Floressmart—Ikatan Masyarakat Adat Manggarai Anti Tambang (IMAMAT), bersama JPIC OFM, JPIC Keuskupan Ruteng, dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), kembali menyelenggarakan pertemuan berkaitan dengan konflik pertambangan di Manggarai dan Manggarai Timur.
Kegiatan tahunan yang digawangi Lembaga Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) bersama para pemuda, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, serta semua stake holder akan digelar di Sengari Kecamatan Reok, Sabtu, 9 Desember 2017.
Kegiatan tahunan ini lagi-lagi diarahkan agar masyarakat Mangarai menjaga dan memperkuat identitas diri, budaya dan adat istiadat, kearifan lokal (local genius) serta perjuangan untuk mewarisinya kepada generasi penerus.
“Semua pihak tentu punya kemauan dan tujuan bersama demi bonum commune, kuni agu kalo tanah Manggarai,” ujar Pastor Peter Aman, OFM (Direktur JPIC OFM Indonesia) kepada wartawan, Jumat petang.
Pertemuan tersebut kata dia, khusus mengulas sisi gelap kehadiran pertambangan di Manggarai dan Manggarai Timur berikut dampaknya. Dikatakan, masyarakat yang berdampak langsung dan tidak langsung, tak pernah didengar, apalagi untuk dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan.
“Penerbitan izin-izin tambang ini juga berlangsung dalam ruang tertutup. Dan pemerintah cenderung memposisikan warganya sebagai pembangkang, oposan dan penghambat kebijakan pembangunan di wilayah tersebut,” sambung dia.
Kini, di saat masa berlaku seluruh IUP di Manggarai dan Manggarai Timur mau berakhir, namun ruang-ruang hidup masyarakat telah lama dihancurkan tanpa rehabilitasi.
“Tidak ada yang bertanggungjawab. Lingkungan hidup telah rusak. seperti yang terjadi di Timbang, Kecamatan Cibal, Maki di Kecamatan Reok Barat, Torong Besi Kecamatan Reo, Serise, Satar Teu dan Lengko Lolok di Kecamatan Lamba Leda,” beber pastor Aman didampingi Melky Nahar (Kepala Kampanye JATAM).
Lembaga JPIC juga mengekspos pola adu domba dan pendekatan intimidatif dari aparat keamanan dan pemerintah (bahkan anggota DPRD) serta strategi bujuk rayu dan pembohongan publik yang pada akhirnya merugikan hak-hak warga.
“Cara-cara itu telah menjebak warga masyarakat lingkar tambang untuk menyerahkan lahan-lahan pertanian tanpa kompensasi atau keuntungan ekonomis, yang menjadi hak warga pemilik lahan atau hak ulayat,” tulis
Lebih lanjut dijelaskan, pertambangan kian menjadi momok yang menakutkan karena telah membawa dampak buruk bagi keberlanjutan lingkungan, ruang-ruang produksi rakyat seperti pertanian dan perkebunan, juga pesisir dan kelautan.
“Banyak ruang hidup manusia yang dirampas dan dialihfungsikan, sumber-sumber air warga dicemari, hutan dibabat habis, bahkan tak sedikit masyarakat diintimidasi dan kriminalisasi, hingga mendekam di penjara,” terangnya. (js)