Oleh: Fransiskus Borgias (Dosen Universitas Parahyangan Bandung)
Saya sudah mengenal nama pater Stanis sejak saya masih kecil sekali, pada masa-masa awal saya masih masuk sekolah dasar di SDK Lamba Ketang, Lelak. Pada saat itu, sejauh yang saya ketahui dan ingat, sebagaimana kata teman-teman masa kecil, Pater Stanis sudah bekerja sebagai pastor Paroki Todo.
Saya masih ingat dengan sangat baik, beberapa kali pater Stanis datang ke Ketang. Oh ya, waktu itu pastoran sudah pindah ke Ketang. Begitu juga dengan gereja paroki, sudah pindah ke Ketang dari Rejeng, Gereja Lama yang saat itu sudah usang dan lapuk. Dari kenangan masa kecil itu saya ingat dua hal. Pertama, pater Stanis suka melucu kepada anak-anak yang sering datang mengerumuninya. Kami suka mengerumuninya karena beliau suka memberi kami sebombon.
Kalau sudah dapat sebombon (permen) dari pater, kami sudah sangat senang. Kedua, saya juga ingat bahwa orang-orang di Ketang dulu dan orang-orang di Kampung sekitarnya bercerita bahwa pater Stanis sangat jago bermain voley. Sayangnya saya sendiri belum pernah melihat hal itu secara langsung. Tetapi karena yang menceritakan hal itu adalah orang-orang yang jago voley, maka saya percaya saja.
Terkadang mereka ceritakan bahwa saking jagonya, beliau tidak jarang bermain satu melawan tiga orang. Itupun tiga orang itu dikasih voor, hahahaha… istilah waktu itu, artinya diberi angka yang tidak berangkat dari nol. Dan itupun pater Stanis masih bisa mengejar dan menang. Pada waktu itu saya membayangkan betapa jagonya pater Stanis bermain voley.
Tatkala saya sudah dewasa dan sekolah di Seminari Pius XII Kisol, saya mendengar sesuatu yang lain. Kali ini saya dengar tentang jasa beliau membangun jalan raya dari Pela (Bung) ke arah Dintor, dengan menaklukkan tuke Gego yang terkenal menyeramkan itu. Saya ingat bahwa jalan raya itu sudah berfungsi sejak awal tahun 80an, saat saya sudah di tahun-tahun terakhir di Kisol.
Luar biasa. Pada waktu itu, jalan Pela-Todo (begitulah ceritanya waktu itu) masih berupa jalan bebatuan. Tetapi jalan bebatuan itu sangat kuat, tidak mudah dibawa air banjir. Dan itulah rahasia kekuatan jalan batu dari Pater Stanis. Saya sudah tidak ingat lagi kapan jalan Pela-Todo itu diaspal. Yang jelas bahwa sejak jalan itu diaspal, maka lalu lintas Ruteng Todo menjadi sangat ramai. Sudah ada juga oto yang melayani rute tersebut.
Sungguh luar biasa. Beliau membuka isolemen yang dulu pada jaman Kolonial sempat dihindari oleh pemerintah Kolonial. Sebab semula ada rencana untuk membuka pusat pemerintahan colonial itu di Todo, tetapi kemudian pusat itu dipindahkan ke Puni Ruteng. Pertimbangannya, karena Todo terlalu terpencil, dan susah air. Sementara di Puni Ruteng, tersedia air yang sangat melimpah dan relative lebih mudah untuk diretas isolemennya. Begitulah kira-kira Karel Stenbrink melukiskan perjuangan masa Kolonial itu.
Hal yang sama juga bisa kita temukan dalam karya dari Dami N. Toda dan beberapa orang lain (rasanya juga disinggung dalam disertasi dari Prof.Robert Lawang, tentang stratifikasi social di Cancar itu). Apa yang dihindari oleh pemerintah Kolonial, dengan tangan yang perkasa dan ketekunan luar biasa diatasi oleh Pater Stanis Ograbek, hampir sendirian. Oh ya, kiranya dengan support dana dari beberapa lembaga donor dari Eropa dan swadaya masyarakat. Luar biasa.
