Bocah Penakluk Gunung

Cerpen
Oleh: Feliks Hatam

Lon adalah salah satu dari 10 anak di kampung itu yang memiliki semangat menggapai mimpi. Mimpi mereka tidak pernah pudar, walau tatapan terhalang oleh gunung raksasa itu. Gunung itu memisahkan pandangan akan wajah kedua orang tua mereka. Lon, dan anak-anak usia enam tahun di kampung itu harus berpisah dari pelukan orang tua, demi cita-cita untuk mendapatkan pendidikan.

Mereka adalah anak dusun, kampung mereka dikelilingi gunung yang dilindungi negera. Pohon-pohon di hutan yang dijamin keutuhannya dalam setiap paragraf undang-udang negara menjadi saksi bisu akan pendihnya prasaan mereka, baik di kala musim kemarahu maupun di musim hujan. Padang alang-alang menghiasi bukit-bukit, memanjakan mata oleh ayunan manjanya. Kesejukan air yang langsung dari sumbernya memberikan keteduhan jiwa.

Air pancuran yang disinari seberkas cahaya, dari cela-cela dedaunan menjadi saksi akan pertumbuhan dan canda tawa seluruh isi kampung itu.
Air itu, memberikan keteduhan dan kesejukan batin dan hati setelah seharian bermandikan mentari. Kemurnian air itu, memberikan semangat bagi semua orang dikala pagi menyapa.

Suara burung-burung, angin hutan yang tidak pernah dinodai oleh karya manusia, air alam yang belum pernah dikotor oleh aktivitas kreatif manusia menjadi hal biasa bagi semua orang di kampung itu, dan mungkin akan menjadi hal luar biasa bagi orang-orang yang setiap harinya hanya mendengar kelakson kendaraan, melihat gedung bertingkat, dan menghirup udara yang dicampuri oleh hasil kreasi manusia.

Ayunan dedaunan yang bermusikan anggin seakan berkata “mereka bukan anak biasa, mereka bukan gerasi biasa yang diragukan, mereka adalah anak kampung yang patut diperhitungkan, semangat juang mereka adalah harta yang tersimpan oleh negeri ini, yang terletak dipelosok negeri”. Sejak lahir, anak-anak di kampung ini dicintai oleh alam. Alam yang mencintai mereka.

“Ya, anak-anak di kampung ini dicintai oleh alam. Kaki kecil mereka tak sedikitpun mengeluh saat melintasi bukit dan lembah. Tidak ada dalam kamus hidup mereka untuk pulang di tengah jalan, saat pergi ke sekolah. Seakan ayunan daun pepohonon dan keelokan alang-alang menghibur dan menguatkan langkah mereka”

Baca juga  Merangkul Bumi (Persembahan untuk Peringatan Hari Bumi, 22 April)

***

Onsi, Siswa SD dari Waetana

Ada tangis dikala pertama meninggalkan orang tua untuk mendapat status siswa di sekolah dasar pada sekolah yang ada di kampung tetangga, yang dibatasi oleh hutan dan gunung milik negara.

“Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini” Kata Theresa sambil menghapus air mata yang terus mengalir dari mata anaknya. Lon menganggukan kepala dan berusaha memahami setiap kalimat yang ucapkan oleh sang ibu.
“Mama, tapi kakiku masih kecil dan belum kuat untuk berjalan di gunung itu” Sahut anak sulung itu kepada kedua orang tuanya dalam nada datar. “aku belum tahu masak, belum tahu cuci pakayan, mama. Siapa yang cuci pakianku nanti? Tanya Lon sambil memegang pakian seragam sekolahnya.

“Lon, nanti kau tinggal di rumanya bapak Ton dan mama Lia, mereka semua baik, mereka sudah kasih tahu kepada kami, untuk membantumu masak dan cuci pakian” pesan sang ibunda untuk menyakinkan anaknya. Kata sang ibunda dibenarkan oleh sang ayah dengan annggukan kepala dan senyuman lebar sambil menepuk bahu anaknya, membuat Lon yakin akan semuanya baik-baik adanya.

***
Harinya sudah tiba, Lon dan anak-anak di kampung itu harus meninggalkan orang tua, dan siap melintasi gunung. Ada wajah yang tidak dapat dibohongi oleh prasaan, ada wajah yang dengan jelas meggambarkan kesedian, dengan air mata selalau membanjiri pipi. Tidak ada suara, bisu sekejab, hanya air mata yang terus mengalir, saat melihat kaki anak-anak mereka langkah dengan pasti meninggalkan kampung, melangkah dengan kebranian melintasi gunung dan bikit-bikit kecil.

