain (néka kodé ngo haé koé, néka kaba ngo haé ata). Dapat dikatakan bahwa sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling mendengarkan sebagai satu tindakan yang harus diperjuangkan dalam kehidupan bersama. Hal ini bukan prinsip alternativ, tetapi satu pilihan hidup.
Mengamanatkan prinsip ini, setiap anggota merasa diterima dalam persekutuan. Prinsip tersebut harus diwujudkan dalam cara dan sikap hidup, menyata dalam memberi dukungan moral dan nyata dalam menghormati tanggungjawab serta “kebebasan”, maka dengan demikian terciptalah relasi yang harmonis; sehingga dalm rasa yang sama, setiap anggota merasa percaya diri dalam mengembangkan potensinya (Prior, 1993:135).
Sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mendengarkan tidak dapat diragukan lagi dalam mewujudkan kehidupan sosio-harmanonis dalam lingkungan yang majemuk. Sikap-sikap tersebut digerakkan dalam roh tolerasi. Toleran untuk menerima dan memahami karakteristik orang lain, memperbaiki diri secara bebas dan menghargai tanggungjawab orang lain, sebagaimana pu’u muku «pohon pisang» dan teu «tebu» yang bertumbuh subur dalam satu rumpun, atau keberadaan anggota tubuh yang mempunyai pranan masing-masing.
Ketiga sikap dan prinsip di atas adalah salah satu cara yang harus dilakukan oleh setiap anggota dalam mewujudkan persekutuan yang harmonis, rukun dan damai. Suasana itu dinyatakan dalam sikap dan tindakan hidup, turut merasakan keadaan orang lain, memahami dan menguatkan yang lain sebagai satu tubuh yang tumbuh dan hidup dalam satu rumpun /persekutuan (bdk.GS 92; bdk. 1Kor 12: 14-21).
Kedua, Falsafah Posok (Jantung Pisang): Ketaatan sebagai Dasar dalam Melestarikan Persekutuan. Jantung pisang adalah pemberi tanda yang menunjukkan bahwa, pohon pisang tersebut sudah saatnya untuk membuah. Selain itu, posok muku berfunsgi sebagai pelindung untuk calon buah pisang yang terbungkus dalam posok dan juga sebagai pembuka jalan bagi tandan pisang, yang siap menjaga setiap sisir pisang. Posok muku berada di ujung tandan dan tidak akan bertahan lama, jika dibandingkan dengan buah pisang.
Jantung pisang tersebut saat setelah waktunya selesai untuk mengeluarkan buah, ujung jantung pisang tersebut, seolah-olah berterimakasih dan menatap sumbernya yakni pu’u muku sebagai sumber asalnya. Karena itulah posok muku«jantung pisang»seolah-olah tunduk pada pu’u muku«pu’u: pokok, batang, pohon, pangkal; muku: pisang». Cara dan model akhir dari posok muku tersebut menggungkapkan kesetian dan ketaatan posok dalam membawa buah-buah pisang untuk mematangkan diri bersama tandannya. Karena itu,posok muku dapat dijadikan filosofi dalam menggagas sikap ketaatan dan kesetian terhadap nilai-nilai budaya yang sudah mengakar dalam kehidupan orang Manggarai.
Filosofi posok mukumengingatkan kita akan asal dan tujuan hidup, yakni kesejahteraan atau keharmonisan. Jika setiap orang memahami bahwa, hidup mempunyai asal, maka setiap orang mendalami dan mengingatkan péde agu rejé disé émpo«pede: tinggalkan, peninggalan; rejé : bermufakat, kesepakatan; dise: mereka, empo: nenek, leluhur. Filosofi ini juga megingatkan setiap pu’u untuk menaati hukum adat. Karena ketaatan adalah salah satu kekuatan dalam menciptakan kehidupan yang harmonis, sebagaimana yang digambarkan oleh posok muku yang tunduk pada pu’unya.
Pentingnya mendalami filosofi posok, mengingatkan setiap pu’u untuk melihat dan merenungkan kembali akan pentingnya hidup dalam persekutuan. Setiap orang yang dipanggil dalam persekutuan mempunyai maksud dan tujuan bersama, yakni untuk mewujudkan harapan bersama. Baik harapan untuk generasi sekarang, maupun untuk generasi mendatang. Jika hal itu menjadi harapan bersama, maka setiap orang yang dipanggil harus mentaati hal yang sudah disepakati. Dan Kristus adalah Pu’u (dasar atau pokok) iman Kristen, dalam Dia kita dipersatukan menjadi satu tubuh (bdk.1Kor 12:12;27), sikap ketaatan dan akan iman menjadi dasar dalam mengakui Kristus sebagai pokok (pu’u) dari kelesamatan.