Pada tahun 2009 saya pernah didaulat untuk memberi ceramah tentang Rasul Paulus di kota Palangkaraya. Saat saya di sana saya diberitahu bahwa Pater Stanis sekarang sudah bekerja di kota itu. Sayang, saat saya ada di sana, dia sedang ke pedalaman sehingga kami tidak bisa bertemu.
Saya mengira, jalan Pela-Todo itulah yang terakhir kalinya pater Stanis berbuat sesuatu untuk Manggarai. Betapa saya salah kira besar. Pada tahun 2013, saya tinggal empat bulan di Manggarai untuk melakukan field-research di Perang Lembor, Manggarai Barat. Kampung Perang itu terletak di kaki gunung Pontoara. Cukup jauh dari jalan raya. Cabang jalan raya terdekat ialah ke arah Rangga. Bisa juga ke arah Besi. Tetapi kiranya itu lebih jauh dan medan yang lebih berat juga. Dalam dialog dengan orang-orang di Perang itulah akhirnya saya tahu bahwa ternyata Pater Stanis juga sangat berjasa untuk meretas isolemen Perang itu. Bahkan orang-orang di Kampung Perang itu memandang pater Stanis sebagai sosok penyelamat.
Saya ingat bahwa tahun 1977 saya pernah ikut pesta sekolah di Perang. Kami hanya bisa ke sana dengan jalan kaki. Rasanya jauh sekali. Tetapi tahun 2013, saya bisa naik angkot. Jalan raya ke sana dari cabang Rangga, melewati Wae Lombur, termasuk sangat mulus. Saat itulah para nara sumber saya di sana (terutama bapa kepala Desa) bercerita bahwa adalah Pater Stanis yang sangat berjasa membuat jalan raya itu menjadi bagus dan membuka keterpencilan Perang.
Waktu itu saya terperangah, ternyata Pater Stanis yang tahun 2009an sudah ada di Palangkaraya, ternyata sebelumnya masih sempat berusaha menggerakkan penduduk Perang untuk membangun jalan raya mereka sendiri. Bahkan bapa Kepala Desa waktu itu bercerita kepada saya secara sangat rinci tentang bagaimana Pater memberi motivasi kepada umat untuk mengumpulkan batu.
Kepala Desa mendorong rakyatnya mengumpulkan batu di pinggir jalan. Setelah batu terkumpul sangat banyak, datanglah truck pater Stanis untuk mengangkutnya, dan mulai menanamnya satu persatu di sepanjang jalan dari cabang Rangga ke arah Perang. Setelah bebatuan tertanam di jalan raya, bapak kepala Desa berjuang mencari dana untuk hotmix. Dan berhasil. Awal 2013 (?) jalan itu sudah dihotmix. Pertengahan 2013, listrik masuk ke Perang. Orang Perang, mengenang jasa Pater Stanis dengan penuh rasa kagum dan keharuan. Luar biasa.
Saya merasa bahwa kita semua sangat kehilangan karena kepergian pater Stanis. Tetapi rasanya ada juga yang secara sangat khusus merasakan kehilangan itu. Kehilangan yang sangat dalam. Itu karena yang hilang itu pernah sangat berjasa dalam hidup mereka secara sangat nyata. “Kalau tidak karena pater Stanis, mungkin kami belum bisa menikmati kemewahan seperti yang kami nikmati sekarang ini.”
Begitulah kata-kata yang saya dengar diucapkan orang Perang saat field research itu. Saya memastikan bahwa salah satu kelompok yang merasakan secara khusus kesedihan dan kehilangan itu ialah orang Perang. Pater Stanis telah membawa mereka jalan, lalu menyusul cahaya, dan hidup. Via pater Stanis mereka merasakan dan mengalami warta Yesus dalam injil Yohanes itu, Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Ego sum via, vita et veritas.
Selamat jalan pater Stanis yang sudah mengajarkan jalan, kebenaran dan hidup kepada kami orang Manggarai, bahkan yang bukan orang Katolik sekalipun. Pater membuka jalan untuk semua.)***