Oleh : Petrus Salestinus, Koordinator TPDI
Floressmart—Propam Polda NTT masih gamang untuk menetapkan siapa sesungguhnya tersangka dalam OTT Propam Polda NTT, meskipun yang tertangkap tangan adalah Iptu Aldo Febrianto, Kasatreskrim Polres Manggarai yang terjadi pada tanggal 11 Desember 2017 yang lalu. Publik NTT muali cemas melihat arah pemeriksaan Propam Polda NTT, meskipun tetap memberikan aspresiasi kepada Kapolda NTT karena telah melakukan OTT terhadap Iptu Aldo Febrianto.
Namun Kegamangan Penyidik karena belum menetapkan status tersangka terhadap Iptu Aldo Febrianto telah menimbulkan kecemasan di kalangan Masyarakat Manggarai dan NTT pada umumnya, karena dikhawatirkan sikap gamang Polda NTT akan melahirkan polarisasi di kalangan masyarakat dan di internal Polda NTT di antara yang pro dan kontra terhadap Penetapan Iptu Aldo Febrian menjadi Tersangka.
Hingga saat ini, Iptu Aldo Febrianto, hanya disebut telah dimutasi dari jabatan Kasat Reskrim Polres Manggarai, namun akal sehat publik memaknai bahwa mutasi adalah persoalan administrasi dan manajemen yang rutin dan normatif dalam setiap organisasi, termasuk dalam lingkungan Polda NTT. Terlebih, mutasi tidak memiliki implikasi hukum apapun terhadap Iptu Aldo Febrianto, sebagai orang yang tertangkap tangan dalam OTT, disertai dengan temuan barang bukti uang Rp. 50 Juta saat OTT berlangsung.
Publik berharap bahwa OTT terhadap Iptu Aldo Febrianto harus berimplikasi hukum, terlebih-lebih setelah diperiksanya saksi Yustinus Mahu, Direktur PT. MMI yang secara yuridis memberikan modal berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti bahkan lebih, untuk menetapkan Iptu Aldo Febrianto menjadi tersangka.
Keberadaan uang Rp 50 juta rupiah di tangan Iptu Aldo Febrianto, adanya pesan SMS via HP dan keterangan saksi Yustinus Mahu dkk terkait permintaan uang jatah proyek, telah memastikan pemberian status tersangka kepada Iptu Aldo Febrianto tidak dapat dihindari lagi.
Beberapa analisis mengatakan bahwa kegamangan Propam menyerahkan kasus OTT Iptu Aldo Febrianto, ke tangan Penyidik Tipikor Polda NTT, untuk sebuah penyidikan dan menjadikan Iptu Aldo Febrianto sebagai tersangka, karena penyidik Propam ingin menerapkan pandangan Hakim Cepi Iskandar dalam putusan Praperadilan Setya Novanto bahwa Penetapan Status Tersangka diujung Penyidikan.
Sementara analisis lain menyatakan bahwa Propam Polda NTT sedang berupaya menyelamatkan Iptu Aldo Febrianto dengan hanya menjadikannya senagai saksi, sehingga penyidikannya akan diarahkan kepada tindak pidana percobaan suap dengan menjadikan Yustinus Mahu, sebagai tersangka.
Analisis yang ketiga yaitu kasus Iptu Aldo Feberianto, hanya akan dijadikan sebagai kasus pelanggaran Etika Profesi, sehingga cukup memerlukan proses penyelesaian diinternal Polda NTT dengan sanksi administratif.
Dalam keadaan dimana publik tengah menanti sikap tegas Polda NTT dalam menindak anggotanya yang melakukan tindak pidana, maka, Polda NTT justru memilih jalan penyelesaian secara internal, hanya dengan menjadikan kasus Iptu Aldo Febrianto, sebagai pelanggaran Etika Profesi.