Kataatan (obsequium) yang terungkap dalam go’ét muku ca pu’u néka woléng curup teu ca ambo néka wolénglako adalah dasar untuk menghilangkan perpecahan antar anggota komunio dan dari sanalah persekutuan yang harmonis tercipta (bdk.1Kor 12:25). Taat dan setia menjalankan kesepakatan bersama adalah pedoman dalam menghindari konflik horizontal atar anggota (bdk.1Kor 12: 25.31).
Pedoman tersebut diuraikan secara lengkap oleh Paulus dalam 1Kor 14:37-40. Sikap obsequium yang terungkap dalam go’ét di atas digerakkan oleh nilai kasih yang telah di wariskaan dari generasi sekarangke generasi selanjutnya. Kerana itu, setiap generasi harus mempertahankan dan mewujudkannya, sehingga hal tersebut tetap membawa value positive untuk generasi selanjutnya. Jika manusia selalu ada disepajang masa, maka budaya dan persekutuan lokal selalu menjadi identitas manusia [Mangarai]. Begitupun halnya kasih, kasih tidak akan pernah membeda-bedakan anggota dan manusia disepanjang jaman (bdk 1Kor 12:14-20).
Ketiga, Ca Nai dan Nai Ngalis. Sikap «canai: ca: satu; nai: harapan, cita-cita, kesepakatan, tujuan» satu hati dan keterbukaan untuk menerima yang lain apa adanya «naingalis» sebagai saudara dan sahabat adalah satu hal penting yang sangat dibutuhkan dalam membangun persekutuan yang solid dan solider. Setiap pribadi «pu’u» harus merasa diri sebagai bagian dari komunio tersebut , seperti halnya pisang yang serumpun.
Menerima orang lain apa adanya sebagaiama teu ca ambo. Sikap tersebut merupakan semangat yang menggerakkan setiap tubuh dalam ca ambo, untuk melaksanakan hal yang sudah disepakti bersama dengan menghargai kemampuan orang lain atau melibatkan pu’u lain sebagai bagian dari dirinya (bdk. 1Kor 12:22-25).Kedua spirit ini adalah nafas dasar dalam melibatkan orang lain, sebagai pribadi yang sama-sama memiliki semangat untuk mewujudkan harapan bersama.Merasa diri berada dalam satu rumpun, akan memudahkan setiap pribadi untuk membantu dan menerima orang lain sebagaica ambo sertamenggerakan setiap pribadiuntukbertanggungjawab dalam menghidupkan dan menciptakan komunio yang harmonis (bdk. Hemo, 1990:226).
Ca nai, nai ngalis untuk campé haé disimpulkan dalam satu kata, yaitu sikap solider atau solidaritas (bdk.1Kor 12:14-24). Artinya, sikap solidaritas melekat dalam persekutuan. Nai ngalis akan terlakasana bilamana setiap pu’u yang berada dalam ca émpong baé momang haé (saling membantu dalam satu rumpun atau komunio).
Sikap tersebut bukan untuk melemahkan semangat kerja orang lain, atau mengharapkan rasa kasihan dari orang lain. Namun sebaliknya, sikap tersebut sebagai wujud sikap saling menghormati, saling melayani untuk berat sama dipikul ringan sama dijinjing dan ungkapan rasa solider dengan sesama anggota yang ada dalam serumpun (Guido, 2012:48). Buah dari sikap ini akan membebaskan setiap anggota dari berbagai kekurangan atau penderitaan, baik moril (eksistesi orang lain diakui) maupun material (bdk.1Kor 12: 26).
Keempat, saling membantu (campé haé) dan rasa cinta (momang haé baé nuk hae wa’u), saling melayani [solider] dan kerja keras serta konsisten demi terwujudnya komunio sosial yang solid. Sikap konsisten dan kerja keras dari nafas persekutuan orang Manggarai yang terungkap dalam go’ét muku ca pu’u néka wolénng curup téu ca ambo néka woléng lako.
Namun hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa semangat kerja keras dan konsistenadalah sikap yang terungkap dalam persekutuan lokal. Jadi, saling mengasihi, menghormati sesama, saling mendengarkan, kerja keras dan konsisten adalah bagian terpenting dalam mewujudakan komunio sosial dan ekologis yang solid. Artinya, konsisten dalam memaknai setiap go’ét sebagai pemersatu dalam kehidupan bersama dan diiwujudkan dalam semangat kerja keras untuk mensejahterakan anggota komunio.
Hal ini menunjukkan nilai kasih sudah mengakar dalam persekutuan orang Manggarai. Semangat kasih menguatkan setiap anggota untuk berkerja keras dalam mengembangkan potensinya dan bersikap konsisten untuk mempertahankan kekahasan komunio orang Manggarai yang mengedepankan hak ulayat atas alam.
