Floressmart—Bupati adalah pemimpin suatu wilayah kabupaten. Ia adalah pemimpin politik. Sebagai pemimpin politik ia mengikuti perintah undang-undang, yakni hanya lima tahun, atau maksimal sepuluh tahun kalau terpilih kembali.
Karena itu, setelah dua periode lima tahunan, bupati tidak dapat mencalonkan diri kembali sebagai bupati di mana pun di wilayah kedaulatan NKRI. Kecuali ia “naik pangkat”, sebagai calon gubernur/wakil gubernur, calon anggota DPD atau DPR. Semua itu tergantung niat dan kelakuan baik bupati itu sendiri selama menjabat.
Kalau bupati itu koruptor, tukang terima amplop proyek, plintat-plintut antara omongan dan perbuatannya, maka bupati tidak akan dipilih oleh masyarakat. Ia tidak akan dihargai masyarakat, ibarat anaknya yang tidak menghargainya. Masyarakat akan menganggapnya sebagai pribadi yang tidak tahu terima kasih dan tidak tahu etika.
Masyarakat biasanya tahu kelakuan dan kepribadian bupati. Bupati yang bijak adalah bupati yang mampu mengatasi semua persoalan, baik di masyarakat maupun di OPD (Organisasi Perangkat Daerah). Ia mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Ia menjadi orang terdepan untuk membantu setiap pegawai atau pejabat pemerintah daerah yang terkena masalah hukum. Setidaknya, ia memberikan bantuan hukum terhadap mereka.
Dalam banyak praktik politik pemerintahan, bupati seringkali lupa akan nasib rakyatnya. Tetapi ia hanya sangat ingat akan komisi-komisi proyek dari para kontraktor. Maklum, bupati punya kuasa untuk mengatur jatah-jatah dan distribusi proyek. Biasanya, proyek besar berarti komisi besar dari kontraktor besar.
Parahnya lagi, sebagai bapak, bupati kadang seringkali tutup mulut ketika seorang kontraktor terkena persoalan hukum. Sama halnya juga ketika para pejabatnya mendapat persoalan hukum. Buruknya lagi, jika justru bupatilah yang melapor atau mengusut pejabat-pejabat tertentu atau suatu hal hanya karena alasan, misalnya tidak sesuai kemauan bupati. Padahal, sebagai pemimpin ia bisa mengunakan cara yang bijak sesuai dengan aturan atau nilai budaya yang ada di masyarakat.
Semua terjadi biasanya ketika bupati sudah kehilangan kharisma atau tidak percaya diri. Pemimpin yang kehilangan “roh” kekuasaannya biasanya bertindak tidak sesuai dengan nomenklatur atau alur kebiasaan. Tipikal seperti itu ada pada bupati yang biasanya mulai kehilangan jabatan. Boleh jadi itu gejala post power syndrome.
Padahal, masyarakat membutuhkan pemimpin yang punya nurani. Apa pun situasinya, ia tetap berada di dekat masyarakat. Artinya, bupati harus menjadi bapak bagi masyarakat banyak; bupati harus menjadi pimpinan yang kebapakan dan bijak bagi pegawai-pegawainya.