Fenomena Longgarnya Netralitas Polri dalam Pencalonan Pilkada dan Masuknya Paham Radikal dalam Parpol

Sejumlah perwira aktif polri dalam jabatan struktural dan fungsional Polri, seperti Irjen Pol. Paulus Waterpauw, Kapolda Sumut, Kombes Syafiin, Analis Madya Bidang Hukum Mabes Polri dan AKBP. Marselis Sarimin Karong, Kapolres Menggarai, masing-masing melakukan sosialisasi tentang visi dan misinya sebagai bakal calon tanpa mengindahkan sejumlah larangan dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri dan Peraturan Kapolri No. 19 Tahun 2011, tentang Pencalonan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

“Netralitas dan Imparsialitas Kepolisian Nasional mulai diperlonggar oleh kehendak para Perwira Polri itu sendiri, tanpa memperhatikan larangan di dalam UU Polri di tengah dugaan kuat masuknya paham radikal dalam institusi negara termasuk dalam tubuh Polri,” ujar Koordinator TPDI, Petrus Salestinus, melalui percakapan WhatsApp, Rabu 2 Agustus 2017.

“Sehingga bisa berakibat fatal dimana Polri tidak mampu menjaga netralitas dan Imparsialitasnya lagi. Akibatnya, loyalitas anggota Polri dikhawatirkan tidak lagi tunggal hanya kepada Pancasila, tetapi juga kepada Ideologi lain yang dibawa kaum radikal,” ujarnya menambahkan.

Karena itu, menurut Salestinus, Kapolri bersama Kompolnas dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diminta untuk turun tangan memperketat pelaksanaan UU POLRI dan menyelidiki tindakan insubordinasi anggota Polri aktif dalam jabatan struktural di Kepolisian, tetapi sudah menggalang kekuatan, mendekati dan didekati pimpinan Partai Politik untuk menjadi bakal calon.

Sedangkan pada saat yang sama, lanjutnya, sejumlah Partai Politik bukan saja menolaK Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Ormas, tetapi juga secara terbuka menolak Pembubaran HTI yang dalam aksi politiknya menolak Ideologi Negara Pancasila.

“Dengan demikian anggota Polri aktif yang sudah terlanjur mendaftarkan diri ke Partai Politik sebelum mundur dari jabatan dan keanggotaan sebagai Polisi, jelas merupakan sikap insubordinasiatau pembangkan dan harus dipecat,” cetusnya.

Mendesak pemecatan, ini alasanya

Petrus yang juga merupakan advokat Peradi ini berkata, anggota Polri yang mendaftar ke Parpol tanpa mengundurkan diri dari kedinasa Polri terlebih sebaiknya dicopot dari jabatan sekaligus dipecat dari anggota Polri apalagi hal itu telah diatur dalam konstitusi.

“Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menegaskan bahwa Kepolisan Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagai alat negara dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya kemanan dalam negeri (pasal 5 UU Polri),” terang Salestinus.

“Sedangkan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden, dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 8 UU Polri),” ujarnya menambahkan.

Kepolisian Negara Republik Indonesia, kata Salaetinus, mesti bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, tidak menggunakan hak memilih dan dipilih, dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian (amanat pasal 28 UU Polri).

Dalam penjelasan disebutkan bahwa Kepolisian Negara RI bersifat netral adalah bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Namun keikutsertaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 123 UU No. 5 Tahun 2014, Tentang Aparatur Sipil Negara(ASN), tidak mau ketinggalan bahkan dengan tegas mewajibkan kepada “pegawai ASN dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden dan seterusnya sampai Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota, wajib menyatakan mengundurkan diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.

“Jadi substansi dari larangan secara berlapis di atas, adalah agar netralitas Polri tetap harus dijaga demi kepentingan umum dan agar tidak ada lagi anggota Polri yang berlindung dibalik alasan HAM untuk ikut dalam Pilkada atau anggota Polri bukan Pegawai Negeri,” urai Petrus Salestinus. (js)