Dalam cinta yang tak terbatas, melampaui dunia dan waktu, mereka akan membantu manusia yang masih berjuang di dunia oleh karena permohonan manusia yang masih hidup melalui kurban tertentu sesuai dengan ujud.
Kurban yang dipersembahkan sebagai simbol cinta manusia terentang mulai dari telur ayam (ruha manuk), ayam (manuk), babi (ela), kambing (mbe), kuda (jarang) hingga yang paling besar adalah kerbau (kaba). Telur dan darah hewan kurban adalah simbol kehidupan.
Telur adalah rumah sekaligus awal kehidupan. Darah adalah kehidupan itu sendiri. Hewan kurban memiliki warna tersendiri (wulu) seturut tata upacara dan intensinya. Warna putih melambangkan kesucian dan kemurnian.
Ayam jantan putih dipersembahkan pada ritus Wuat Wa’i (perutusan). Ungkapan yang utama pada doa (torok) Wuat Wa’i adalah “poro neho lalong bakok du lakom, neho lalong rombeng du kolem” (semoga engkau seperti ayam jantan putih sewaktu menuju tempat perjuangan, seperti ayam berwarna-warni tatkala engkau kembali).
Ungkapan ini memiliki makna bahwa seseorang yang diutus harus memiliki kesucian batin untuk memenangkan perjuangan dan berhasil sebagai pemenang dalam pertarungan kehidupan sehingga ia memiliki kesemarakan bagaikan ayam berbulu warna-warni.
Tujuan Ritus
Ritus orang Manggarai dilaksanakan karena ada maksud dan tujuan. Sebuah ritus lahir karena memberikan jawaban atas pertanyaan tentang kenyataan pun masalah yang dihadapi. Kehamilan misalnya adalah kenyataan tentang proses cikal bakal kelahiran seorang manusia.
Karena itu ritus Lamba Wakas adalah sebentuk doa yang dimaksudkan agar ibu sang bayi tetap sehat dan aman, bebas dari gangguan roh jahat. Ritus Cear Cumpe dan Teing Ngasang merupakan pengukuhan status seorang anak kepada masyarakat.