Floressmart- Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat menggelar pertemuan empat mata di Keuskupan Ruteng, Selasa (23/6) kemarin.
Seperti ditulis dalam siaran pers yang ditulis Sekretaris Jenderal (Sekjen) Rm. Manfred Habur, Pr, Rabu 24 Juni 2020, menyebutkan, pertemuan dua tokoh didahului dengan ucapan selamat dari Gubernur atas tahbisan Mgr. Siparianus Hormat sebagai Uskup Ruteng pada 19 Maret 2020 seraya memohon maaf karena Gubernur tak bisa hadir dengan alasan wabah Covid-19.
“Bapak Gubernur mengucapkan profisiat dan mengharapkan bantuan dan kerja sama dari Bapak Uskup dalam membangun masyarakat/umat di NTT, khususnya di wilayah Keuskupan Ruteng (Manggarai Raya),” tulis Sekjen Manfred.
Demikian pula Uskup, lanjutnya, juga mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat dan kunjungan Gubernur NTT sekaligus menyampaikan apresiasi atas pelbagai gebrakan pembangunan antara lain pariwisata, penguatan ekonomi rakyat melalui gerakan tanam kelor, arak Sophia, pengolahan garam, perbaikan infrastruktur jalan di Manggarai Raya, pengelolaan pantai Pede yang terbuka terhadap publik.
Pokok pikiran Uskup
Disebutkan dalam press release, Uskup Ruteng menyampaikan beberapa pokok pikiran untuk mendukung pembangunan NTT. Pertama, Gereja Katolik Keuskupan Ruteng selama ini telah berkiprah dalam pembangunan manusia/umat di Manggarai Raya. Hal ini meliputi kegiatan pastoral dalam bidang keagamaan seperti pewartaan, pengudusan, persekutuan, maupun juga pelayanan sosial karitatif dan transformatif di bidang pengembangan kehidupan sosial ekonomi umat, pendidikan, dan kesehatan.
Kedua, selaras dengan fokus Gubernur NTT, Uskup Ruteng juga melihat pariwisata sebagai potensi besar NTT dan penggerak utama (prime mover) bagi sektor-sektor lain dalam mensejahterakan masyarakat. Namun, Uskup Ruteng mengingatkan agar pariwisata tidak hanya berorientasi pada kesejahteraan ekonomi tetapi pada kebahagiaan manusia yang integral.
“Hal ini menuntut partisipasi masyarakat lokal, integrasi nilai kultural dan spiritual setempat, serta pelestarian lingkungan alam dalam seluruh pembangunan pariwisata,” tulis Rm. Manfred.
Ketiga, Uskup Ruteng juga menekankan sektor pertanian sebagai pusat perhatian pembangunan NTT. Untuk itu, diusulkan pembangunan yang masif, sarana sumber air bagi pertanian, seperti bendungan, waduk, dan sumur bor. Selain itu peningkatan nilai tambah produk nilai lokal melalui penyediaan sarana dan pelatihan pengolahan pasca panen, pengembangan pertanian organik yang intensif, penyediaan modal usaha tani melalui Bank NTT yang mudah diakses.
Uskup Ruteng juga mengangkat tema penyediaan dan perbaikan infrastruktur jalan, air minum bersih, pentingnya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia NTT melalui pendidikan, program kesehatan masyarakat yang tidak hanya kuratif tetapi juga promotif dan animatif demi membentuk budaya hidup sehat dan reformasi birokrasi demi terwujudnya birokrat yang disiplin, jujur, aktif, dan kreatif melayani kepentingan umum.
Moratorium tambang
Terkait bidang pertambangan, Uskup Ruteng telah berbicara dari hati ke hati dengan Gubernur NTT. Namun keduanya akan melanjutkan dialog dan berkomitmen mencari jalan dan cara yang terbaik untuk mensejahterakan masyarakat NTT.
Dalam bahan tertulis yang tak sempat dipresentasikan dalam pertemua itu, Uskup Siprianus dipastikan mendukung keputusan Gubernur Laiskodat tentang moratorium izin pertambangan dan meninjau kembali seluruh izin tambang di NTT yang telah dibuat sebelumnya.
“Beliau menegaskan pentingnya pembangunan ekonomi NTT yang berwawasan ekologis, geologis, geografis, kultural, dan spiritual setempa,” ujar Sekjen.
Khusus berkaitan dengan rencana penambangan batu gamping di Lengko Lolok dan pembangunan pabrik semen di Luwuk, Uskup Ruteng menyampaikan dampak-dampak destruktif seperti kerusakan lingkungan yang sangat parah.
“Patut dicatat, wilayah tersebut merupakan bentangan alam karst yang memiliki fungsi resapan air dan menjadi sumber air yang permanen,” demikian Sekjen Keuskupan menekankan.
Selain ancaman kerusakan lingkungan dan ekosistem, kegiatan penambangan tersebut menurut Keuskupan Ruteng dapat menghancurkan mata pencaharian warga, memusnakan kampung tradisional beserta situs budaya dan nilai kulturalnya, membahayakan kesehatan masyarakat yang tinggal di kawasan itu, menimbulkan konflik sosial, dan mengakibatkan ketidakadilan antar generasi.
Fakta memperlihatkan juga bahwa usaha pertambangan di wilayah pantura tidak dapat membawa perbaikan kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Selain itu, reklamasi yang menjadi kewajiban investor tambang sesuai dengan undang-undang tidak dilakukan.
Khusus berkaitan dengan kawasan Pantai Utara (Pantura) dari wilayah Boleng (Mabar) melalui Reok (Manggarai) sampai Buntal (Matim), dalam bahan presentasi tertulisnya, Uskup Ruteng mengusulkan orientasi pembangunan yang tidak berbasis pertambangan meskipun wilayah ini kaya dengan kandungan mineral.
“Berbagai hal inilah yang kiranya dapat dipertimbangkan oleh Bapak Gubernur untuk tidak melanjutkan proses perijinan tersebut. Lebih lanjut, dalam bahan presentasi tertulis, Uskup Ruteng mengusulkan pembangunan ekonomi kawasan pantura yang integral berbasis ekologi, geografi, geologi, demograsi, kultur, dan spiritual setempat,” tuturnya.
Hal ini sambung dia, meliputi bidang pertanian, seperti persawahan, hortikultura, dan perkebunan, bidang peternakan, seperti kambing, babi, sapi, dan kerbau. Hal-hal ini membutuhkan dukungan mutlak tersedianya air yang cukup. Sungai Wae Pesi Reo kiranya dapat menjadi sumber potensial untuk pembanguan bendungan dan sarana irigasi.
Sementara bidang perikanan dan kelautan yang perlu diperkuat seperti budidaya rumput laut dan tambak garam. Bidang pariwisata yang meliputi wisata pantai, ekokultural, dan wisata rohani.
“Bapak Gubernur menyampaikan terima kasih atas pokok-pokok pikiran pembanguan dari Uskup Ruteng dan mengharapkan kerja sama yang intesif dalam membangun ‘NTT bangkit, NTT Sejahtera,” katanya. (js)