Oleh : Alfred Tuname
Floressmart.com—Demokrasi itu seperti komunikasi, negoisasi dan mufakat membangun sebuah rumah tangga. Ada janji sehidup-sematidan harapan untuk hidup bersama yang sejahtera.Kalau dalam tradisi Kristiani, seorang pria yang melanggar janji pernikahan dan “melepas” istrinya (vice versa), dianggap sebagai kebiadaban. Secara sosial, pelakunya dianggap tidak bermoral, tidak normal, penipu, pelaku kekerasan (simbolik), dll.
Sederhananya, seperti itulah demokrasi. Defenisi klasik demokrasi adalah “dari, oleh dan untuk rakyat”. Di situ, ada janji dan harapan: kebaikan bersama. Pelanggaran atas janji akan mematikan harapan.
Munculnya demonstrasi dan (bahkan) chaos bukan karena manuver politik, malainkan karena janji dan mufakat tidak terpenuhi. Jadi, demokrasi adalah soal pemenuhan mufakat untuk kesejaheraan umum.
Dalam praktiknya, demokrasi selalu multi tafsir dan multi praktik. Frank Hendriks dalam bukunya Vital Democracy: A Theory of Democracy in Action (2010) menulis, “democracy is understood and operationalized in many differentways – it is an essentially contested concept disguised as a commonplace”.Sebab itulah demokrasi Indonesia selalu mempunyai variannya sendiri, selain demokrasi prosedural Pemilu.
Demikian pula cara berpikir para founding fathers kita. “…Ya demokrasi, tetapi demokrasi yang mempertimbangkan keindonesiaan. Seperti yang berlaku di desa atau di nagari” (Jakob Oetama, 2001). Itulah kongruensi serapan konsep demokrasi Yunani ke dalam konteks budaya Indonesia.