Kemampuan dan dorongan untuk bekerja adalah salah satu karunia (potensi) manusia yang diberikan oleh Allah sejah lahir. Potensi itu dilengkapi dengan nafas baé campé haé «baé: tau, mengetahui, menyadari; campé: membatu, menolong. Sikapsaling membantu» yang dilandasidengan sikap momang haé, baé nuk hae wa’u «momang: ingat, kasih, solider; hae wa’u: keturunuan, keluarga:sikap kasih yang tapal batas» dan saling melayani [solider] dan demi terwujudnya komunio sosial yang solid.
Cinta kasih menggerakan setiap anggota untuk membantu orang lain dalam satu persekutuan. Karena itu, saling melayani dalam nafas kasih adalah hal yang menyempurnakan komunio itu sendiri (bdk. 1Kor 12:23-27). Kakuatan komunio solid dan solidaritas adalah nilai-nilai cinta kasih yang melekat disetiap anggota, sebagaimana yang terungkap dalam makna go’ét mukucapu’u dan téucaambo (bdk. 1Kor 12:27-31), dan hal yang terdapat dalam 1Kor 13:2-6. Walaupun demikian, penulis tidak membahas secara khusus pasal tersebut (1Kor 13), karena acuan dalam tulisan ini bukan teks tersebut.
Sikap campé haé yang berakar dalam cinta akan sesama adalah kekayaan yang harus dilestarikan dan melekat dalam persekutuan. Kedua prinsip tersebut harus selalu diperjuangkan dan diwujudkan demi terciptanya persekutuan yang harmonis, sebagaimana yang terungkap dalam go’ét porong muku ca pu’u néka woléng curup teu ca émpong nékawolénglako. Kata porong diartikan sebagai harapan dan cita-cita setiap pu’uyang terusdiperjuangkan dan dipertahahnkan untuk selalu bersatu, néka biké lobo lime «perpecahan» (bdk.1Kor 12:25)
Campé haédan rasa cinta terhadap sesama (baé momang haé) adalah nafas persekutuan lokal. Nafas yang turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. kekuatan cinta yang mengakar dalam hati membuka diri untuk membantu dan melayani orang lain, sebagai satu rumpun. Campé haé adalah hal konkrit yang harus diwujudkan dalam persekutuan, baik campé dengan material maupun secara moril. Termasuk dalam mengambil keputusan. Singkatnya, campé haédidasarkan kerana dalamnya cinta terhadap anggota yang serumpun. Cinta dan saling membantu yang dililit oleh tali kasih harus diaktualasikan dalam tindakan.
Ngalisnai té campé haédanmomang haé, baé nuk hae wa’u adalah kekuatan kasih yang berkar dalam muku ca pu’u dan teu ca ambo (émpong) merupakan roh dalam menghadirkan komunio yang harmonis, dan berpacu pada prinsip kasih Yesus. Campé haé, dan momang haé baé nuk haé wa’u adalah wujud nilai kasih yang perlu dihidupi dalam persekutuan. Sikap saling membantu antar anggota dalam serumpun, dirohi oleh kekuatan cinta. Keduanya disempurnakan dalam prinsip kasih. Jika tanpa kasih, maka semuanya akan menjadi sia-sia (bdk.1Kor 12:25-26).
Kelima, nékanuk wéki ru, gauk agu wintuk di’a demi terciptanya persekutuan yang solid. Lepaskan egois (nuk wéki ru) dan gauk agu wintuk di’a (bertutur dan bertingkah laku baik) adalah hal yang sangat erat kaitanya dalam menciptakan persekutuan yang solid.Toénuk [ngo] haé, nuk wéki ru adalah hal yang harus dihilangkan dalam kehidupan bersamaSebaliknya, mengakui orang lain dan mengingat akan orang lain serta wintukagu nggauk di’a agu haé wa’u, nggitu kolé agu haé baé adalah hal yang tidak terpisahkan dalam persekutuan.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa, melepaskan ego tidaklah cukup dalam meramu persekutuan yang harmonis. Karena itu, sikap dan tingkah laku serta santun dalam berbicara adalah hal yang turut mempengaruhi keberadaan komunio itu sendiri.
Melihat orang lain sebagai sahabat dan saudara ditunjukkan dalam sikap dan tingkah laku, bukan dengan teori atau hayalan semata. Harapan akan komunio yang solid terwujud, bilamana setiap anggota mempunyai prinsip yang sama, yakni menanamkan rasa saling menghormati, taat dan santun dengan sesama. Sikap lain, dalam mematahkan sendi-sendi egoisme adalah setiap pribadi melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama.Tentunya, hal ini pula bagian dari wintuk agu gauk di’a (Hemo,1990:224-226).***