Banyak yang Tidak Mengerti Manajemen Dana Desa

Seminar Nasional Pesta Emas PMKRI Santu Agustinus Ruteng, Jumat 13 September 2019.

Floressmart- Dana desa merupakan salah satu program pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan. Selain ditunjang dengan sejumlah program unggulan, program ini juga didukung oleh anggaran yang besar.

Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), dana desa menjadi salah satu harapan pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tak terlepas dari status NTT sebagai provinsi termiskin ketiga dengan tingkat kemiskinan mencapai 21,35 persen (BPS, Juli 2018).

BPS juga mencatat, lokus rawan kemiskinan di NTT ada di wilayah pedesaan yakni 24,65%. Sedangkan di wilayah perkotaan sebesar 9,09%. Artinya, ada disparitas yang jauh antara desa dan kota.

Apakah dana desa telah membantu NTT keluar dari status provinsi termiskin?

Suhandani, Kasubdit Kerja Sama dan Kemitraan Masyarakat Desa, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes) mengakui, pengelolaan dana desa masih diwarnai dengan penyimpangan dalam pengelolaannya.

Hal tersebut kerap terjadi tidak hanya pada tataran pelaksanaan program, tetapi juga mulai dari perencanaan program. Kekeliruan dalam perencanaan mengakibatkan kesalahan dalam penganggaran. Salah satu sebabnya, menurut Suhandani, adalah masih minimnya informasi perangkat desa terkait model dan manajemen pengelolaan dana desa yang diharapkan.

Baca juga  Deno-Madur Mulai Berkantor di Desa

“Banyak sekali penyimpangan itu terjadi karena ketidaktahuan. Banyak yang salah dalam program. Salah dalam RAB, estimasi, dan lain sebagainya,” kata Suhandani dalam acara Seminar Nasional dengan tema Pengelolaan Dana Desa yang Efektif dan Efisien Menuju Desa Sejahtera dalam rangka HUT ke-50 Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Ruteng Santu Agustinus di gedung Manggarai Convention Center (MCC) Ruteng, Flores, Jumat, 13 September 2019.

Padahal, lanjut Suhandani, filosofi pemanfaatan dana desa sebetulnya dimaksudkan untuk membangun infrastruktur dasar. Misalnya, infrastruktur dasar, Posyandu, Puskesmas Pembantu (Pustu) dan perbaikan sanitasi di desa. Kekeliruan itu terjadi di banyak daerah.

“Misalnya, yang dilakukan oleh pemerintah desa di Kalimantan Barat, banyak sekali kepala desa menggunakan dana desa untuk membeli ambulans,” ujarnya.

Budi Santoso, Direktorat Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar-Komisi dan Instansi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dalam kesempatan yang sama menegaskan, kesalahan pengelolaan anggaran dana desa berdampak pada upaya penanggulangan kemiskinan.

Baca juga  Tugas Hari Kedua, Pjs Bupati Manggarai Bagi BLT Covid

Praktik korupsi dengan cara _mark up_ anggaran juga masih membelenggu pengelolaan dana desa di banyak daerah.
“Kemudian mark-up juga. Harganya dinaikkan dengan kualitas standar atau diturunkan. Laporan fiktif juga terjadi. Terjadi pembengkakan anggaran,” ungkapnya.

Modus praktik korupsi dana desa, kata Budi, kerap dimulai dari tahapan perencanaan. Hal ini mengingat, perencanaan menentukan laporan pertanggungjawaban dana desa.

“Titik awal.korupsi dimulai dari proses perencanaan. Perencanaaan sangat menentukan. Pertanggungjawaban keuangan,” ungkapnya.

Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng Santu Agustinus Ignasius Padur menambahkan, seminar nasional yang mengangkat tema dana pengelolaan dana desa merupakan bentuk upaya PMKRI dalam membangun desa di NTT, khususnya di tiga wilayah Manggarai (Manggarai Timur, Manggarai Barat, dan Manggrai).

Bagi PMKRI, pengawasan terhadap pengelolaan dana desa adalah tanggung jawab yang harus diemban oleh setiap warga negara, khususnya di tiga wilayah Kabupaten Manggarai. Publik berharap penuh pada dana desa agar peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa benar-benar dimulai dari desa.

Baca juga  Bupati Deno Kamelus Buka Turnamen Bola Voli dan Takraw Antar RT Sekelurahan Carep

“Gap kesejahteraan desa dan kota di NTT, khususnya di Manggarai masih lebar. Jika dana desa tak dimanfaatkan secara tepat, gap itu akan terus melebar. Kita perlu kawal itu bersama-sama,” terangnya.

Padur berharap, dana desa dapat dikelola untuk kebutuhan pembangunan di desa, khususnya infrastruktur dasar. Namun, alokasi anggaran yang besar saja tentu tidak cukup. Perlu ada pendampingan terhadap aparatur desa oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan dana desa.

“Sia-sia jika pembangunan hanya mengandalkan anggaran yang besar, tanpa diikuti peningkatan kapasitas aparatur di desa. Ini perlu jadi concern pemerintah daerah di tiga Kabupaten Manggarai,” ucapnya.

Sebagaimana diketahui, setiap tahun, jumlah dana desa yang dialokasikan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2015, dana desa yang dikucur sebesar Rp20,7 triliun. Jumlah itu meningkat pada tahun 2016 menjadi Rp40,9 triliun. Kemudian, pada 2017 kembali ditingkatkan menjadi Rp60 triliun dan pada 2018 sebesar Rp60 triliun. Pada tahun 2019, pemerintah kembali meningkatkan besaran alokasi dana desa menjadi Rp73 triliun.

Dana desa dapat dipakai untuk membiayai pembangunan di desa melalui produk unggulan desa (Prukades), Badan Usaha Milik Desa (BUMNDes), dan Sarana Olahraga Desa (Raga Desa). (js)

Beri rating artikel ini!
Tag: