Floressmart– Rasio legis Pilkada adalah penghargaan terhadap hak-hak politik setiap warga negara. Semua lapis golongan berhak untuk mendapatkan hak politik: dipilih atau memilih.
Tak ada lagi pemisahan Platonik atas hak politik warga negara: artis, ksatria, penguasa, budak dan pekerja kasar. Tak ada lagi perbedaan hak politik laki-laki atau perempuan; tuan dan budak; bangsawan dan rakyat jelata, dll. Setiap warga memiliki hak politik yang sama.
Semua hak-hak politik itu diatur secara baik dalam sistem demokrasi. Kita pun telah menamini demokrasi sebagai “the only game in town”. Sebagai “permainan”, demokrasi bukanlah permainan elite politik untuk merebut kekuasaan. Demokrasi adalah pemuliaan hak warga negara. Dalam konteks kekuasaan politik, demokrasi adalah perlombaan strategi untuk mendapatkan amanat rakyat.
Perlobaan strategi politik yang paling kasat mata adalah Pemilu/Pilkada. Melalui Pilkada, setiap warga mendapat kesempatan untuk memilih atau dipilih untuk menjadi pemimpin. Hak-hak politik itu telah diatur secara baik oleh peraturan perundang-undangan. Setiap warga negara wajib menaatinya.
Jadi, dalam konteks politik berdemokrasi, tak ada lagi stratifikasi primordial warga untuk mendapatkan hak politik (memilih/dipilih). Kalau masih ada, itu politisasi.
Politisi status primordial warga negara itu terjadi manakala elite politik sudah keranjingan pada kekuasaan. Ia lantas mendefinisikan kekuasaan itu sebagai bagian dari entitas dan identitas primodial. Kalau ia berasal dari kelompok bangsawan, maka ia merasa berhak jadi pemimpin politik. Kalau ia berasal dari trah raja, maka ia lantas berhak mendapatkan kekuasaan politik.
Elite politik seperti itu sebenarnya sedang hidup di era modern dan maju, tetapi pikirannya mundur jauh ke zaman pra-kemerdekaan. Boleh jadi, ia terlanjur dimanjakan oleh statusnya di masa lalu, lalu ingin dimanjakan terus di setiap zaman. Ia ingin terus “disuap” oleh rakyat jelata, atau bahkan (mungkin) ia ingin terus memeras rakyat jelata.
Dahulu, di tanah Manggarai (nucalale), ada istilah mendi dan tuang. Mendi adalah rakyat jelata yang bersedia diperintah dan diperas tenaganya oleh tuang (kelompok bangsawan/raja). Nasib para mendi pun bisa dijual bagai dagangan, atau ditukar-tambah sebagai tawanan. Persisnya, mendi tak punya hak atas hidupnya sendiri. Dalam istilah Giorgio Agamben, mereka disebut sebagai homo sacer.
Oleh karena itu, mengembalikan politik pada stratifikasi primordial “mendi” dan “tuang”, bangsawan dan rakyat jelata, sama artinya menarik mundur keadaban politik kita. Rakyat bukan lagi “tuang”, tetapi jatuh jadi “mendi” penguasa politik. Rakyat tidak lagi sebagai subyek yang dilayani, melainkan obyek politik yang mudah diperas seenak perut.
Perihal itu, tidaklah salah ketika Viktor Madur, politisi Partai Nasdem di Manggarai, ikut memberi tekanan pada bahaya primordialisme dalam politik. “Anak-anak muda harus diajarkan untuk menjadi pemimpin, meski tidak punya garis keturunan bangsawan”, kata Viktor Madur pada kupasmerdeka.com (06/10/2020).
Dalam hal itu, Viktor Madur adalah seorang negarawan. Sebagai politisi, ia cenderung berpikir soal generasi pemimpin masa depan. Pemimpin masa depan lahir dari perjuangan generasi muda yang cerdas dan unggul, bukan dari ketentuan garis darah. Pemimpin tidak muncul dari kemanjaan bangsawan, tetapi dari darah dan keringat generasi yang hebat.
Pendidikan politik kaum muda adalah praxis nilai-nilai kepemimpinan, bukan perihal “primbon” jadi mendi. Siapa pun dan dari golongan apa pun, pemuda bisa jadi pemimpin. Demokrasi memberi akses pada setiap orang untuk memperjuangkan hak politiknya itu, termasuk pada Pilkada.
Nah, kalau politisi sedang mendeklamasikan trah kebangsawanan dalam politik Pilkada, sebenarnya ia sedang mengais remah-remah loyalis primordial. Sayangnya, loyalitas primordial itu hanya bisa mengalir pada timses, tidak mengucur di nurani politik rakyat. Boleh jadi, timses-nya adalah orang-orang dari trah bangsawan yang tidak ingin kehilangan gengsi dan privilese masa lampau.
Kalau semua sumber daya (ekonomi, sosial dan politik) sudah dikuasai oleh trah bangsawan, apalagi yang akan menjadi milik dan kebanggaan rakyat? Siapa yang akan menjadi “pelayan” siapa? Di era demokrasi ini, siapa yang menjadi “tuan” sesungguhnya? Apakah demokrasi itu “(muncul)dari bangsawan, (dipilih) oleh rakyat, untuk (kepentingan) bangsawan?”
Pilkada itu menjaring pemimpin yang negarawan. Ia tidak berpikir soal trah, tetapi kesejahteraan bersama. Pemimpin seperti itu muncul dari rakyat (apapun golongannya), dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Ia tidak berjuang sendiri, tetapi bersama masyarakat mewujudkan kemajuan buat semua. Pemimpin itu menjadi “pelayan” bagi rakyat yang memilihnya.
Tak ada lagi yang diimpikan rakyat selain pemimpin yang bisa menjadi pelayan bagi semua lapis masyarakat. Tidak seperti bangsawan, ia tidak meninggikan gengsi dan privilese-nya. Ia tidak mementingkan jabatannya. Ia justru merakyat dan berjalan bersama-sama dengan rakyat. Pemimpin itu sendiri juga rakyat. Ia hanya diberikan kepercayaan, dan kelak akan diberikan kembali kepada rakyat.
Oleh karena itu, rakyat mesti berpikir rasional dalam memilih pemimpin. Kita tentu yakin, kaum perempuan pasti cerdas dalam menilai calon pemimpin; kaum pria pasti lihai dalam memilah mana yang visioner, mana yang kolot.
Akhirnya, karena Pilkada juga bagian dari pendidikan politik, maka berdemokrasilah dalam jaminan hak politik, bukan jaminan trah! Sekian.
Alfred Tuname, Penulis Buku “le politique” (2018).