Jika ini yang terjadi, maka ini jelas telah memutarbalikan kebenaran, membalikan fakta-fakta hukum, terutama adanya temuan uang Rp 50 juta dari tangan Iptu Aldo Febrianto dan kesaksian Yustinus Mahu, bahwa Iptu Aldo Febrianto memerasnya melalui Aiptu Komang Suita, yang saat ini uangannya sudah berada di tangan Propam Polda NTT. Pertanyaannya adalah, kapan Polda NTT memulai Penyidikan
Anomali Penegakan Hukum di Kepolisian, sudah bukan lagi menjadi rahasia umum, penegakan hukum dengan cara, “yang salah dipertahankan dan yang benar disingkirkan” seperti lirik lagu penyanyi balada Franky H. Sahilatua yang berjudul “perahu retak” yang diangkat dari realitas anomali penegakan hukum kita.
Adanya fakta hukum berupa OTT dimana seorang Kasat Reskrim dengan pangkat Iptu tertangkap tangan dalam OTT karena sedang menguasai uang Rp 50 juta rupiah yang bukan miliknya, bukan milik Institusi Polri tetapi proses hukumnya hanya berputar pada persoalan pelanggaran Etika Profesi. Padahal uang Rp 50 juta rupiah yang diduga sebagai hasil pemerasan, telah disita dan diklarifikasi kepada Yustinus Mahu sebagai korban, tetapi mengapa hingga saat ini tidak ada tersangkanya.
Begitu kuatkah jaringan Iptu Aldo Febrianto, dkk di Polda NTT ?. Pertanyaan ini muncul karena pasca terjadi OTT pada tanggal 11 Desember 2017 yang lalu, Iptu Aldo Febrianto masih bergerak bebas bahkan masih memberikan komentar kepada sejumlah wartawan, bahwa dirinya dimutasi ke Polda dan menyangkal adanya OTT Propam Polda NTT. Pernyataan Iptu Aldo Febrianto itu sekaligus membantah penjelasan, Jules Abraham Abas, Kabid Humas Polda NTT pada tanggal 12 Desember 2014, bahwa Propam Polda NTT telah melakukan OTT di Manggarai atas perintah Kapolda dan yang terkena OTT adalah Iptu Aldo Febrianto, Kasat Reskrim Polres Manggarai.
Namun pada hari-hari ini, mulai terjadi pergeseran sikap Polda NTT dari yang semula mengakui OTT, sekarang mulai secara perlahan-lahan Polda NTT mengikuti alur penjelasan Iptu Aldo Febrianto, bahwa Iptu Aldo Febrianto tidak kena OTT tetapi hanya dimutasi ke Polda NTT di bagian Pama Yanma. Kabid Humas Polda NTT, Jules Abraham Abas, dalam penjelasannya tanggal 15 November 2017 kepada sejumlah media, semakin memperjelas posisi Polda NTT menghadapi kasus OTT terhadap Iptu Aldo Febrianto hanya menjadi urusan internal Polda NTT, keberadaan Iptu Aldo Febrianto di Ruteng saat ini hanya urusan pindahan dan mengambil barang-barang miliknya karena yang bersangkutan dikenakan mutasi ke jabatan lain di Polda NTT sebagai Pama Yanma.
Propam Polda NTT seharusnya tidak boleh samakan OTT terhadap Iptu Aldo Febrianto dengan OTT Propam Polda NTT terhadap anggota Polri yang sedang minum miras di klub malam, sehingga hanya dikenakan pemeriksaan dan penindakan berupa pelanggaran Etika Profesi dan diberi sanksi administratif.
Dalam kasus OTT Iptu Aldo Febrianto tentu OTT Propam Polda NTT seharusnya diapresiasi oleh Kapolda, karena yang semula hanya ingin menangkap ikan teri, ternyata yang didapatkan adalah ikan kakap. Yang didapatkan bukan pelanggaran Etika Profesi tetapi yang didapat adalah sebuah Perbuatan Pidana yang dapat dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi atau setidak-tidaknya Tindak Pidana yang disebut sebagai pemerasan dalam jabatan atau dalam bahasa KPK diistilahkan dengan “Mendagangkan Pengaruh”.)***
Penulis merupakan Aktivis Demokrasi & Pengacara, tinggal di Jakarta