Gelombang protes terus bergulir pasca ditutupnya seluruh lokasi galian C di Kabupaten Manggarai oleh polisi sejak 18 Agustus 2017 lalu.
Hari ini, Senin 4 September 2017, warga enam Gendang dari Kecamatan Ruteng gerudug Kantor DPRD setempat. Melalui lembaga dewan, warga mendesak agar polisi segera membuka lokasi tambang pasir Weol, Ndung,Tuke Nikit dan Wae Lerong yang disegel sejak pekan lalu.
Seperti disaksikan, sekitar 500 an warga, laki-laki dan perempuan serta anak-anak diangkut menggunakan 20 truk. Iring-iringan kendaraan sempat mencuri perhatian warga kota Ruteng. Mereka tiba di kantor DPRD sekitar pukul 10.15 WITA.
Tak mau bertele-tele, kordinator warga, Ferdinandus langsung menghadap Sekertaris Dewan, Hendrik Amal, meminta dialog dengan para wakil rakyat.
Permintaan warga kemudian dilayani, namun hanya 50 orang perwakilan masyarakat diperbolehkan masuk ke ruang dialog. Tak lama kemudian, tampak puluhan polisi bersenjata lengkap juga datang ke Kantor DPRD.
Warga dalam kesempatan itu awalnya mendesak pimpinan DPRD, Paulus Peos, supaya menghadirkan Kapolres AKBP Marselis Sarimin dan Bupati Deno Kamelus. Namun permintaan warga tak bisa dipenuhi. Paulus Peos, yang memandu jalanya dialog memastikan akan mengagendakan Rapat Dengar Pendapat bersama kepolisian dan bupati.
“Nanti ada waktunya kami hadirkan Kapolres dan kepala daerah, tetapi saat ini kami ingin mendengar keluahan bapak ibu sekalian,” kata Paulus Peos sekaligus menyapa warga Kecamatan Ruteng itu.
Dalam kesempatan itu, warga menyerukan agar polisi segera membuka seluruh lokasi galian pasir yang disegel sejak pekan lalu sehingga warga kembali mengais rezeki di situ. Masyarakat menilai, penutupan lokasi tambang pasir Weol, Ndung, Cara dan Tuke Nikit di Kecamatan Ruteng, bikin masyarakat menderita.
“Kami punya lahan pribadi ditutup oleh orang jelas kami marah. Kami kerja sejak tahun 1980 tapi polisi tanpa permisi langsung tutup lokasi cari makan kami. Makin lama kami menganggur makin sengsara keluarga kami,” ujar Tu’a Golo Weol, Andreas Larus.
Bahkan kata Andreas Larus, ia sangat membenci tindakan kepolisian karena menyegel tanpa didahului sosialisasi sekaligus member waktu bagi masyarakat untuk mengurus perizinan jika legalitas menjadi alasan bagi Polri melakukan tindakan hukum.
“Kami masyarakat buta huruf. Kalau seumpama ada aturan kasi tau to, supaya kami laksanakan apa perintah undang-undang, jangan langsung-langsung tutup saja. Kami minta siapa itu orang yang tutup supaya buka kembali kami punya lokasi pasir,” tegasnya.
Senada dengan Andreas, tokoh muda Kecamatan Ruteng, Feri Cembes mengaku sangat menyayangkan tindakan kepolisian yang dinilai tergesa-gesa dan mengorbankan banyak pihak.
“Saya pikir, karena pak Kapolres ini orang Manggarai, tentu ada yang namanya Lonto Leok (berunding). Ini langsung segel. Terus terang kami sangat kecewa dengan pak Kapolres,” ucap Feri Cembes.
Cembes, dalam pernyataanya memberi ultimatum kepada pihak kepolisian agar segera buka akses bagi masyarakat supaya bisa beraktivitas kembali.
“Jika tuntutan kami tidak dipenuhi, kami warga Kecamatan Ruteng kembali turun ke jalan melakukukan aksi demo besar-besaran,” sambungya.
Meski dialog hanya mendengar “curhat” dari warga, namun Wakil Ketua DPRD, Paulus Peos tidak bisa menjamin kapan persoalan tersebut selesai.
“Kalau soal pentutupan lokasi tambang pasir, itu kewenangan kepolisian, kami tentu tidak bisa mengintervensi. Tetapi yang berkaitan dengan keluhan dari bapk ibu kami akan sampaikan ke pemerintah juga kepolisian,” kata Peos yang didampingi, sejumlah anggota dewan.
Sementara itu, anggota DPRD lainya, Marsel Ahang, mempertanyakan kewenangan siapa sesungguhnya dibalik aksi penutupan lokasi tambang pasir di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur.
“Kalau ini murni perintah Kapolres AKBP Marselis Sarimin, maka kita yakin bliau akan menggunakan diskresi untuk menghentikan kasus ini. Tapi jika ternyata, penutupan ini merupakan perintah Kapolda, maka urusanya tidak semudah yang kita bayangkan. Bisa Panjang urusannya,” ungkap legislator asal Kecamatan Ruteng ini.(js)