Polisi menjerat enam orang tersangka kasus tambang pasir Wae Reno dengan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dua undang-undang ini memiliki ancaman pidana berbeda, yakni 10 tahun penjara untuk UU Minerba serta ancaman tiga tahun bui untuk UU Lingkungan Hidup.
Penutupan lokasi tambang galian C Wae Reno oleh jajaran Polres Manggarai Nusa Tenggara Timur sampai pada penetapan enam tersangka didasari fakta hukum bahwa para pemilik lokasi penggalian pasir tidak memiliki izin.
“Polisi dalam melaksanakan tindakan hukum selalu berdasarkan perintah undang-undang. Penertiban lokasi pasir Wae Reno serta lokasi galian pasir lainya di Manggarai dan Manggarai Timur berdasarkan dua undang-undang tersebut, Minerba dan Lingkungan Hidup,” ujar Wakil Kepala Polres Manggarai, Komisaris Polisi Tri Joko Biyantoro, saat berdialog dengan perwakilan demonstran yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat pemilik lahan pasir Wae Reno, Rabu 30 Agustus 2017.
Seperti diketahui, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) bersama masyarakat Desa Ranaka Kecamatan Wae Ri’i berunjuk rasa di depan markas Kepolisian Resor Manggarai Nusa Tenggara Timur, Rabu, 30 Agustus 2017 menuntut pembebasan enam orang pemilik lahan pasir di Wae Reno yang ditahan polisi. Pengujuk rasa juga meminta polisi membuka akses bagi warga untuk kembali beraktivitas di Wae Reno.
Selanjutnya, dalam dialog tersebut, Wakapolres Biyantoro menolak berdebat tentang perizinan sebab hal itu merupakan ranah pemerintah daerah Kabupaten Manggarai bersama Pemprov NTT. Polisi, kata Kompol Biyantoro fokus menangani pelanggaran hukum yang dilakukan enam tersangka, pemilik lokasi galian pasir Wae Reno.
“Penatapan tersangka dalam kasus ini sudah sesuai koridor hukum sehingga tak perlu dipersoalkan lagi,” imbuhnya.
Wakapolres Biyantoro mengatakan, sampai pada tahap penyidikan, polisi telah memeriksa sejumlah pihak dari jajaran birokrat. Menurut dia, masih ada kemungkinan pihaknya menetapkan tersangka lain.
“Bahkan tidak sampai pada enam orang, bisa jadi akan merambat ke pihak lain,” tambahnya.
Dikatakan Komisaris Tri Biyantoro, sebelum melakukan penutupan lokasi tambang galian C, jajaran unit Tipidter telah melakukan pencermatan terhadap berbagai hal, termasuk ada tidaknya sosialisasi terkat perizinan.
Dan kata dia, penyidik memiliki bukti bahwa telah dilakukan sosialisasi pengurusan perizinan tambang galian C oleh Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Manggarai tahun 2016 dengan masyarakat pemilik lahan pasir Wae Reno.
“Terus masyarakat bilang tidak ada sosialisasi, kita ada buktinya, lembar kordinasi penertiban penggalian pasir Wae Reno tanggal 21 Oktober 2016 bertempat di Kantor Desa Kecamatan Wae Ri’i. Anggota kita hadir. Jelas ya,” lanjutnya.
Bahkan, Wakapolres Manggarai memastikan akan mengusut ada tidaknya izin wilayah pertambangan untuk kali Wae Pesi Reo, mengingat di lokasi tersebut selain sebagai sumber batu dan pasir juga dibangun dua alat pencampur aspal atau biasa disebut Asphalt Mixing Plant (AMP).
Pihaknya juga akan menyasar pengusaha yang mengolah batu yang diambil dari lokasi galian C untuk diolah menjadi batu pecah kemudian dijual selain untuk kebutuhan proyek.
“Kita akan usut semuanya. Ada tidak izinnya, lokasinya ada di dekat pemukiman penduduk lagi. Semua akan kita sikat,” tegasnya. (js)