Oleh : Kanisius Teobaldus Deki, Dosen STKIP St. Paulus
Floressmart—Kemeriahan pesta tahun baru masih terasa. Di beberapa tempat ornamen lampu hias yang memadati jalan masih belum dibongkar. Demikianpun kandang-kandang natal di rumah-rumah masih terpasang. Sebuah pemandangan biasa di awal tahun 2018. Saling mengunjungi dalam cengkrama penuh joke (lelucon) menciptakan suasana akrab dan bahagia. Seraya menghabiskan aneka kue yang masih tersisa dengan berbagai kisah natal dan tahun baru.
Saya berada di rumah seorang sahabat saat membaca sebuah postingan media sosial facebook dari akun seorang yang saya kenal. Sebuah lawatan yang tertunda kali lalu. Postingan ini sungguh menohok jantung kesadaran akan kerapuhan kodrati manusia: Pius Hamid telah pergi. Sontak saya mengontak keluarga. Ada yang terkejut, ada yang tak percaya, ada pula yang rela. Akhirnya, kami semua berkumpul, merencanakan hal yang perlu untuk menyikapi peristiwa kepergian sang aktivis itu.
Tulisan ini adalah sebuah sedimentasi memori atas kehidupan Pius Hamid. Sebuah tulisan yang lahir dari rahim kedekatan seorang adik terhadap kakak, sahabat terhadap sahabat, aktivis untuk aktivis. Sebuah letupan emosional yang dibingkai dalam alur rasional seraya membawanya dalam refleksi kritis tentang dialektika yang indah antara konsep, kata-kata dan aksi.
Pemberani
Lelaki itu menjadi bahan obrolan santai pun serius di tahun 2003-2004. Manggarai kala itu ditimpa bencana yang menimbulkan prahara kematian bagi lima orang petani dari Colol, desa Uluwae. Mereka tertimpa timah panas dari polisi saat melakukan protes terhadap penangkapan tujuh orang petani yang dituduh merambah hutan di wilayah itu pada 10 Maret 2004. Tubuh bersimbah darah. Penuh luka. Ditembak oleh polisi tanpa ampun. Bupati Manggarai kala itu, Drs. Antony Bagul Dagur M.Si dianggap memiliki kebijakan kontroversial karena menertibkan kawasan yang ditengarai kawasan hutan Negara pada lingko-lingko (kebun komunal) masyarakat.
Kritikan terhadap kebijakan itu dilakukan massif. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat turun ke jalan. Salah satunya adalah LSM local Sankari yang dipimpin oleh Pius Hamid. Kerja link dengan lembaga luarpun tak terelakan hingga memengaruhi Komas HAM untuk turun ke Colol menyaksikan sendiri akibat dari kebijakan pemerintah kabupaten Manggarai saat itu. Pius berani menyuarakan kebenaran tentang kebijakan yang salah arah itu. Demonstrasi dilakukan bersama rekan-rekan seperjuangan dalam kerja tim multilembaga.