Sang Maestro Keadilan Itu Telah Tiada

Pergi dengan sederhana

Berita kepergiannya yang terkesan mendadak, sulit diterima bagi orang yang mengenalnya. Termasuk penulis. Sedih dan duka mendalam dengan kepergiannya yang begitu cepat. Kabar yang diterima penulis dari salah satu temannya di Paroki Kramat, Jakarta Pusat, bahwa kondisinya mulai membaik. Sedang dalam masa pemulihan.

Semua memang berharap bahwa ia akan segera pulih seperti sedia kala. Namun, ternyata ia pergi dengan cara yang sederhana. Tidak banyak orang yang mengantarnya menuju keabadian. Bahkan para saudaranya di Biara Bonaventura, Papringan, Yogyakarta, juga kaget dengan peristiwa ini. Tidak yakin bahwa Pater Peter meninggalkan mereka dengan tiba-tiba.

Baca juga  Kukecup Tangan-Mu

Ia, sosok ini begitu sederhana. Semangat kesederhanaan sebagai seorang pengikut Santo Fransiskus Asisi melekat kuat dalam dirinya. Hingga akhir hayatnya. Selalu memakai topi Manggarai dan tas tali asli Papua disilang dibadannya. Itu sudah menjadi gaya tampilannya.

Nilai kemiskinan (baca kesederhanaan) itu juga terlihat dari wujud akhir tubuhnya. Lepas dari aturan protokol Covid-19 saat ini, nilai itu tampak kuat. Ia akhirnya harus dibaringkan dalam wujud debu sebagai mana asal mulanya.

Baca juga  H2C: Harap-harap Cemas

Sejarah pertama seorang Fransiskan dikuburkan dalam wujud abu yang sudah dikremasi. Mungkin sebuah kebetulan! Namun, iman dan ketaatannya kepada kesederhanaan sejati terpatri kuat dalam dirinya. Sehingga hal itu pula yang membawanya kepada kehidupan kekal.

Dalam sebuah guci yang berisi abu, menutupnya kembali kepada keabadian. Ragamu bersatulah kembali dengan debu dan jiwamu bergabung bersama Bapa Serafik, Fransiskus Asisi. Engkau akan selalu terpatri dalam diri setiap pejuang keadilan dan keutuhan ciptaan. Selamat jalan maestro keadilan.

Baca juga  Kukecup Tangan-Mu
Beri rating artikel ini!
Tag: