Oleh : Alfred Tuname
Isak tangis anak sekolah mengharu seisi ruangan. Gadis manis itu lesu dihimpit pikiran. Dadanya sesak dipecut beban. Hanya tersisa derai air mata yang jatuh terbelah di sisi-sisi pipi. Dalam gagap dan hirup nafas yang dalam ia bertanya tentang penutup pasir galian C. Ia bertanya sebab nasip masa depannya (sekolah) bergantung pada tenaga dan jeri paya orang tuanya. Orang tuanya bekerja sebagai penambang pasir galian C.
Mungkin seperti itulah gambaran kesedihan seorang anak perempuan pada aksi penolakan penutupan tambang pasir galian C yang sedang jadi dibicarakan publik. Anak-anak sering tidak berdaya bila berhadapan dengan kekuasaan. Hanya ada derai air mata. Mereka adalah korban (victim) dalam huru-hara politik kekuasaan.
Anak-anak adalah bagian dari orang-orang kecil dan lemah yang sering menjadi obyek penyerta dalam acting kekuasaan. Praktik kekuasaan yang tidak bijaksana, itu laksana fasis yang mengeksekusi kehidupan masyarakat demi menghilangkan mimpi buruk (nightmare) penguasa itu sendiri. Demi terlepas dari ketakutannya sendiri, penguasa menjadikan masyarakat sebagai tumbal.
Ketakutan (paranoia) penguasa adalah ketakutan akan kehilangan kekuatan dan kendali atas skuad kekuasaan itu sendiri. Atas ketakutan itulah tunas-tunas ambisi muncul demi kelanggeng kendali. Seakan tongkat kekuasaan itu tak boleh lepas dari jemari terbiasa menggenggamnya.
Seputar Pasir
Maka penutupan pasir galian C sejatinya bukan sekadar melepas genggaman jemari penambang dari linggis, tetapi memotong harapan hidup masyarakat banyak. Kemelut penutupan pasir galian C seakan menjelajahi gua gelap kekuasaan dengan stalaktit-stalakmit kepentingan politik, hukum, sosial dan ekonomi yang untouchable.
Penutupan pasir galian telah memangkas sirkulasi ekonomi produksi (pemilik lahan dan penambang), distribusi (para sopir) dan konsumsi masyarakat (kontraktor, tukang, dll). Gejolak “inflasi” pun mengitari soal ketergantungan pada pasir galian C. Stock dan supply pasir galian C yang terbatas mengakibatkan kenaikan harga pasir.
Kenaikan harga pasir akan diikuti dengan kenaikan harga bahan-bahan bangunan. Harga semen, besi, pipa, cat dan lain sebagainya, tentu saja mengalami kenaikan. Kenaikan harga-harga bahan bangunan tidak saja menghambat pembangunan fisik (proyek) tetapi juga berdampak pada kualitas bangunan. Lingkaran setan (vicious circle) kesengsaraan masyarakat terus berputar.
Atas dasar pola hukum ekonomi pemintaan dan penawaran pada gejolak penutupan galian C, ada contagious effect pada harga-harga sembako di masyarakat. Harga-harga sembako di pasar mengalami kenaikan mengikuti trend kenaikan harga bahan bangunan. Di sini lingkaran setan kesengsaraan masyarakat semakin berputar kencang.
Triger-nya adalah penutupan tambang pasir galian C. Gara-gara itu, kehidupan sosial-ekonomi masyarakat terganjal. Masyarakat kecil (penambang) kehilangan pekerjaan, kelas menengah gagal membangun (rumah), para ASN dililit oleh kenaikan harga sembako. Singkatnya, penutupan harga pasir telah merusak equilibrium (keseimbangan) ekonomi dan sosial di segenap lapisan masyarakat.
Vandalisme Hukum
Lantas benarkah eksekusi hukum atas tambang pasir galian C didasarkan atas political will demi kebaikan bersama? Justru yang tersurat dari aksi itu adalah pecahnya gipsum politik dalam “trias politica”. Ada keterbelahan sikap dan fragmentasi politik di lembaga legistatif (DPRD); ada ketersinggungan politik (otoritas) pada pihak pemerintah daerah; ada keserampangan tafsir atas undang-undang yang bernuansa ekologis. Secara metaforik dapat dikatakan, “ketika para gajah berkelahi, rumput dan pohon-pohon akan rusak, patah, tumbang berantarakan”.
Dalam sirkuit politik lokal, rumput-rumput tidak disiram, justru diinjak-injak oleh praktik vandalisme hukum. Hukum diperalat untuk kepentingan gairah dan ambisi politik dan ekonomi. Hukum sudah terlampau akrab berkawan politik. Sudah menjadi praktik banal bahwa hukum menjadi alat ampuh untuk menjegal lawan-lawan politik. Skenario hukum pun diramu dalam pasal-pasal janggal untuk menjerat lawan politik.
Juga, sudah menjadi rahasia umum bahwa pasal-pasal hukum menjadi “alat tukar” manjur untuk dibarter dengan sejumlah uang. Setiap pasal memiliki harga. Ada sejumlah uang yang harus dibayar untuk mendapatkan kebebasan. Sama halnya dengan aset-aset yang ditahan, ada uang jaminan untuk me-release aset-aset tersebut. Hanya sebagai ilustrasi, untuk mendapatkan kembali aset-aset, seseorang mesti membayar Rp 150 juta untuk alat berat exavator dan Rp 25 juta untuk mobil dump truck. Seperti itulah wajah vandalisme hukum kita.
Dalam proses eksekusinya, hukum memang tidak “memandang bulu”, tetapi detail subyek hukum dilihat dari sisi kedekatan dan “kepemilikan”. Hukum kadang tajam ke atas, tetapi dengan niat profit politik. Mata dewi hukum selalu tertutup dalam proses hukum, tetapi lebih terang dalam melihat gambar mata uang dan pedang bermata duanya bisa membolak-balikkan pasal. Hukum selalu tak gentar membela yang bayar.
Itulah hukum kita. Tidak semua, tetapi banyak fakta praktik hukum terjadi di tanah kita. Lantas apakah demontrasi masyarakat bisa meniadakan banalitas praktik hukum kita? Jika kembali pada konteks penutupan tambang pasir galian C, demonstrasi adalah ekspresi “yang-politis” masyarakat atas kesewenangan-wenangan hukum. Masyarakat tidak sedang meminta “kebijaksanaan”, tetapi menuntut keadilan.
Hukum tidak dibuat demi hukum itu sendiri. Hukum hanya berarti kesewenangan jika tanpa pertimbangan kebaikan bagi masyarakat. Nurani hukum adalah keadilan bagi masyarakat. Di manakah keadilan bila semua tambang (bukan cuma satu) pasir galian C dipasang police line, tanpa sosialisasi dan alasan rasional?
Kalau semata alasan surat izin, mengapa puluhan tahun lalu tambang pasir galian C tidak ditertibkan? Kalau alasan penutupan tambang pasir galian adalah untuk membentuk koperasi, mengapa dengan cara penutupan semua tambang pasir galian C? Sejak kapan penegak hukum atau aparat keamanan “sibuk” urus koperasi warga? Bukankah ada cara yang lebih beradab dan komunikatif dalam proses pembentukan sebuah koperasi?
Dari soal penutupan tambang pasir galian C itu, rasio publik bisa menduga bahwa ada manipulasi hukum dan abuse of power demi kepentingan ekonomi dan monopoli harga pasir. Sebab bisa jadi, ada tawaran semacam “an offer who can not refuse” kepada para pemilik-pemilik tambang pasir galian C. Rasio publik tentu pasti bisa menduga isi tawaran-tawaran itu sitz im leben, yakni proses “demokrasi lokal”.
Demokrasi
Demokrasi lokal memang selalu dilalui dengan tawaran-tawaran genit kekuasaan. Tetapi, kegenitan kekuasaan tidak serta merta merusak imajinasi publik tentang politik yang santun, hukum yang beradab, dan ekonomi adil. Mencapai kekuasaan pun tidak bisa dilakukan dengan cara mengeksklusi masyarakat ruang ekonomi dan sosialnya.
Manakala fasisme dan vandalisme selalu mendewakan cara-cara kekerasan, demokrasi hadir menawarkan pendekatan yang humanis dan komunikatif. Di balik kemelut penutupan tambang pasir galian C, selalu ada cara yang lebih demokratis untuk melerai soal. Pendekatan hukum mungkin saja benar, tetapi pilihan demokratis berpijak pada kebijaksanaan. “Hukum yang demokratis” adalah penegakan hukum yang mempertimbangan keadilan segenap dimensi kehidupan masyarakat.
Hukum yang demokratis pada soal tambang galian C adalah tidak memaksakan niat dan kehendak “penegak hukum”, tetapi membiarkan hukum melindungi masyarakat. Akhirnya, police line pada setiap lokasi tambang pasir galian mesti dilepas tanpa syarat/jaminan apa pun, sebab masyarakat mau melanjutkan hidup!
Alfred Tuname
Penulis dan Esais