Polisi menutup sejumlah lokasi tambang pasir di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur sejak 18 Agustus 2017 lalu. Lebih dari itu, enam warga pemilik pasir Wae Reno kini meringkuk di sel tahanan Polres Manggarai.
Nyaris tak ada yang mengapresiasi langkah kepolisian. Sebaliknya tindakan polisi disebut sebagai kejahatan kemanusiaan karena menahan masyarakat kecil yang tidak melek regulasi.
Senljumlah pihak mempertanyakan adakah alasan mendesak yang berkaitan dengan kejahatan pertambangan pun darurat lingkungan hidup dibalik penutupan seluruh lokasi galian C.
” Ini rapor merah buat kepolisian terkhusus bagi Kapolres Manggarai,” ujar Marsel Gunas, pegiat sosial asal Manggarai Timur tinggal di Jakarta, saat duhubungi Minggu 3 September 2017.
Menurut Marsel Gunas, figur AKBP Marselis Sarimin kontras dengan pernyataannya di media selama ini, yang katanya lebih mengedepankan pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah ketimbang langsung memberi tindakan hukum.
” Kasus ini bukan kejahatan terorisme atau operasi tangkap tangan yang terjadi di lokasi pasir. Sebagai anak tanah dan kapolres pertama orang Manggarai, pak Marselis perlu lonto leok ( berunding) dulu dengan Pemda setempat, jangan lantas tutup dan tahan masyarakat,” ungkap Marsel.
Dikatakan Marsel Gunas, dengan adanya fakta bahwa seluruh lokasi penambangan pasir di Manggarai dan Manggarai Timur tak satupun yang mengantongi izin, maka kondisi tersebut bisa dijadikan bahan diskresi kapolres.
“Artinya, perizinan menjadi bukan satu-satunya soal, tapi ada hal yang berkaitan dengan itu termasuk unsur pembiaran dari pemerintah daerah karena aktivitas penambangan pasir di dua kabupaten itu sudah berlangsung sejak lama,” tambahnya.
“Pemda Manggarai dan Matim terkesan malas membantu masyarakat mengurus perizinan. Tau memungut pajak galian C saja dari pasir dan batu yang dipakai pada setiap proyek pemerintah. Dan salah satu pemasukan tertinggi daerah bersumber dari pajak galian C. Ini catatan bagi polisi bahwa jangan lantas kesalahan itu ditimpakan seluruhnya ke masyarakat,” ujarnya menambahkan.
Mantan Ketua PMKRI Cabang Ruteng yang biasa dipanggil Gans ini menilai, penahanan enam warga Desa Ranaka merupakan tindakan semena-mena dan melukai hati masyarakat.
“Apapun alasannya, kepolisian dalam hal ini harus dikritik. Terus didorong gerakan dan upaya membebaskan enam warga yang ditahan,” cetus dia.
Gunas pun meminta Kapolres Manggarai, AKBP Marselis Sarimin segera ambil langkah bijak.
“Bebaskan tahanan serta membuka kembali seluruh lokasi yang ditutup sambil masyarakat memenuhi kewajibannya yakni mengurus izin. Pemda juga mesti pro aktif berkordinasi dengan Pemprov NTT supaya masalah perizinan tambang pasir di Mangarai dan Matim jadi prioritas sebab masalah ini berdampak pada mandeknya kegiatan pembangunan di dua wilayah itu,” imbuhnya.
Marsel Gunas berkata, persoalan serupa juga terjadi di Bali dan pinggiran Jawa Timur. Kata dia, masalah izin tambang pasir dan batu di Bali dan Jawa Timur teratasi tanpa ada pihak yang masuk penjara.
” Di Jawa dan Bali penyelesainya bagus, kepolisian selalu berkordinasi dengan Pemda serta masyarakat. Tidak langsung segel lokasi atau tahan orang,” ia mencontohkan.
Marsel Gunas juga menyinggung lokasi galian pasir milik Kapolres Marselis Sarimin di Borong yang luput dari penyegelan.
“Lokasi pasir milik pak Marselis (Kapolres) juga dipersolakan oleh masyarakat Borong saat ini. Itu karena lokasi tersebut tidak dipasang police line seperti yang terjadi pada lokasi gali pasir lainnya. Ini jelas tidak adil,” ungkapnya. (js)