Baca juga  Prapaskah dan Prapemilihan Menyonsong “Kebebasan dan Keselamatan”

Lingkungan baru, wajah baru, dan keluarga baru membuat Lon menetaskan air mata. Tidak ada kata verbal yang diucapkan, hanya menganggukan dan menggelangkan kepala bila ada pertanyaan dari bapak Tom dan Ibu Lia, sebagai orang tua barunnya di kampung yang dekat dengan sekolah tersebut.

“Lon, ini kamar tidurmu, sekarang kamu boleh tidur, dan harus selalu bangun pagi” kata Ibu Lia dalam nada datar dan halus sambil menghantarkan Lon ke tempar tidu. Lon, memandang sekilas wajah ibu barunya sambil mengangguk.

Air mata seakan tak bisa dibendung, perasaan tidak bisa dibohongi saat ia kembali mengingat suasana di rumahnya. Matanya enggan terpecam, saat meningat kembali kebiasaanya sebelum tidur yang selalu ada tawa bersama bapa dan mama, ada aksi manja yang mencuri hati bapa dan mama.

Hati dan prasaanya seakan menggumpulkan rasa nggtuk saat ia kembali mengingat pesan sang ibunda “Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini”

“Lon, bangun! Siap pergi sekolah! Suara ibu Lia yang sedang berdiri di pintu kamar tidurnya. “Ya bibi” sahut Lon dalam datar dan serak. “ayo, cepat, sekarang sudah jam 06.00, nanti kamu terlambat, apalagi ini hari pertamamu masuk sekolah” kata bu Lia dalam nada menyakinkan dan meyemangatinya. Lon, hanya bisa menganggukan kepala. “Sebelum berangkat ke seokalah, harus sarapan” kata bu Lia yang sudah mempersiapkan sarapan.

***

Semangat mencari mimpi, walau melintasi bukit, walau meninggalkan orang tua dalam usia enam tahun, adalah hal yang tidak masuk akal bagi sebagian orang yang sudah merasakan sedikit kemajuan, seperi pelayanan pendidikan yang dekat dengan adanya sekolah, pelayanan kesahatan dengan adanya puskesamas, dihantar dengan motor oleh orang tua saat pergi sekolah.
Semua kemewahan itu itu mustahil di alami oleh Lon dan anak-anak yang dilahirkan di kampung yang jauh dari kata kemajuan. Tapi mustahil juga bagi anak-anak di kampung itu untuk tidak mendapatkan pendidikan.

Baca juga  Muku Ca Pu’u Néka woléng Curup Téu Ca Ambo Néka Woléng Lako. Apa Maksudnya?

Kaki kecil anak-anak di kampung ini seakan dibentuk dan terbiasa melintasi gunung yang memisahkan dengan kampung tetangga, tempat mereka mengais ilmu. Prasaan dan sifat kemandirian anak-anak di kampung ini dibentuk oleh keadaan dan situasi. Tidak ada kesempatan orang tua untuk mengajarkan mereka mandiri. Tetapi situasi dan kesempatan ada untuk mereka belajar mandiri. Rasa pantang menyerah seakan tumbuh dalam diri mereka saat melintasi gunung dan lembah itu.

Sehingga tidaklah heran, bila Lon dan anak-anak dari kampung yang dikelilingi oleh gunung-gunung itu disebut anak-anak penakluk gunung. Karena semangat mencapai mimpi, kebranian melintasi gunung, dorongan untuk berusaha agar bisa berdiri dan duduk bersama orang lain yang dibersarkan ditengah kemajuan, seakan ingin mengatakan “kami memang dari kampung, tetapi semangat dan daya juang kami bukan kampungan”. Walau Lon dan teman-teman seusianya berasal dari kampung tertinggal, tetapi semangat juang mereka tidak pernah tertinggal. Mereka tidak pernah berpikir bagaimana melintasi gunung yang memisahkan kami dengan bapa dan mama, tetapi yang mereka pikirkan adalah kami harus mendapat pendidikan, di mana saja sekolah itu ada.

***
Ada kerinduan saat setiap akhir pekan mereka bersama keluarga, bapa dan mama, kapan kami melihat cahaya yang mengalahkan pelita saat gelap tiba. Setiap tetesan keringat yang mengalir dari pipi imut mereka saat melintasi gunung ada harapan dalam nada tanya, kapan kita mendengar klakson mobil dari dapur rumah dan kapan kita melihat mobil dari jendela rumah, kapan kita bebas, kapan kita merdeka. Kemerdekaan ke-II.

*) Feliks Hatam. B. adalah nama pena dari Benediktus Feliks Hatam. Saat ini Cerpenis tinggal di Ruteng.

**) Cerpen adalah fiktif, mohon maaf bila ada kesamaan kisah dan nama tokoh.
Itu hanya kebetulan.

Beri rating artikel ini!
Bocah Penakluk Gunung,5 / 5 ( 1voting )
Tag: