‘Konsensus Politik’ Kristen vs Katolik, Cara Halus Memotong Kader Potensial Dalam Pilgub NTT

Pemilihan Gubernur NTT memang baru terlaksana pada tahun 2018 mendatang, namun berbagai isu politik mulai satu per satu dihembuskan sebagai amunisi merebut simpati publik. Salah satu isu yang mulai santer diperbincangkan adalah konsesus politik yang sudah terlanjur diyakini sebagian kalangan sebagai rumus baku pada setiap pilgub NTT.

Bagi sebagian kalangan yang jeli melihat dinamika politik NTT, rumus itu sebenarnya sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa ada pembagian jatah kue kekuasaan antara kader yang beragama Katolik vs Kristen Protestan. Sederhananya begini, jika pilgub kali ini dimenangkan kader katolik maka pilgub yang akan datang harus dimenangkan kader protestan.

Pola ini sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan pilgub tetapi telah menjadi rumus baku dalam beberapa posisi strategis di partai politik, kepemerintahan bahkan merembes ke bidang pendidikan.

Bukan rahasia lagi jika ketua sebuah parpol di NTT beragama katolik maka sekjennya harus protestan, begitu pun sebaliknya. Jika calon wali kota kupang protestan maka wakilnya harus katolik. Jika pejabat di lingkup birokrasi provinsi NTT didominasi katolik maka lembaga pendidikan Undana harus didominasi bahkan dipimpin oleh orang protestan.

Pola distribusi kekuasaan ini memang tidak terasa dalam dinamika politik di level kabupaten karena kebanyakan menganut mayoritas tunggal. Namun di daerah yang menganut mayoritas ganda seperti kota kupang, dikotomi ini sangat jelas dalam setiap pertimbangan politik. Auranya lebih terasa lagi dalam perebutan kursi nomor satu di NTT pada pilgub tahun 2018 mendatang.

Bahkan saat ini telah beredar info yang disebarluaskan agar periode ini harus orang protestan yang jadi gubernur. Menurut mereka, hal ini sudah menjadi konsensus sejarah yang harus terus ditradisikan. Juga kabar teranyar bahwa untuk mewujudkan niat ini ada kalangan tertentu yang akan menutup pintu untuk cagub dari kalangan katolik.

Caranya ialah dengan membeli semua partai politik sehingga calon-calon katolik untuk gubernur tersisihkan. Cara politik seperti ini jelas merupakan bentuk diskriminasi, tidak mendidik, anti Pancasila dan menolak keberagaman politik. Dalam konteks demokrasi, giringan isu seperti ini mengarah pada kehancuran demokrasi karena menolak asas persamaan setiap warga negara di depan hukum dan pemerintahan.

Cara politik seperti harus dilawan agar tidak menjadi budaya buruk dalam demokrasi di level local khususnya di NTT. Proses demokrasi yang seharusnya menjadi wadah terbaik menjaring pemimpin berkualitas justru diperkosa oleh hawa nafsu bersifat sectarian dan primordial. Buruknya lagi jika giringan isu seperti sengaja dihembuskan oleh elit politik tertentu yang merasa diuntungkan secara politik.

Demokrasi sejatinya mengedepankan persaingan yang sehat. Jika kita sepakat bahwa pilgub NTT pada tahun 2018 menghasilkan pemimpin yang berkualitas, maka biarkan tokoh-tokoh yang mau maju Cagub bersaing secara sehat tanpa membawa-bawa isu agama dan suku.

Penciptaan isu seperti ini juga sebenarnya cara halus untuk memotong figur katolik yang mungkin potensial menjadi gubernur NTT. Lalu pada gilirannya juga akan memotong figure protetestan yang mungkin lebih potensia dan berkualitas.

Cara ini harus kita lawan habis karena argumentasinya sesat dan menyesatkan rakyat NTT juga mengingkari prinsip kedaulatan rakyat atau demokrasi. )***

Alfred Mone, pegiat sosial, tinggal di Kota Kupang